Ujian Daya Tahan Petani Kala Dihantam Wabah
Sektor pertanian tetap tangguh melawan dampak wabah Covid-19. Sebagian petani Jawa Barat membuktikan daya tahan luar biasa menghadapi potensi resesi negeri ini.
Pertanian kembali menemukan ”rumahnya” saat pandemi menghancurkan banyak sendi. Di Jawa Barat, lebih dari sekadar mendatangkan rupiah, sektor ini memberi peluang dan kesempatan baru di era tak mudah ini.
Terik matahari di musim kemarau, Selasa (1/9/2020) siang, tak sepanas semangat Ulus Pirmawan dan 15 pekerja untuk tetap berkarya. Mereka tetap giat memanen beragam jenis sayuran di lahan seluas 3 hektar di Cisarua, Bandung Barat. Jenisnya beragam, di antaranya brokoli, tomat, kol, kubis, hingga cabai rawit merah. Hasil panen diperkirakan 1 ton per hari.
Ulus mengatakan, luas lahan itu baru setengah dari total yang dikelolanya di Cisarua. Pemiliknya adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jabar. Ulus bisa mengolahnya asalkan menyuplai sayuran bagi dapur dan kantin RSJ.
”Kami akan segera manfaatkan 3 hektar lainnya untuk ditanami baby buncis,” ujarnya.
Lahan anyar untuk baby buncis sangat diperlukan Ulus dan kawan-kawannya. Baby buncis dari Bandung Barat kian diminati sejumlah negara. Minim bahan kimia, permintaannya terus hadir meski pandemi. Ia mencontohkan, masih mengirim setidaknya 1 ton baby buncis ke Singapura setiap hari.
”Kalau tidak sedang pandemi, bisa lebih. Singapura menjadi ekspor utama kami, setelah itu Timur Tengah. Pertanian tetap hidup meski pandemi,” imbuhnya
Ulus tidak asal bicara. Badan Pusat Statistik Jabar mencatat, nilai ekspor sektor pertanian pada Juni 2020 sebesar 9,7 juta Dollar AS. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Juni 2019 yang sebesar 3,6 juta dollar AS. Nilai ekspor paling tinggi berada di bulan Maret 2020, yakni 18,4 juta dollar AS atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 8,1 juta dollar AS.
Baca Juga: Generasi Muda Topang Akses Pasar Pangan Sehat
Kondisi ini kontras dengan dua sektor unggulan, industri dan hasil minyak. Nilai ekspor industri di Juni 2020 sebesar 1,9 miliar dollar AS. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 2,05 miliar dollar AS.
Di sektor minyak, nilai ekspor pada Juni 2020 meningkat menjadi 25 juta dollar AS dibandingkan Juni 2019 yang sebesar 15,2 juta dollar AS. Namun, jika dilihat dari nilai ekspor dalam semester I tahun 2020, sektor ini turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada periode ini, total nilai ekspor hasil minyak di Jabar hanya menyentuh 99,05 juta dollar AS, lebih kecil jika dibanding semester I tahun 2019 yang sebesar 108,8 juta dollar AS.
Akan tetapi, bagi Ulus, sukses bukan sekadar punya banyak uang atau pelanggan. Ia bersyukur masih bisa membuka lapangan kerja meski pandemi. ”Ada 80 orang yang bekerja. Sebagian adalah mereka yang kehilangan pekerjaan karena Covid-19,” katanya.
Nana (25), warga Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Bandung Barat, adalah salah satu yang terdampak Covid-19. Wabah membuatnya dirumahkan dari tempat kerjanya di salah satu hotel di Bandung. Dia kini pulang kampung dan jadi petani.
Sambil menyortir batang brokoli segar yang dipanen, Nana mengingat-ingat kapan dia kembali berkebun. ”Kalau tidak salah saya dirumahkan April, saat pembatasan sosial skala besar Bandung,” ujarnya.
Nana mengatakan, bertani menjadi salah satu pilihan rasional karena dia bisa tetap bekerja. Tidak hanya itu, dia bersama keluarga juga jadi jauh dari kota yang terancam pandemi Covid-19. ”Lebih baik kembali ke kampung dan bertani,” ujarnya.
Ajakan untuk bertani dari Bandung Barat ini tidak hanya ditujukan untuk era ini saja. Kerja sama dengan RSJ Jabar itu, kata Ulus, jadi buktinya. Kesempatan ini menjadi transfer ilmu bagi pasien RSJ sebelum kembali ke masyarakat. Di tengah potensi sulit mendapat pekerjaan, bertani di negara agraris ini menjadi pilihan cerdas.
Yayan (41), salah seorang pasien rehabilitasi, kini lebih percaya diri. Dia telah tinggal bersama keluarganya di Desa Tugumukti, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, berjarak kurang lebih 1 kilometer dari ladang tersebut.
Sebaris senyum tergambar di wajah Ulus saat Yayan menuturkan apa yang bisa dia lakukan. ”Kemarin diajari menyiram tanaman, sekarang panen. Saya senang kerja di ladang. Capek, tetapi ada pekerjaan. Itu lebih menyenangkan,” ucap Yayan.
