Sekali Lagi, Mereka Menyangga Denyut Ekonomi Rakyat
Setiap negeri ini dilanda krisis, UMKM menjadi penopang ekonomi rakyat. Di masa pandemi Covid-19, sekali lagi, para pelakunya terbukti liat dan membal. Beramunisi kreativitas dan inovasi, mereka tak mau menyerah.
Oleh
REGINA RUKMORINI/GREGORIUS M FINESSO
·5 menit baca
Setiap negeri ini dilanda krisis, usaha kecil menjadi penopang ekonomi rakyat. Kini, di masa pandemi Covid-19, sekali lagi, para pelakunya terbukti liat dan membal. Beramunisi kreativitas dan inovasi, mereka tak menyerah pada wabah.
Wasyono (46) awalnya dilanda risau di masa awal pandemi Covid-19. Terlebih, ia baru saja keluar dari perusahaan tempatnya bekerja di Jakarta dan memutuskan pulang ke Kota Semarang, Jawa Tengah. Walakin, usaha kecil menyelamatkan keluarganya. Dengan modal seadanya, ia dan istrinya merintis usaha kuliner.
”Awalnya ragu. Namun, prinsip saya, yang penting mulai dulu. Akhirnya, saya mulai jualan lewat sistem pre order (pesan awal). Ternyata, respons pelanggan lumayan baik. Ini yang bikin semangat,” tutur Wasyono, akhir Agustus lalu.
Ia dan istrinya membuka pesanan beragam aneka masakan dan kudapan, mulai dari paket nasi kuning, coto makassar, es pisang ijo, bakso goreng, hingga roti bolen. Selain mengandalkan jejaring pertemanan di media sosial, Wasyono pun mulai memperluas pemasarannya dengan mendaftarkan usahanya, Dapur Rika, lewat aplikasi restoran daring GoFood.
”Kebetulan istri memang suka masak dan sejak saya kerja pun sudah sering menerima pesanan. Jadi, kami fokus saja di situ,” tutur pria asli Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu.
Setelah tiga bulan merintis usaha kecilnya dengan respons pasar yang cukup baik, Wasyono pun memantapkan diri untuk mengembangkan pemasaran dengan membuka warung permanen. Menyisihkan modal dari uang pesangon tempatnya bekerja dulu, ia memberanikan diri mengontrak sepetak ruko di Jalan WR Supratman 39, Kelurahan Gisikdorno, tempatnya mengembangkan usaha Dapur Rika. Ia memilih tempat itu karena selain harganya murah, lokasinya juga dekat dengan sejumlah perkantoran dan pabrik.
Wasyono mengakui, usaha kecil dipilih karena modal yang dibutuhkan tak besar. Pengeluaran terbesarnya hanya untuk menyewa ruko, Rp 12 juta per tahun dan membuat meja kursi perabot warung. Sementara untuk alat masak, dia memanfaatkan yang sudah dimilikinya.
Jatuh dan bangkit lagi juga dialami Lisa Farida, pengelola UKM Anindya Batik di Jalan Kedungmundu, Semarang. Ia mengakui, pada awal masa pandemi, usaha batiknya berhenti berproduksi karena tidak ada satu pun pesanan.
”Di awal pandemi sekitar Maret-April kami benar-benar menangis, termasuk para karyawan karena harus diliburkan. Hingga akhirnya ada pesanan dari Surabaya minta dikirim masker batik abstrak,” tuturnya. Pesanan itu memicu semangat Lisa dan kawan-kawannya untuk memproduksi masker batik secara massal. Bahkan, ia menambah lebih banyak karyawan yang sebagian di antaranya penyandang disabilitas.
Sementara itu, Kasno, pemilik pabrik kerupuk Yogi di Pedurungan, Kota Semarang, mengatakan, di masa pandemi, permintaan kerupuk justru naik 20 persen. Untuk mengantisipasi kenaikan itu, ia mempekerjakan sejumlah pekerja baru, khususnya para korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka dilibatkan sebagai reseller atau pengantar kerupuk ke pasar dan warung-warung.
Di awal masa pandemi, kerisauan juga menghinggapi Tuti Cudara (45), penjual jamu keliling di Kota Magelang. Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat membuat dirinya tak lagi leluasa menjajakan jamunya. Lima belas tahun berjualan jamu belum pernah dia rasakan pukulan sehebat itu pada ekonomi keluarganya.
