Selain Faktor Cuaca, Banjir Juga Disebabkan Degradasi Lingkungan
Banjir yang merendam ribuan rumah warga di Kabupaten Melawi dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, beberapa hari terakhir selain disebabkan curah hujan tinggi juga karena degradasi lingkungan.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Banjir yang merendam ribuan rumah warga di Kabupaten Melawi dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, beberapa hari terakhir disebabkan curah hujan tinggi dan degradasi lingkungan. Jutaan hektar daerah aliran sungai kritis dan sangat kritis akibat eksploitasi terus-menerus.
Sebelumnya, ribuan rumah terdampak banjir 1-3 meter di Kabupaten Melawi dan Kapuas Hulu, Senin (14/9/2020). Hujan dengan intensitas tinggi di daerah tersebut mengakibatkan sungai-sungai meluap (Kompas.id 14/9/2020).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale, Selasa (15/9/2020), mengungkapkan, curah hujan tinggi salah satu pemicu banjir. Namun, di sisi lain hutan dan sungai sudah tidak mampu menampung tingginya curah hujan.
Beberapa daerah aliran sungai (DAS) dan sub-sub DAS serta penyangga sudah beralih fungsi. Ada untuk perkebunan, hak pengusahaan hutan (HPH), dan aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI).
”Ini sangat berkontribusi besar dalam kerusakan lingkungan sehingga menimbulkan banjir. Di perhuluan Melawi aktivitas PETI marak,” ungkap Nikodemus.
Bahkan, menurut Nikodemus, kondisi PETI di Melawi sudah tidak terkendali. Aktivitas mereka merambah ke kawasan-kawasan penyangga dan merusak sub-sub DAS di sekitar kawasan.
”PETI mengakibatkan penyumbatan di DAS dan sub-DAS. Arus air terhambat dan terjadi pendangkalan DAS,” ungkapnya.
Ini sangat berkontribusi besar dalam kerusakan lingkungan sehingga menimbulkan banjir.
Dua tahun terakhir, Melawi terus-menerus diterjang banjir. Jika tidak segera direspons, pengambil kebijakan terkait penertiban aktivitas PETI dan meninjau ulang tata kelola perizinan di kawasan penyangga kondisi akan kian parah.
Dari kajian Walhi mengenai kondisi DAS pada 5-6 tahun lalu saja DAS di Kalbar yang kritis mencapai 2 juta hektar (ha). Kemudian sekitar 1 juta ha di antaranya dalam kondisi sangat kritis akibat dieksploitasi.
Catatan Kompas, berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari sekitar 14 juta ha luas DAS di Kalbar, sekitar 1,01 juta ha dalam kondisi kritis. Sebagian besar yang kritis di DAS Kapuas di sepanjang 1.143 kilometer.
Nikodemus menuturkan, banjir di Kabupaten Kapuas Hulu juga ironis. Kapuas Hulu sebagai kawasan konservasi. Artinya, potensi kawasan hutan harusnya bisa digunakan untuk mencegahan banjir.
”Kenapa banjir masih terjadi di sana? Hal itu karena peralihan fungsi lahan, terutama untuk perkebunan,” kata Nikodemus.
Meluas ke Sekadau
Sementara itu banjir setinggi 1-2 meter di Melawi dan Kapuas Hulu pada Selasa (15/9/2020) masih menggenangi ribuan rumah. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Melawi Syafarudin menuturkan, 53 orang di Nanga Pinoh ada yang mengungsi di gedung serbaguna. Kemudian, 20 orang mengungsi di ruko.
Kepala BPBD Kapuas Hulu Gunawan menuturkan, pihaknya masih mendata jumlah pengungsi. Sementara itu, pendataan masih terkendala jaringan telepon. ”Wilayah ada yang tidak ada sinyal,” ujarnya.
Banjir kiriman dari Melawi juga mulai menggenangi desa di Kabupaten Sekadau. Ketua BPBD Sekadau Matius Jon menuturkan, sementara ini baru satu desa yang digenangi banjir 50-100 cm, tepatnya di Desa Tanjung, Kecamatan Sekadau Hilir. Ada 50 keluarga terdampak banjir di desa tersebut.
Banjir kiriman dari Melawi mengakibatkan Sungai Kapuas Meluap. BPBD Sekadau sudah bersiaga dengan berbagai peralatan untuk mengantisipasi meluasnya banjir di daerah-daerah. Apalagi, ada delapan desa di lima kecamatan di Sekadau rawan banjir.