Sukses itu menjadi jejak manis yang ditorehkan Ulus. Ulus tak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Dia hanya sekolah sampai tamat SD. Namun, puluhan tahun berkutat di kebun menempanya jadi petani tangguh. Dengan segala lika-liku dan tantangannya, mulai bertani tahun 2000, Ulus dinobatkan jadi petani teladan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2017.
Wabah membuatnya dirumahkan dari tempat kerjanya di salah satu hotel di Bandung. Dia kini pulang kampung dan jadi petani
Tabungan sehat
Keinginan terus belajar juga sukses menopang hidup Muhammad Shobirin (30), petani asal Desa Sampih, Kecamatan Susukanlebak, Cirebon. Ketika Indonesia di ambang resesi akibat pandemi Covid-19, tumpukan gabah dan beras tanpa bahan kimia di rumahnya menjadi penolong.
”Itu tabungan saya,” ucap Shobirin sambil menunjuk 14 karung berisi gabah kering giling (GKG) di teras rumahnya, Jumat (4/9/2020).
Shobirin menganggap karung yang rata-rata berisi 44 kilogram GKG itu sebagai tabungan karena bisa dijual kapan saja jika butuh. Gabah itu merupakan sisa hasil panen sekitar 1,2 ton GKG dari lahan seluas 2.800 meter persegi.
Sebelumnya, ia sudah menyalurkan 3 karung untuk membayar zakat dan menjual 10 karung lainnya kepada Sekolah Alam Wangsakerta, tempat sejumlah anak putus sekolah di Cirebon belajar tentang potensi desa, termasuk pangan.
Harga setiap kilogram gabah Rp 5.500, lebih tinggi dibandingkan harga pasaran yang berkisar Rp 4.800-Rp 4.900 per kg. Harganya lebih mahal jika dijual dalam bentuk beras, yakni Rp 14.000-Rp 15.000 per kg. Rendemennya pun tinggi, berkisar 67 persen. Artinya, dari 100 kg GKG yang digiling menghasilkan 67 kg beras.
Ketika Indonesia di ambang resesi akibat pandemi Covid-19, tumpukan gabah dan beras tanpa bahan kimia di rumahnya menjadi penolong.
Maret lalu, saat menyemai benih padi, Shobirin bingung karena benihnya hanya tumbuh kurang dari 20 sentimeter. Ia sudah membeli pupuk ZA untuk ditaburi ke sawah. Namun, urung dilakukan karena seorang teman menawarkan kotoran ayam. Ia pun membeli 46 karung kotoran hewan itu dengan harga Rp 50.000.
Padinya ternyata tumbuh subur. Ia pun berkonsultasi dengan Farida Mahri, pendiri Wangsakerta, terkait bertani minim bahan kimia. Farida lalu memberinya pupuk cair dari kotoran kambing, daun lamtoro, dan bahan organik lainnya secara gratis. Jika beli di kios, ia bisa menghabiskan lebih dari Rp 100.000.
Shobirin ini juga membuat pupuk cair dari air kelapa, gula, susu, air beras, dan jengkol. Aneka pupuk cair itu disimpan dalam botol air mineral dan jeriken di rumahnya. Bahan-bahan organik itu disemprotkan ke tanamannya yang warnanya hijau stabilo.
”Saya kaget karena padi yang hampir tidak kena hama itu punya saya saja,” kata Shobirin yang kini juga jadi guru di madrasah.
Shobirin mengakui, secara kuantitas bertani tanpa bahan kimia tidak sebanyak cara konvensional. Sebelumnya, ia bisa meraup 30 karung gabah. Kini, hasil panennya 27 karung gabah. Semua ia dapatkan dengan ongkos lebih murah. Sebagai gambaran, seorang petani bisa menghabiskan Rp 500.000 untuk biaya pupuk kimia, mulai dari tanam hingga panen.
Farida mengatakan, dirinya mendampingi petani di Desa Sampih dan Desa Cisaat, Kecamatan Dukuhpuntang, untuk memproduksi beras tanpa bahan kimia. Ia juga menyerap hasil panen petani hingga 1,2 ton selama tiga periode panen.
Beras dikirim ke sekitar Cirebon bahkan Jakarta. Hasil penjualan, antara lain, digunakan untuk membiayai SA Wangsakerta. Farida setidaknya berupaya menggaet impiannya, masyarakat desa mandiri dengan pangan.
Shobirin juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi 12 warga saat mengolah lahan dan panen. ”Beberapa di antaranya ada yang memang menganggur karena pandemi. Pernah, ada yang kena PHK dari Jakarta, mau ikut panen. Saya bilang, harus dipingit (karantina) dulu. Khawatir, ada virusnya,” ungkap guru madrasah diniyah ini.
Hal ini memberi angin segar bagi masa depan pertanian Jabar. Persiapan matang menentukan semuanya. Tidak hanya kualitas hasil pertanian hingga nilai ekspor yang meningkat, pertanian kembali jadi andalan di negeri agraris ini.
Baca juga: Pertanian Tanpa Petani