”Perlahan, saya mulai terpikir untuk membuat produk jamu yang berbeda dan bisa diterima lebih banyak kalangan. Tidak hanya orang tua yang selama ini jadi pelanggan tetap,” tutur Tuti, warga Kelurahan Gelangan, Kecamatan Magelang Tengah, akhir Agustus lalu.
Memanfaatkan kemampuan meracik minuman herbal, dia pun berkreasi membuat paduan jamu dan jus buah. Hal ini dilakukan agar produk jamunya lebih mudah diterima oleh kalangan muda, terutama anak-anak.
Untuk pemasaran, ia dibantu oleh putrinya, Deacrista (18). Sebagai anak muda yang lebih melek teknologi, dia membantu mempromosikan produk ibunya melalui media sosial miliknya. Ide berinovasi ini muncul karena banyak orang mulai berusaha meningkatkan imunitas tubuh dengan meningkatkan konsumsi jamu.
Tidak hanya itu, Deacrista juga mulai membuat masker kecantikan untuk wajah. Lagi-lagi, ia memanfaatkan kemampuan keluarganya meramu bahan herbal dengan membuat masker dari bahan empon-empon, bahan yang biasa dipakai ibunya membuat jamu.
Kolaborasi ibu dan anak ini pada akhirnya membuat penjualan jamu makin meningkat. Alhasil, perekonomian keluarga mereka pun tak hanya pulih, tetapi membal, melenting lebih tinggi.
Sikap tak mau menyerah pada terpaan kondisi ekonomi di masa pandemi ini juga ditunjukkan Fitnasih (29), warga Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur. Sebagai pemandu wisata Borobudur, praktis tak ada lagi pendapatan sejak aktivitas pariwisata ditutup sejak April silam. Namun, dengan merintis usaha kecil, ekonomi keluarganya terselamatkan. Bahkan, dari usaha itu, ia menatap mimpi yang lebih besar lagi.
Setelah sempat mengembangkan bisnis wedang tradisional dalam kemasan, Fitnasih kini tengah merancang wisata edukasi rempah. Selain melihat kondisi desanya yang demikian kaya oleh potensi rempah, dia menganggap paket wisata ini menarik sebagai bagian dari edukasi bagi masyarakat tentang manfaat dari beragam rempah Nusantara.
Kini, Fitnasih dan dua rekannya tengah menyiapkan sebidang lahan yang akan ditanami berbagai jenis rempah. ”Kami berupaya agar paket wisata ini bisa segera dibuka tahun ini,” ujarnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Magelang Catur Fajar Budi Sumarmo mengatakan, pihaknya melakukan pemasaran secara daring dan upaya adaptasi dengan beralih usaha membuat produk baru adalah upaya tepat yang patut dijalankan oleh kelompok UMKM agar bisa tetap bertahan di tengah pandemi.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengungkapkan, di masa pandemi, UMKM memang merupakan salah satu andalan Jateng untuk bangkit di sektor ekonomi. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UKM Jateng, dari 4,1 juta usaha di provinsi ini, 3,7 juta merupakan usaha mikro dan 354.884 lainnya usaha kecil.
”Meski tetap terdampak, UMKM terbukti bisa bertahan di tengah pandemi. Tentu saja pemerintah tak boleh berpangku tangan. Karena itu, saya perintahkan instansi dan lembaga untuk membeli produk UMKM. Mulai dari masker, kebutuhan pangan, dan lainnya. Mari tunjukkan keberpihakan,” tuturnya.
Berdasarkan data sensus ekonomi nasional BPS, kontribusi sektor KUKM terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Jateng terus naik. Pada 2016 kontribusinya 4,98 persen, 2017 sebanyak 5,26 persen, dan 2018 tercatat 5,23 persen.
Menurut Ganjar, UMKM merupakan manifestasi ekonomi gotong-royong yang selaras dengan napas Pancasila. Dalam UMKM, meski skalanya kecil, beban ekonomi bisa ditanggung dan dinikmati bersama.
Sebab, guncangan, termasuk pandemi masih mungkin terjadi. Namun, apa yang sudah dilakukan para pelaku usaha kecil membuktikan selalu ada titik cerah, saat manusia mau bergerak dan berubah.