Petani di Malang Keluhkan Kelangkaan Pupuk Bersubsidi
Petani di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengeluh pupuk urea bersubsidi langka di pasaran dua pekan terakhir. Kelangkaan ini diduga terkait rencana pemerintah menerapkan Kartu Tani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sejumlah petani di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mengeluhkan kelangkaan pupuk urea bersubsidi di pasaran dalam dua pekan terakhir. Kelangkaan ini diduga terkait rencana pemerintah memulai penggunaan Kartu Tani bagi petani yang hendak mengakses pupuk bersubsidi mulai awal September.
Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Malang Sunaryo, Jumat (11/9/2020), mengatakan, kelangkaan terjadi pada beberapa kelompok tani lantaran musim tanam di Kabupaten Malang tidak seragam. Ini berbeda dengan kebanyakan musim tanam di daerah lain yang biasanya bersamaan.
Selain itu, menurut Sunaryo, jatah pupuk urea bersubsidi untuk petani juga dikurangi. Ia mencontohkan, jika satu kelompok tani biasanya bisa mendapatkan 30 ton, saat ini hanya 20-25 ton. Bahkan, pupuk untuk kelompok tani yang diikuti Sunaryo di Kecamatan Kepanjen terlambat datang hingga dua bulan.
”Menurut informasi, kondisi ini terjadi akibat pengaruh masalah Kartu Tani yang akan dilaksanakan. Antara distributor dan kios resmi belum sinkron mengenai jumlah pupuk yang akan didistribusikan. Mereka khawatir terjadi order ganda,” ujarnya.
Sejauh ini harga pupuk urea bersubdisi masih sekitar Rp 90.000 per zak ukuran 50 kilogram (kg). KTNA Kabupaten Malang telah menyampaikan masalah ini ke Kementerian Pertanian (Kementan).
”Kami sudah kirim resume (surat) ke Menteri Pertanian (Syahrul Yasin Limpo) waktu dia berkunjung ke Poncokusumo, Malang, pekan lalu. Dua hari kemudian ada konsolidasi webinar soal Kartu Tani di Jakarta,” ucapnya.
Petani sekaligus Ketua KTNA Kecamatan Poncokusumo Syaiful Asyari membenarkan soal kelangkaan pupuk di wilayahnya. Stok pupuk di kios sejak dua pekan lalu kosong. Hal itu tidak hanya terjadi pada jenis urea, tetapi juga pupuk majemuk (Phonska) dan amonium sulfat (ZA).
”Kalau saya jarang pakai pupuk bersubsidi lantaran sering langka. Saya pakai pupuk nonsubsidi (NPK Mutiara) dengan harga Rp 10.000 per kg,” katanya.
Salah satu petani di wilayah Kecamatan Gondanglegi, Suryo Matius (57), menuturkan, pupuk urea di daerahnya mulai langka sejak dua minggu lalu. Kalaupun ada pupuk nonsubsidi harganya mencapai Rp 540.000 per 100 kg.
”Itu pun syaratnya ketat. Beda desa, mereka sudah tidak mau (melayani). Harus menunjukkan kartu. Kartu apa itu saya malah belum tahu,” ujar Suryo yang memiliki lahan seluas 5 hektar.
Suryo mengaku hingga kini belum memiliki kartu tani. Ia juga mengaku belum tahu bagaimana sistem pembelian pupuk menggunakan kartu tani yang dimaksud dan kelanjutannya seperti apa karena sejauh ini belum ada sosialisasi.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang Budiar Anwar, yang dikonfirmasi secara terpisah, membenarkan belum semua petani di wilayahnya mendapatkan Kartu Tani. Dari 163.000 orang yang terdaftar, baru 80.000 kartu yang tercetak.
Dari jumlah 80.000 kartu itu, yang tersebar baru 50.000 kartu. ”Sisa petani akan dimasukkan dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Elektronik tahun depan,” katanya.
Menurut Budiar, masalah kelangkaan pupuk tidak hanya terjadi di Malang, tetapi juga daerah lain di Indonesia. Ia membenarkan, beberapa waktu lalu ada surat dari Menteri Pertanian yang menyatakan pembelian pupuk per 1 September menggunakan Kartu Tani.
Karena infrastruktur belum siap, akhirnya keluar surat kedua yang isinya, petani yang belum punya Kartu Tani bisa membeli pupuk dengan cara manual. ”Infrastruktur kartu tani di daerah belum siap sehingga petani kemarin banyak yang teriak (kesulitan dapat pupuk) karena menggunakan Kartu Tani,” ucapnya.