Kompolnas Sebut Kematian Henry Bakari Bukan Kekerasan, Keluarga Merasa Janggal
Kompolnas menyimpulkan Henry Alfree Bakari meninggal karena mengonsumsi narkoba dalam jangka panjang. Hal itu diragukan keluarga karena Henry meninggal hanya dalam waktu kurang dari 48 jam setelah ditangkap polisi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Komisi Kepolisian Nasional menyimpulkan penyebab kematian Henry Alfree Bakari (38) akibat mengonsumsi narkoba dalam jangka panjang. Hal itu dirasa pihak keluarga janggal karena almarhum meninggal hanya dalam waktu kurang dari 48 jam setelah ditangkap polisi.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Josua Mamoto, Rabu (16/9/2020), mengatakan, hasil otopsi terhadap almarhum menunjukkan yang bersangkutan meninggal karena kerusakan organ jantung, hati, dan paru-paru akibat mengonsumsi narkoba secara berkepanjangan. Henry juga disebut mengidap penyakit asma yang akut.
”Henry adalah bagian dari sindikat (penyelundup narkoba) internasional Malaysia-Indonesia. Dia kurir sekaligus pengedar dan pemakai. Sebagai kurir, ia mendapat imbalan uang dan narkoba,” kata Benny.
Sebelumnya, Henry ditangkap bersama tiga orang lainnya di Kecamatan Belakang Padang, Batam, pada 6 Agustus. Sehari berselang, pada sore hari, Henry dihadirkan saat polisi menggeledah rumahnya untuk mencari barang bukti.
Menurut perwakilan keluarga, Mega Bakari, saat itu, anak Henry yang berusia 13 tahun melihat ada bercak darah di baju putih ayahnya. Ia dalam kondisi kehausan. Polisi menangkap Henry dan menggeledah rumah tanpa menunjukkan surat perintah.
Sehari kemudian, keluarga dijemput polisi untuk menjenguk Henry ke Polresta Barelang. Di sana, mereka diberi tahu bahwa Henry sudah meninggal dan jenazahnya disemayamkan di RS Budi Kemuliaan. Menurut Mega, kepala Henry dibungkus perban dan plakban. Ada luka lebam di kaki dan punggung almarhum.
Menanggapi hal itu, Benny mengatakan, awalnya Henry dilarikan ke RS Budi Kemuliaan karena penyakit asmanya kambuh saat diperiksa. Kepala Henry yang dibungkus perban dan plakban adalah keputusan pihak RS untuk mencegah kemungkinan almarhum terpapar Covid-19.
Namun, ia juga mengakui memang ada kekerasan yang dilakukan anggota Polri kepada Henry. Menurut Benny, pelakunya, yakni Brigadir JR, akan disidangkan dalam waktu dekat. Menurut keterangan para saksi dan pengakuan pelaku sendiri, ia sempat menendang dengan lutut dan menyepak dengan sepatu yang mengakibatkan luka lebam di tubuh almarhum.
”Dari hasil otopsi, kami menyimpulkan pemukulan itu bukan penyebab kematian Henry. Penyebab kematian adalah penyakit asma akut dan kerusakan jantung, hati, dan paru-paru akibat mengonsumsi narkoba dalam jangka panjang,” ucap Benny.
Dari hasil otopsi, kami menyimpulkan pemukulan itu bukan penyebab kematian Henry.
Sejak awal, pihak keluarga sudah membantah Henry mengidap penyakit asma. Menurut Mega, sampai saat ini pihaknya juga belum mendapat salinan hasil otopsi almarhum.
”Saya tidak mengerti mengapa Henry masih disebut pengedar, padahal tidak ditemukan barang bukti saat penangkapan. Katakanlah organ tubuh Henry memang rusak, tetapi tetap tidak mungkin juga hanya dalam hitungan jam ia bisa meninggal begitu saja,” tutur Mega.
Sementara itu, Muhammad Andi Rezaldy dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), mengatakan, Brigadir JR yang kini tengah diperiksa tidak termasuk dalam tujuh anggota Polri yang dilaporkan oleh pihak keluarga Henry. Nama Brigadir JR juga tidak tercantum dalam surat perintah penangkapan.
Andi berpendapat, pemeriksaan terhadap Brigadir JR merupakan upaya polisi untuk menutupi keterlibatan anggota lainnya. ”Saya melihat pelaku yang terlibat dalam penyiksaan itu tidak terlepas dari intensi atasan langsung,” ucapnya.