Sanksi Denda Tunggu Revisi Peraturan Wali Kota Surabaya
Pelanggaran protokol kesehatan dalam operasi yustisi di Surabaya, Jawa Timur, masih dikenai sanksi administratif. Hukuman denda dijatuhkan setelah peraturan wali kota Surabaya direvisi dan diterbitkan.
Oleh
IQBAL BASYARI, AMBROSIUS HARYO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 100 pelanggaran protokol kesehatan dalam operasi yustisi di Surabaya, Senin (14/9/2020), masih dikenai sanksi administratif. Hukuman denda dijatuhkan setelah peraturan wali kota Surabaya direvisi dan diterbitkan.
Menurut Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Eddy Christijanto, pelanggar protokol kesehatan saat ini masih dikenai sanksi penahanan kartu tanda penduduk (KTP) selama dua pekan. Jika pelanggar tidak membawa KTP dan melanggar protokol kesehatan, hukumannya push-up dan sit-up.
”Berdasarkan koordinasi dengan kepolisian, sementara ini belum ada sanksi berupa denda karena kami ingin memberikan peringatan terlebih dahulu kepada warga yang melanggar protokol kesehatan,” kata Eddy.
Operasi yustisi yang menyasar pelanggar protokol kesehatan, Senin, dilaksanakan di tujuh lokasi di Surabaya. Ketujuh tempat adalah Jalan Ahmad Yani, Jalan Diponegoro, Jalan MERR, Jalan Pahlawan, Jalan Tambak Oso Wilangun, Pasar Pabean, dan Pasar Pegirikan. Dalam operasi, petugas gabungan menghentikan laju pengguna jalan yang tidak bermasker.
Berdasarkan koordinasi dengan kepolisian, sementara ini belum ada sanksi berupa denda karena kami ingin memberikan peringatan terlebih dahulu kepada warga yang melanggar protokol kesehatan. (Eddy Christijanto)
Eddy mengatakan, perwali yang baru masih dibahas dengan beberapa pihak, terutama epidemiolog. Revisi perwali diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan masyarakat menerapkan protokol kesehatan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya Irvan Widyanto menambahkan, besaran nilai sanksi denda mengacu pada Peraturan Gubernur Jatim Nomor 53 Tahun 2020 tentang Penerapan Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Dalam regulasi itu disebutkan, pelanggar protokol kesehatan bisa dikenai denda Rp 250.000. Denda bagi pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum berkisar mulai Rp 500.000 hingga Rp 25 juta.
Selain akan membuat perwali, lanjut Irvan, Pemerintah Kota Surabaya masih membahas surat edaran yang mengatur kewajiban tes usap kepada pelaku perjalanan. Warga luar kota yang menginap lebih dari tiga hari dan warga Surabaya yang kembali setelah berada di luar kota lebih dari seminggu wajib menyertakan hasil negatif tes usap.
Hasil tes usap
Mereka yang masuk ke Surabaya akan diminta surat hasil negatif tes usap. Jika orang itu tinggal atau menginap di rumah saudara di Surabaya, mereka wajib lapor ke pengurus RT dan RW setempat. Satuan Tugas Kampung Tangguh akan meminta bukti hasil tes usap kepada warga tersebut. Jika pelaku perjalanan menginap di hotel, petugas hotel wajib meminta bukti hasil tes ke tamu.
Jika pelaku perjalanan yang berasal dari luar kota tidak bisa menunjukkan hasil tes usap, mereka diminta kembali ke daerah asal. Sementara apabila pelaku perjalanan merupakan warga Surabaya yang datang dari daerah lain, mereka difasilitasi melakukan tes usap gratis di laboratorium kesehatan daerah.
”Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pelaku perjalanan bisa mendorong kepedulian warga untuk melindungi keluarga dan tetangganya dari ancaman penularan Covid-19,” ujar Irvan.
Irvan mengingatkan agar warga yang tidak memiliki kepentingan mendesak agar tidak keluar rumah dan berkerumun. Sebab, dari tes massal yang dilakukan secara acak di kaki Jembatan Suramadu dan Jalan Genteng Besar, ada enam warga positif Covid-19.
Kepala Satpol PP Jatim Budi Santosa mengatakan, penerapan sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan sesuai dengan kebijakan setiap kabupaten/kota. Meski peraturan gubernur bisa dijadikan acuan, di setiap kabupaten/kota perlu ada peraturan bupati/wali kota.
Payung hukum
Budi mengatakan, penerapan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan dalam konteks penanganan wabah Covid-19 di Jatim sudah mendapat payung hukum yang kuat. Aturan itu adalah Peraturan Daerah Jatim Nomor 2 Tahun 2020 yang mengubah regulasi Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat.
”Peraturan daerah sudah diturunkan menjadi peraturan gubernur, sedangkan di kabupaten/kota perlu ada peraturan bupati atau wali kota,” kata Budi.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, berharap penanganan wabah Covid-19 lebih progresif. Penerapan sanksi denda belum dapat dilihat efektivitasnya apakah membuat masyarakat disiplin protokol kesehatan atau sebaliknya dan dampak positif berupa pengendalian pagebluk.
Windhu mengatakan, wabah telah menjadi pandemi global. Di Jatim, pagebluk belum bisa dikatakan mereda, apalagi terkendali. Sejauh ini, sisi positif yang bisa diambil ialah tingkat kesembuhan pasien Covid-19 amat baik di Jatim yang mencapai 80,4 persen.
Namun, secara prinsip, jumlah kasus terus bertambah. Sampai dengan Senin malam, Covid-19 telah menjangkiti 38.341 orang. Jumlah ini bertambah 343 orang dari hari sebelumnya. Penambahan harian yang di atas 300 orang perlu dicemaskan dan menandakan betapa ngerinya penularan wabah ini.
Dari 38.341 orang itu, jika dirinci menjadi kematian 2.800 orang, perawatan 4.726 orang, dan kesembuhan 30.905 jiwa. Untuk kematian yang 2.800 orang merupakan penambahan 37 jiwa dari hari sebelumnya. Untuk tingkat kematian di Jatim masih di 7,2 persen yang jauh di atas rerata nasional 4 persen, apalagi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang 2 persen.
”Perlu penerapan protokol kesehatan yang lebih progresif, terutama pembatasan sosial berkala besar hingga karantina wilayah ditambah tes,” ujar Windhu.
PSBB atau karantina wilayah perlu dipertimbangkan kembali, mengingat wabah yang menyerang sejak pertengahan Maret 2020 belum juga mereda, apalagi terkendali. Di sisi lain, beberapa negara, khususnya Taiwan, lanjut Windhu, bisa menjadi contoh penanganan di mana tes berjalan dengan baik, protokol juga diterapkan disiplin, dan pengetatan aktivitas masyarakat yang dipatuhi untuk pengendalian wabah.