Uang harian 50 anak panti di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara tertunda dua bulan terakhir.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Uang harian 50 anak panti di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara tertunda dua bulan terakhir. Pengurus panti menyatakan hal itu disebabkan kendala pencairan anggaran, sementara pihak Ombudsman Sultra menilai seharusnya tidak ada alasan anggaran tak segera dicairkan.
Sebanyak 50 anak di Panti Sosial Anak dan Remaja (PSAR) Sultra belum mendapatkan uang saku harian sejak Agustus lalu. Uang harian sebesar Rp 10.000 per hari dihitung sesuai waktu sekolah setiap bulannya. Uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan hidup setiap hari.
AD (17), salah seorang anak panti, menyampaikan, uang harian itu memang belum ia terima selama beberapa waktu terakhir. Ia mengaku lupa kapan terakhir kali mendapatkan uang harian. ”Biasanya dikasih setiap hari Senin. Kalau sekarang, belum ada lagi,” ucapnya, Rabu (16/9/2020).
Anak binaan lainnya, HS (16), mengatakan, uang harian itu biasanya ia tabung untuk keperluan sehari-hari. Uang itu ia sisihkan untuk kebutuhan mendadak atau membeli makanan ringan sesekali jika ingin belanja di luar.
Tabungan dari uang harian, tambah HS, kadang ia gunakan ketika ingin pulang kampung bertemu keluarga. Anak yatim piatu itu sekali setahun pulang ke kampung untuk bertemu nenek dan adiknya.
Sebanyak 50 anak di panti ini berasal dari wilayah se-Sultra. Mereka semua adalah anak tidak mampu, sebagian ada yang yatim, piatu, orangtua bercerai, dan lainnya. Mereka bersekolah di area dekat panti, dari jenjang SD hingga SMA.
Kepala PSAR Sultra Syahruddin menjelaskan, pihaknya tidak ada maksud untuk menunda pencairan uang harian tersebut. Hanya saja, anggaran uang harian berada di dinas dan belum ada arahan untuk dicairkan ke anak panti.
”Sebenarnya bukan tertunda, tetapi pencairannya saja yang terlambat. Anggaran ada dan tidak terganggu refocusing. Karena sekarang di dinas sedang fokus untuk penanganan Covid-19 dengan urusan yang banyak, sementara bendahara cuma satu orang,” tutur Syahruddin.
Pemprov Sultra mengalokasikan Rp 400 miliar untuk penanganan Covid-19. Dari alokasi itu, dinas sosial mendapatkan dana Rp 21 miliar. Belum semua program tercapai, seperti penyaluran bantuan tunai, meski telah enam bulan pandemi berlangsung.
Pencairan uang harian, tutur Syahruddin, memang biasanya dirapel dalam dua bulan. Pembayaran uang harian anak dilakukan dengan memakai uang pribadi dahulu sebelum dana dari dinas dicairkan.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 membuat situasi tidak menentu. Sebelumnya, pencairan uang harian bahkan terlambat hingga empat bulan. Pencairan uang harian di dinas sosial terakhir pada Juli lalu. Pegawai PSAR bergantian menalangi karena anak membutuhkan uang harian untuk kebutuhan sekolah atau saat ini membeli paket data untuk belajar daring.
”Menurut bendahara kami, hal ini sudah disampaikan ke dinas, tetapi belum ada kepastian lagi kapan pencairannya,” ujarnya.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan, di PSAR ini pernah ditemukan pemotongan uang harian anak sebesar Rp 2.000 pada 2018. Selain itu, juga ada kelebihan penggunaan anggaran makan yang tidak sesuai.
Menurut Syahruddin, hal tersebut telah selesai dan anggaran telah dikembalikan ke negara. Pemotongan uang saku dilakukan untuk tabungan jika ada situasi mendesak, seperti sakit atau saat anak ingin pulang kampung. Keterlambatan pembayaran saat ini murni karena kendala pencairan anggaran.
Makanan untuk anak binaan juga menjadi kendala. Sebab, anggaran makan satu anak hanya Rp 25.000 per hari.
Tidak hanya uang harian, Syahruddin melanjutkan, makanan untuk anak binaan juga menjadi kendala. Sebab, anggaran makan satu anak hanya Rp 25.000 per hari. Alokasi tersebut digunakan untuk sarapan, makan siang, dan makan malam.
Alokasi ini harus dicukupkan untuk kebutuhan makan anak-anak tersebut setiap hari. Pihak ketiga yang melakukan pengelolaan kebutuhan makan berusaha agar anak-anak tetap bisa makan dengan teratur dan memenuhi gizi.
”Jujur saja, nilai ini tentu sangat sedikit untuk kebutuhan makan. Angka ini sejak sebelum saya masuk tiga tahun lalu tidak pernah berubah. Kami sudah ajukan ke dinas dan Dewan (DPRD), tetapi belum disetujui,” ucap Syahruddin.
Ketua Perwakilan Ombudsman Sultra Mastri Susilo menilai, uang saku harian anak binaan di panti merupakan hal yang wajib dibayarkan. Pemprov Sultra harus memberikan uang harian sesuai yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Mastri, seharusnya tidak ada alasan, termasuk kesibukan administrasi dalam pandemi Covid-19, untuk menunda pembayaran. Justru saat pandemi ini, anggaran tersebut seharusnya makin cepat diberikan agar anak-anak di panti bisa menggunakan untuk keperluan harian. ”Kalau tidak dibayarkan juga, itu sudah malaadministrasi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, evaluasi terhadap anggaran panti harus dilakukan. Sebab, alokasi uang makan yang hanya Rp 25.000 per hari adalah nominal yang hanya cukup untuk biaya makan 10 tahun lalu. Ia berharap Pemprov Sultra lebih manusiawi dalam melakukan pelayanan terhadap anak binaan di panti tersebut.