Harga Cabai Anjlok, Petani Berharap Pemerintah Punya Skema
Panen bersamaan, harga cabai rawit rontok. Pengelolaan pascapanen butuh digenjot agar petani cabai tetap bisa bertahan.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS – Sejumlah petani cabai mengeluhkan anjloknya harga cabai yang merugikan petani. Pemerintah diharapkan memiliki skema untuk menyelamatkan petani, sama seperti ketika pemerintah menyelamatkan konsumen ketika harga cabai tinggi.
Saat ini harga jual cabai rawit di tingkat petani di Banyuwangi hanya berkisar Rp 5.000 per kilogram. Padahal bila ingin tidak rugi, petani harus menjual hasil panennya di harga Rp 15.000 per kilogram.
Ketua Kelompok Tani Murni Kecamatan Wongsorejo Ahmad Jamali mengatakan, dengan harga cabai rawit Rp 5.000 per kg petani hanya mendapat Rp 3.000. Rp 2.000 merupakan ongkos petik per kg yang dibayarkan petani kepada buruh petik.
“Mendapat Rp 3.000 itu bukan keuntungan. Kalau mau petani untung, harga minimal harus Rp 15.000 per kg. Harga saat ini tidak mampu membuat kami balik modal,” keluhnya.
Penurunan harga cabai, lanjut Jamali, dirasakan sejak awal Maret. Bila di bulan Januari dan Februari cabai masih dihargai Rp 16.000 per kg hingga 18.000 per kg, pada Maret, harga mulai turun di bawah 10.000.
Pada Bulan April harga cabai di tingkat petani bahkan sempat menyentuh Rp 8.000. Di Bulan Agustus harga pernah tiba-tiba melonjak 15.000 per kg. Namun itu hanya berlangsung kurang dari satu minggu.
“Saya tidak yakin setelah ini bisa menanam lagi. Harga jual cabai tidak bisa menuntup biaya produksi apa lagi untuk memulai panen musim depan,” ujarnya.
Wakil Ketua Aosiasi Agrobisnis Cabai Indonesi (AACI) Jawa Timur Nanang Tri Atmoko mengatakan, anjloknya harga jual cabai dikarenakan panen raya yang nyaris bersamaan di sejumlah daerah. Di Jawa Timur panen raya cabai berlangsung di Banyuwangi, Kediri, Blitar, dan Tuban.
“Saat harga tinggi, pemerintah memiliki sistem operasi pasar. Tetapi saat harga anjlok, pemerintah tidak memiliki sistem yang dapat membantu para petani,” tutur Nanang.
Menurutnya, solusi yang ditawarkan pemerintah selama ini hanya bersifat sementara dan belum bisa menjadi jaminan untuk menyelesaikan masalah. Ia mencontohkan pembelian komoditas pertanian oleh aparatur sipil negara (ASN) atau memberikan bantuan pengolahan produksi pascapanen berkapasitas kecil.
Nanang berharap pemerintah memiliki skema jangka panjang yang menjadi solusi dari banjir produksi saat panen raya. Salah satu yang bisa dilakukan ialah membangun industri pengelohan pascapanen.
“Selama ini pemerintah memberi bantuan pengolahan cabai kering dan cabai pasta yang kapasitasnya puluhan ton. Selama ini bantuan diberikan untuk UMKM dengan kapasitas belasan kilogram saja. Padahal panen cabai di Banyuwangi sangat melimpah,” ujarnya.
Pengolahan cabai kering dan cabai pasta nantinya bisa dimanfaatkan saat terjadi kelangkaan cabai. Dengan demikian harga cabai lebih bisa dikendalikan.
Secara terpisah Pelaksana Tugas Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyuwangi Ilham Juada mengatakan, pihaknya memiliki sejumlah skema untuk penanganan pascapanen cabai. Skema tersebut merupakan upaya untuk mencegah harga anjlok yang merugikan petani.
“Kami memiliki program Rumah Kemas yang menggunakan dana APBN untuk meningkatkan nilai jual dari mengubah produk panen ke hasil olahan. Sedangkan program yang menggunakan APBD merupakan pembuatan jaringan irigasi yang dapat membantu petani agar bisa menanam di luar masa panen raya,” tuturnya.
Juanda menambahkan, Dinas Pertanian Banyuwangi juga sedang menyiapkan database komoditas berbasis online. Sistem ini nantinya akan membantu pemetaan masa tanam, masa panen dan potensi pasar.
“Selama ini para petani kita menanam berdasarkan periode tertentu tanpa didasari informasi kondisi pasokan di pasar. Nantinya dengan sistem yang kami siapkan, produksi bisa lebih merata tanpa ada banjir produksi di waktu tertentu,” ujarnya.