Batik Trusmi, Mati Tidak tapi Hidup Berteman Sepi
UMKM andalan Cirebon, Jawa Barat, rentan terancam sepi dalam jangka waktu lama akibat pandemi. Daya beli masyarakat yang anjlok ikut jadi penyebabnya.
Pasar Batik Trusmi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dihantam sepi akibat pandemi Covid-19. Masa depan usaha batik Cirebon, yang populer dengan motif mega mendung itu, rentan tenggelam.
Acara diskusi yang diinisiasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon, Selasa (15/9/2020), belum mampu menggairahkan Pasar Batik Trusmi. Delapan dari 14 kios di bagian tengah pasar, tempat kegiatan, bahkan masih tutup.
Padahal, diskusi terkait usaha mikro, kecil, dan menengah itu merupakan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia. Kegiatan yang juga menyosialisasikan pembayaran nontunai dengan QRIS (quick response Indonesian standard) itu dihadiri pedagang batik.
”Pedagang di sini stagnan. Mati enggak, hidup enggak,” kata Ketua Ikatan Pedagang Pasar Batik Trusmi Sukandar sambil bersantai di kiosnya. Dari 190 kios di pasar, katanya, yang tetap beroperasi saat pandemi kurang dari setengahnya saja. Sebelum wabah, hampir 80 persen kios buka, apalagi akhir pekan.
Ketika awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta dan Jabar, termasuk Cirebon, Mei lalu, omzet pedagang anjlok hingga menyentuh 30 persen. Sukandar bahkan terpaksa merumahkan satu dari tiga karyawannya.
Saat itu, berkah Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) yang mempersingkat waktu tempuh Jakarta-Cirebon tidak dirasakan pedagang. Mobil dengan plat Jakarta atau Bandung tidak lagi memadati parkiran pasar. Padahal, wisatawan adalah konsumen utama batik Cirebon.
Sukandar mulai bernapas lega ketika PSBB Jakarta dicabut dan memasuki tahap adaptasi kebiasaan baru di Cirebon. Tempat cuci tangan, pengukuran suhu tubuh, dan aturan mewajibkan pengunjung bermasker diharapkan membawa rasa aman dari virus korona baru.
Akan tetapi, tingginya mobilitas warga justru membawa petaka. Seorang warga yang bekerja di Semarang, Jawa Tengah, pulang kampung ke Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered. Pria berusia 36 tahun yang sedang sakit itu dijemput mobil siaga desa.
Ia lalu menjalani perawatan di salah satu rumah sakit di Cirebon dan terdeteksi positif Covid-19. Hasil pelacakan petugas menunjukkan, sebanyak 16 orang, termasuk kuwu (kepala desa) Trusmi Kulon, terpapar virus korona.
Trusmi yang menjadi sentra wisata Cirebon pun dinyatakan sebagai kluster penularan Covid-19, akhir Juli. Balai Desa Trusmi Kulon ditutup dan setiap warga dari luar daerah sempat diperiksa. ”Pedagang batik di sini langsung ditelepon anaknya untuk pulang karena isu itu,” ucapnya.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi sampai turun ke Trusmi untuk meyakinkan warga bahwa tidak ada penutupan toko batik yang mencapai ratusan unit. Belakangan, Pemkab Cirebon merevisi nama kluster Trusmi menjadi kluster Plered.
Setelah pasien Covid-19 kluster Plered dinyatakan sembuh, pedagang dan pengunjung kembali tenang. Sukandar, misalnya, mengklaim bisa mendapatkan omzet lebih dari 50 persen. Bahkan, mencapai 80 persen saat akhir pekan.
Baca Juga: Kawasan Wisata Batik Trusmi di Cirebon Jadi Kluster Penularan Baru
Hajatan
Soal penerapan PSBB kembali di Jakarta saat ini, Sukandar belum memikirkannya. Ia cukup senang dengan diizinkannya hajatan berlangsung di Cirebon. ”Sekarang, yang beli banyak dari orang hajatan. Beberapa kuwu juga pesan di saya,” kata Sukandar, yang merupakan mantan Kuwu Tengah Tani.
