Kejari Manado Usut Kerugian Negara dalam Kasus Insinerator
Kejaksaan Negeri Manado menemukan indikasi tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan lima insinerator atau pembakar sampah senilai Rp 11,5 miliar dari APBD 2019.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Manado akan melibatkan ahli teknologi pembakaran sampah dan keuangan negara untuk mengusut ada tidaknya kerugian negara dalam dugaan korupsi pengadaan lima insinerator senilai Rp 11,5 miliar dari APBD Kota Manado 2019. Penyelidikan kasus yang telah berlangsung hampir sembilan bulan itu terkendala pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19.
Ditemui di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (18/9/2020), Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Manado Maryono mengatakan, para jaksa penyelidik telah menyimpulkan adanya indikasi perbuatan melawan hukum berupa korupsi dalam pengadaan insinerator. Namun, adanya kerugian negara belum dapat dikonfirmasi.
Sebab, pemeriksaan pihak-pihak terkait berjalan sangat lambat, terhambat oleh pembatasan perjalanan selama masa pandemi Covid-19. ”Beberapa pihak yang kami undang ada yang tinggal di luar Manado sehingga sulit dimintai konfirmasi. Yang pasti, indikasi awal (korupsi) sudah ada,” katanya.
Untuk mengatasinya, Kejari Manado berinisiatif mendatangkan ahli teknologi pengelolaan sampah untuk meninjau insinerator yang sudah diadakan. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan juga akan dilibatkan untuk menghitung kerugian negara yang mungkin ditimbulkan. ”Kalau sudah terkonfirmasi ada indikasi kerugian negara, kami akan masuk ke proses penyidikan sehingga bisa memanggil paksa saksi dan tersangka,” kata Maryono.
Sebelumnya, Kejari Manado telah menemukan indikasi korupsi dalam pelelangan proyek pengadaan kelima insinerator yang diberi merek Dodika itu. Sebab, meski dana berasal dari APBD 2019, pengadaan barang belum tuntas hingga Januari 2020.
Lelang proyek sempat digelar tiga kali, tetapi selalu berujung pada kegagalan karena perusahaan yang mengajukan penawaran ditolak unit layanan pengadaan (ULP) pemerintah kota. Tresje Mokalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Manado saat itu, akhirnya menunjuk langsung dua kontraktor.
PT Atakara Naratama Mitra menjadi kontraktor pengadaan empat insinerator sampah umum senilai Rp 10,23 miliar, sedangkan CV Jaya Sakti mengadakan sebuah insinerator khusus sampah medis senilai Rp 802 juta. Namun, proyek tak kunjung selesai hingga 2020 karena pemasangan instalasi belum tuntas dan uji coba belum dilaksanakan.
Proyek dari APBD 2019 seharusnya selesai tahun 2019. Tahun 2020 tinggal pemeliharaan saja, kan, begitu normalnya.
Februari 2020 lalu, Tresje sebagai pengguna anggaran sempat dilaporkan oleh polisi karena belum menuntaskan pembayaran sebesar Rp 1,5 miliar kepada kedua perusahaan. Saat itu, Tresje bersikeras sudah menuntaskan pembayaran. Hal ini, kata Maryono, mengindikasikan kejanggalan karena anggaran dilaporkan sudah terserap.
”Proyek dari APBD 2019 seharusnya selesai tahun 2019. Tahun 2020 tinggal pemeliharaan saja, kan, begitu normalnya. Tapi, Januari dan Februari 2020, pengadaan belum tuntas karena instalasi belum selesai, belum uji coba juga. Padahal, anggaran sudah sepenuhnya dibayar,” ujar Maryono.
Kejari Manado pun menerbitkan surat perintah penyelidikan dan menugaskan beberapa jaksa untuk mengumpulkan data awal. Beberapa pihak, seperti kontraktor, pejabat pembuat komitmen DLH Manado, dan beberapa staf terkait sudah diperiksa.
Kelima insinerator ini tersebar di lima kecamatan di Manado, yaitu Sario, Malalayang, Singkil, Paal II, dan Wanea. Setiap insinerator dapat membakar 2,5 ton sampah setiap jam. Setiap hari, kelimanya dapat membakar setidaknya 175 ton sampah dalam suhu 1.000-1.200 derajat celsius.
Kelima insinerator itu dilengkapi dua ruang pembakaran, yang pertama untuk membakar sampah secara langsung dan yang kedua membakar karbon dan zat kimir, seperti dioksin, karbon dioksida, nitrogen oksida, dan sulfur dioksida. Sistem dipastikan tidak mencemari udara.
Terkait dugaan korupsi ini, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLH Manado Franky Porawouw mengatakan, hal itu tidak mengganggu kerja DLH Manado dalam menangani sampah. Ia mengaku tidak tahu detail dugaan itu.
”Sampai saat ini pun tidak ada masalah pada spesifikasi insinerator yang diadakan. Spesifikasi insinerator sudah sesuai dengan apa yang direncanakan di awal, harganya sesuai dengan anggaran,” kata Franky.
Kendati begitu, Franky mengakui kelima mesin itu belum berfungsi maksimal. Satu mesin di Singkil sedang rusak dan belum diperbaiki. DLH Manado juga tidak bisa mengoperasikan kelima insinerator karena tidak ada anggaran untuk membeli bahan bakar mesin sebanyak 500 liter per hari. DLH Manado tidak kebagian anggaran hasil APBD Perubahan 2020.
Akibatnya, sampah dibuang lagi ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo. TPA itu sudah jauh lebih penuh dibandingkan dengan tahun lalu. Tidak ada lagi ruang untuk masuk ke area TPA karena timbunan sampah sudah sampai gerbang masuk. Sampah pun sudah semakin menggunung karena metode sanitary landfill telah berganti jadi open dumping.
Sampah pun terus menumpuk karena jumlah sampah yang dihasilkan di Manado mencapai 450 ton per hari, bahkan 800 ton pada akhir tahun karena perayaan Natal. ”Seharusnya insinerator yang ada sekarang bisa mengurangi sampah sampai 25 persen. Jadi, untuk sekarang, kami tangani sampah dengan ekskavator saja di TPA,” kata Franky.
Pengelolaan sampah yang buruk di TPA Sumompo menyebabkan Manado mendapatkan nilai nol dalam penilaian Adipura 2019. Manado ditetapkan sebagai kota terkotor. Wali Kota Manado Vicky Lumentut pun berharap insinerator bisa menyelesaikan masalah sampah kota.
”Kita selesaikan sampah lewat pembakaran di kecamatan, tidak lagi bawa ke TPA Sumompo yang tidak lagi mampu menampung sampah dari kota kita. Dengan insinerator ini, beban TPA Sumompo akan berkurang,” kata Vicky, Februari lalu, saat meresmikan penggunaan insinerator.