Menteri Desa dan PDTT: Pemanfaatan Dana Desa Cenderung Elitis
Pembangunan desa cenderung elitis. Pembangunan tidak mengacu pada masalah dan kepentingan orang banyak, tetapi cenderung lebih banyak memenuhi kebutuhan kelompok tokoh terpandang di daerah itu.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pembangunan desa dengan dana desa hingga saat ini masih cenderung elitis, bergantung pada kepentingan tokoh setempat ataupun pemerintah desa. Kondisi ini pada akhirnya membuat target pembangunan desa tidak tepat sasaran.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar mencontohkan, kebijakan pembangunan yang cenderung elitis ini, antara lain, terjadi pada pembangunan infrastruktur jalan. Jalan yang diperbaiki sering kali jalan di sekitar rumah tokoh tertentu atas usulan yang bersangkutan. Namun, hal itu justru kurang mempertimbangkan fungsi jalan yang dibangun bagi kegiatan perekonomian desa.
”Ketika yang mengusulkan adalah tokoh desa, ketika itulah musyawarah desa, kepala desa, kemudian tidak lagi berkutik dan hanya bisa melaksanakan sesuai usulan tersebut,” ujar Abdul Halim di sela-sela kunjungan ke Universitas Tidar, Magelang, Rabu (16/9/2020) petang.
Hal ini, menurut dia, jelas keliru. Pasalnya, kunci kesuksesan setiap aktivitas pembangunan, termasuk di desa, semestinya berangkat dari masalah konkret di lapangan, bukan mengacu pada kepentingan segelintir orang.
Masalah lain dalam pembangunan desa, menurut Abdul Halim, terjadi akibat terlalu banyak intervensi lembaga dan sejumlah kementerian dalam program pembangunan di desa. Sasaran pembangunan yang dipilih sering kali tidak tepat dan justru tumpang tindih.
”Hal ini membuat triliunan (rupiah) dana yang sudah dihabiskan banyak kementerian dan lembaga dalam berbagai program pada akhirnya tidak memberikan dampak signifikan pada pembangunan di desa,” ujarnya.
Masalah lain dalam pembangunan desa terjadi akibat terlalu banyak intervensi lembaga dan sejumah kementerian dalam program pembangunan di desa.
Beragam masalah ini, menurut dia, saat ini sedang diupayakan diselesaikan dengan memasukkan data desa dalam sistem informasi desa (SID). Cukup dengan memasukkan data, SID bisa mengeluarkan rekomendasi tentang sektor pembangunan yang harus digenjot untuk mengatasi kemiskinan dan memajukan desa.
Abdul Halim mengatakan, pembangunan di desa memang tidak bisa diabaikan karena aksi pembangunan berkelanjutan di desa berkontribusi pada 74 persen tujuan pembangunan nasional berkelanjutan. Selain itu, pembangunan desa juga penting karena 91 persen wilayah Indonesia adalah wilayah perdesaan dan 43 persen masyarakat Indonesia tinggal di desa.
Sebagai bagian dari upaya memperhatikan desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat program Kampus Merdeka Proyek Desa.
Dalam program ini, menurut Abdul Halim, dua tahun masa pemerintahan kepala desa dianggap setara dengan menempuh pendidikan praktik. ”Setelah menjabat selama dua tahun, kepala desa tinggal menuntaskan menempuh dua tahun pendidikan teori di kampus,” ujarnya.
Rektor Universitas Tidar Mukh Arifin mendukung pengembangan desa dengan melibatkan perguruan tinggi. ”Sekalipun Universitas Tidar berada di Kota Magelang yang tidak memiliki desa, kami akan tetap melakukan penyesuaian sehingga bisa ikut mendukung program pendidikan untuk kepala desa,” ujarnya.