Pengungsi Pubabu, Timor Tengah Selatan, yang digusur terkait konflik tanah adat dengan Pemprov Nusa Tenggara Timur, mulai sakit, terutama anak-anak dan warga lansia. Namun, mereka tak akan meninggalkan lahan itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Pengungsi Pubabu, Timor Tengah Selatan, yang digusur terkait konflik tanah adat di daerah itu dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, mulai sakit, terutama anak-anak dan warga lansia. Pengungsi tidak akan meninggalkan hutan adat itu, sebagai warisan leluhur.
Koordinator Pengungsi Hutan Adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, Niko Manao, dihubungi di Soe, Kamis (17/9/2020), mengatakan, sudah satu bulan mereka menempati tenda pengungsi di dalam kawasan hutan adat Pubabu setelah rumah mereka digusur satuan polisi pamong praja (satpol PP), Selasa (18/8/2020). Mereka menetap dalam tenda bantuan dari salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat.
Menurut laporan dari warga yang berada di pengungsian, saat ini ada lima anak diare serta batuk pilek disertai demam. Kondisi fisik anak-anak terus menurun. Sementara tujuh warga lanjut usia (lansia) juga mengalami sakit serupa. Mereka semua sudah menginap satu bulan dalam 25 tenda bantuan LSM.
Harapan kami, Pemprov NTT membatalkan sertifikat hak pakai dan kesepakatan dengan satu keluarga yang mengaku sebagai raja Amanuban Selatan itu. (Niko Manao)
Sebanyak 130 pengungsi masih bertahan di pinggir jalan. Tenda terpal pun sebagian besar sudah robek ditiup angin kencang. Debu jalanan memadati bagian dalam tenda. Tenda itu berisikan pakaian, alat rumah tangga, makanan sisa, dan perkakas dapur.
Setelah rumah mereka digusur satpol PP Timor Tengah Selatan, semua warga beralih tinggal di bawah pohon, kemudian beralih ke dalam tenda bantuan. Tenda-tenda itu dibangun di samping reruntuhan rumah mereka.
Saat ini para pengungsi itu mengonsumsi makanan sisa di ladang dan di hutan. Mereka juga mendapat bantuan dari warga yang melintas dan beberapa LSM yang mendampingi meski tidak rutin.
Sebanyak 17 anak sudah masuk sekolah, tatap muka dengan mengikuti protokol kesehatan, sementara empat anak yang kehilangan buku dan pakaian seragam belum masuk sekolah. Orangtua tidak lagi punya uang untuk belanja kebutuhan anak-anak sekolah itu.
Warisan
Ia mengatakan, warga Pubabu tidak akan meninggalkan lokasi itu meski di lokasi tertentu di hutan itu, pemprov sudah membuka lahan untuk menanam kelor dan porang. Hutan warisan tersebut tidak akan ditinggalkan oleh anak cucu dan diserahkan kepada penguasa. Hutan itu memiliki ”roh” warisan bagi anak cucu suku Pubabu. Apa pun yang terjadi, para pengungsi ini tetap bertahan di hutan adat itu.
”Harapan kami Pemprov NTT membatalkan sertifikat hak pakai dan kesepakatan dengan satu keluarga yang mengaku sebagai raja Amanuban Selatan itu. Raja asli Amanuban adalah keturunan dari Nope sejak awal sampai hari ini. Raja yang sah saat ini adalah Pina Nope, bukan orang lain,” ujar Manao.
Ia menilai, surat rekomendasi dari Komnas HAM RI Nomor 1.055/R-PNT/IX/2020, 3 September 2020, tidak tegas. Isi surat itu meminta pihak pemprov, masyarakat adat, pihak Polri dan TNI, serta Pemkab Timor Tengah Selatan masing-masing menahan diri serta menyelesaikan kasus itu dengan mengedepankan dialog dan musyawarah.
”Kasusnya sudah jelas, yakni perampasan tanah adat dengan cara-cara tidak prosedural. Semestinya Komnas HAM langsung merekomendasikan penghentian aktivitas pemprov di lahan adat itu dan mengembalikan lahan itu kepada masyarakat adat, tetapi itu tidak dilakukan,” katanya.
Melakukan pendekatan
Direktris Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan NTT Tory Ata mengatakan, Pemprov NTT sebaiknya melakukan pendekatan khusus terhadap masyarakat adat yang sudah digusur. Ini memang sulit, tetapi harus diupayakan demi kemanusiaan.
”Jangan biarkan para pengungsi itu tetap hidup dalam kondisi sulit, di bawah tenda, hanya karena berseberangan pendapat dengan pemprov. Jika ini terus dibiarkan, kondisi pengungsi, terutama anak-anak dan perempuan, makin terpuruk di dalam tenda itu,” ujar Tory.
Dalam dua-tiga bulan ke depan, NTT akan memasuki musim hujan. Pengungsi tidak bisa dibiarkan tetap berada di tenda itu.
Kuasa hukum masyarakat adat Pubabu, Ahmad Bumi dari Firma Hukum ABP, mengatakan akan menggugat Pemprov NTT atas nama masyarakat adat Pubabu. Saat ini penyidik Polda NTT sedang memeriksa saksi terkait laporan masyarakat adat Pubabu mengenai penggusuran paksa rumah warga oleh Satpol PP TTS.
Setelah kasus penggusuran paksa dan penelantaran masyarakat adat oleh Pemkab TTS dan Pemprov NTT diputuskan pengadilan, dilanjutkan dengan laporan mengenai pengambilan paksa dan sepihak hutan adat Pubabu oleh Pemprov NTT.
Rumah pengganti
Kepala Badan Aset dan Pendapatan Daerah NTT Sony Libing mengatakan, masalah Pubabu atau Besipae sudah selesai. Tokoh adat dan tokoh agama di Pubabu telah membangun kesepakatan dengan Pemprov NTT, yakni mereka menyerahkan lahan seluas 3.780 hektar itu kepada pemprov untuk dikelola dan menjadi hak milik pemprov, Jumat (21/8/2020).
Pemprov NTT telah membangun 12 rumah tinggal dari total 29 unit bagi 29 keluarga yang mendiami lahan itu. Mereka juga diberi kesempatan mengelola lahan seluas 800 meter per segi, tetapi tidak berhak memiliki.
”Rumah itu dibangun khusus untuk warga. Mereka itu sudah diajak menempati rumah itu. Silakan mereka masuk rumah itu, kapan saja,” katanya.