Pengetatan di Banyuwangi, Gereja Katolik Kembali Misa ”Streaming”
Pemda Banyuwangi melakukan pengetatan pasca-penerapan adaptasi baru selama dua bulan terakhir. Tanpa menunggu surat edaran tentang pengetatan kembali, Gereja Katolik di Banyuwangi kembali menggelar misa secara daring.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Banyuwangi kembali melakukan pengetatan pasca-penerapan adaptasi baru selama dua bulan terakhir. Tanpa menunggu surat edaran tentang pengetatan kembali, Gereja Katolik di Banyuwangi juga kembali meniadakan misa terbuka untuk umum.
Sebagai gantinya, Umat Katolik di Banyuwangi akan kembali menggelar misa secara daring. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19 di Banyuwangi yang sedang mengalami peningkatan drastis.
”Sejak minggu lalu kami sudah memutuskan bahwa mulai hari ini, Sabtu (12/9/2020), kami tidak lagi menggelar misa untuk umum di gereja. Umat kami minta kembali beribadah dari rumah dan mengikuti misa secara daring,” ujar Pastor Kepala Paroki Maria Ratu Damai Banyuwangi Rm Bernardus Winuryanto Pr ketika ditemui di Banyuwangi.
Sebelumnya sejak Maret hingga Juni umat Katolik di Banyuwangi sudah melakukan misa secara daring. Mulai Juni hingga pertengahan September, Gereja kembali dibuka untuk menggelar misa bagi umat.
Gereja dibuka setelah dinyatakan layak menggelar misa dengan protokol kesehatan adaptasi normal baru. Beberapa penyesuaian yang dilakukan, antara lain, menambah frekuensi misa dari dua kali menjadi tiga kali untuk memecah kepadatan umat.
Selain itu, tempat duduk umat juga diatur berjarak. Umat yang diizinkan mengikuti misa juga dibatasi pada usia 10 hingga 50 tahun. Sebelum masuk gedung gereja, umat juga diharuskan mencuci tangan dan mengukur suhu tubuh.
”Kami memang sudah menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Namun, sebagai langkah kewaspadaan di tengah tingginya grafik penambahan kasus Covid-19 di Banyuwangi, kami menutup kembali aktifitas di Gereja,” tutur Winur.
Langkah yang dilakukan Gereja Katolik Maria Ratu Damai diapresiasi Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi dr Widji Lestariono. Langkah tersebut dinilai tepat karena tanpa menuggu surat edaran bupati, muncul inisiatif kewaspadaan.
”Gereja Katolik menutup aktivitas tanpa harus menunggu ada kasus penularan atau surat bupati. Kesadaran dan langkah-langkah kewaspadaan ini patut dicontoh instansi-instansi lain,” ujarnya.
Kesadaran dan langkah-langkah kewaspadaan ini patut dicontoh instansi-instansi lain.
Widji mengatakan, dalam 10 hari terakhir tampak tren kenaikan jumlah kasus harian yang sangat signifikan. Pada Kamis (10/9/2020) tercatat ada penambahan 45 kasus dalam sehari. Jumlah tersebut merupakan penambahan tertinggi di luar kasus kluster pondok pesantren.
Munculnya kluster perkantoran dan kluster keluarga juga menjadi perhatian khusus di Banyuwangi. Hal itu menjadi dasar pemerintah mengambil langkah pengetatan.
”Hingga Sabtu (pagi) tercatat ada 974 kasus positif Covid-19. Selain didominasi kasus kluster pondok pesantren yang berjumlah lebih dari 600-an, ada 83 kasus muncul dari kluster keluarga,” ujarnya.
Widji menambahkan, ada 14 instansi perkantoran yang juga menjadi kluster penularan Covid-19. Di setiap kantor ada 8 hingga 60 orang yang ditelusuri untuk mengetahui penularannya.
Menanggapi hal itu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas berencana menerbitkan surat edaran yang berisi pengetatan kembali aktivitas perkantoran, pusat perbelanjaan, hingga aktivitas warga secara umum.
”Untuk menekan laju penyebaran virus tersebut, kami segera menyusun surat edaran yang berisi sejumlah kebijakan sebagai upaya mengendalikan persebaran virus Covid-19,” ujar Anas. Salah satunya adalah memberlakukan bekerja dari rumah bagi aparatur sipil negara.
Anas juga meminta agar setiap rapat atau pertemuan kantor dilakukan di ruangan terbuka atau di ruangan yang memiliki sirkulasi udara yang lancar. Ia juga meminta agar setiap institusi perkantoran memperhatikan perbandingan kapasitas ruangan dengan jumlah pegawai.
Selain itu, pembatasan jam operasional bagi pertokoan juga akan diberlakukan kembali. Pemberlakuan ini sebelumnya pernah dilakukan pada saat masa awal pandemi. Pembatasan juga dilakukan pada kegiatan warga yang berpotensi menimbulkan kerumunan, misalnya hajatan.