Di Cirebon, hajatan seperti pernikahan membutuhkan panitia yang jumlahnya belasan. Mereka biasanya mengenakan seragam batik. Inilah cermin pengaruh seni budaya terhadap perekonomian di Cirebon. ”Persatuan perajin dan pedagang batik di sini itu kuat. Kalau ada hajatan, perajin libur,” ungkap Kepala Pasar Batik Trusmi Subandi.
Meski demikian, Subandi mengakui, serapan konsumen lokal belum mampu mengembalikan omzet pedagang. Akibat pandemi, pendapatan asli daerah dari pasar pun dipastikan tidak mencapai target, seperti tahun lalu, yakni Rp 200 juta-an.
Pihaknya sudah berupaya mengembangkan usaha pedagang dengan menjadikan pasar sebagai kawasan kuliner. ”Sekitar 60 persen pedagang juga sudah mulai jualan online. Tetapi, karena pandemi, kondisi belum pulih,” ujarnya.
Persatuan perajin dan pedagang batik di sini itu kuat. Kalau ada hajatan, perajin libur.
Kepala Perwakilan BI Cirebon Bakti Artanta mengatakan, pandemi telah melumpuhkan ekonomi di Cirebon. Kota Cirebon, misalnya, mengalami deflasi pada Agustus sebesar 0,23 persen. Deflasi menunjukkan turunnya harga barang karena turunnya permintaan. Komoditas itu, antara lain, beras, daging ayam, dan telur.
”Artinya, konsumsi masyarakat bahan pokok melemah. Apalagi, untuk membeli barang selain bahan pokok, seperti batik,” ungkapnya. Padahal, hampir setiap bulan, Cirebon mengalami inflasi yang menunjukkan meningkatnya daya beli.
Menurut Bakti, sumber pertumbuhan ekonomi baru saat ini berasal dari UMKM. Syaratnya, pelaku UMKM harus berinovasi, kreatif, dan masuk menerapkan digitalisasi. ”Selanjutnya, kebijakan afirmatif dari pemerintah, yakni menggunakan anggaran untuk menyerap produk UMKM. Bantuan sosial, misalnya, bisa mengambil produk UMKM,” ujarnya.
Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Cirebon Imamul Hakim sepakat, lebih dari 32.000 UMKM di Cirebon bisa menopang ekonomi daerah. UMKM tersebut, antara lain, bergerak di usaha batik, rotan, dan kue.
Sekitar 25,4 persen dari 870.294 orang yang bekerja pada 2019, misalnya, membuka usaha sendiri. ”Sebagian besar merupakan pelaku UMKM,” kata Imamul.
Itu sebabnya, Pemkab Cirebon menyiapkan stimulus dana Rp 1,9 miliar untuk memberdayakan 287 perajin batik. Mereka akan membuat sekitar 5.000 pakaian batik untuk ASN di lingkungan Pemkab Cirebon. ”Sebenarnya ada sekitar 12.400 ASN di Cirebon. Namun, karena terbatas waktu, perajin hanya membuat 5.000 pakaian,” lanjutnya.
Baca Juga: Pandemi, UKT, dan Pesan Sunan Gunung Jati
Sejak dibawa oleh Ki Gede Trusmi, penyebar agama Islam abad ke-15, batik Trusmi mengalami pasang surut. Masa sulit, misalnya, terjadi ketika industri tekstil menjamur. Modal, promosi, hingga kalah saing dengan harga batik Pekalongan menjadi kendala pengembangan batik Cirebon.
Bahkan, maestro batik Cirebonan, Katura (67), kerap mengatakan, hidup perajin batik begitu-begitu saja sesuai arti batik yang berasal dari kata batie setitik (untungnya sedikit). Padahal, batik Cirebon bisa menjadi produk unggulan karena kaya motif dan sejarah.
Motif mega mendung, yang berupa gumpalan awan, misalnya mendapat pengaruh dari China. Mega berarti awan, sedangkan mendung dimaknai awan hujan. Motif ini melambangkan si pembawa hujan yang selalu dinantikan karena membawa kesuburuan dan kehidupan.
Motif karya Pangeran Cakrabuana, pemimpin awal Cirebon, ini juga mengandung makna pengayom penguasa terhadap rakyatnya. Kini, pengayom dan pembawa hujan bagi masa depan pelaku usaha batik Cirebon yang terancam kelam itu masih terus ditunggu.