Menghilangkan Pemicu ”Self-Harm” dan Bunuh Diri di Media Sosial
Dua platform media sosial, Facebook dan Tiktok, mendapat sorotan dan bahkan kecaman atas kegagalan mereka mencegah sebuah rekaman video bunuh diri beredar secara global di platform mereka.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak awal pekan ini, menuju Hari Pencegahan Bunuh Diri yang jatuh pada Jumat (11/9/2020), dua platform media sosial, Facebook dan Tiktok, mendapat sorotan dan bahkan kecaman atas kegagalan mereka mencegah sebuah rekaman video bunuh diri beredar secara global di platform mereka.
Kejadian bermula ketika Ronnie McNutt (33) menyiarkan videonya melakukan bunuh diri dengan senjata api di Facebook pada 31 Agustus. Dalam video itu tampak McNutt, yang berkacamata dan berjanggut lebat duduk di kursi menghadap sebuah bangku, berbicara melalui sebuah ponsel, kemudian membunuh dirinya sendiri dengan cara menembakkan senjata api.
Potongan video itu kemudian beredar di Facebook dan Instagram hingga mencapai Tiktok pada Senin awal pekan ini, menurut keterangan Tiktok. Tiktok memang mendapat sorotan khusus karena sistem media sosialnya yang agak berbeda dengan platform populer lainnya seperti Instagram dan Facebook.
Tampilan utama Tiktok adalah sebuah laman bernama ”For You Page” yang diisi secara otomatis berdasarkan sebuah algoritma. Dalam laman ini, pengguna akan disodori konten yang sedang populer saat ini, alih-alih sebatas konten dari kreator yang pengguna ikuti.
Skema semacam ini membuat pengguna Tiktok cenderung lebih mudah terekspos konten viral. Sayang, konten berisi aktivitas yang melukai diri sendiri atau biasa disebut self-harm dan bunuh diri cenderung banyak mendapat reaksi dari warganet. Psikolog klinis Alfath Hanifah Megawati mengatakan, kabar bunuh diri cenderung viral.
”Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sesuatu yang bersifat ekstrem, tidak biasa, emosional adalah konten yang lebih mudah viral. Jadi, konten terkait self-harm maupun bunuh diri jadi hal yang masuk kriteria untuk viral,” kata Ega, biasa ia dipanggil, yang menjadi associate psychologist Ibunda.id.
Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh associate professor dari Departemen Kebijakan dan Perilaku Kesehatan Virginia Commonwealth University AS, Kelly Carlyle, dan kawan-kawan pada 2018. Carlyle dan koleganya menyebut bahwa unggahan yang dapat memunculkan ide bunuh diri cenderung mendapat lebih banyak tanggapan atau engagement.
”Unggahan yang menyebut ide-ide bunuh diri menunjukkan engagement yang lebih tinggi dibandingkan dengan unggahan yang lain dalam tagar #suicide atau #suicidal,” tulis Carlyle dalam volume 11 Journal of Communication in Healthcare.
Perilaku imitasi
Dengan adanya temuan ini, posisi media sosial menjadi lebih penting dalam diskursus pencegahan bunuh diri. ”Sebab, bunuh diri dan self-harm dapat dikategorikan sebagai perilaku imitasi,” kata Ega.
Ega mengatakan, pelaku self-harm dan percobaan bunuh diri biasanya berusia 18-25 tahun. Di usia ini, seseorang sedang mengeksplorasi lingkungan sosialnya dan mempunyai ikatan yang lebih dengan lingkungan sosialnya. Mereka lebih mudah mengikuti apa yang dilakukan oleh lingkungannya.
Kedua, perilaku self-harm atau bunuh diri yang diekspos di medsos memberikan cara yang ”instan” untuk mengakhiri ketidaknyamanan diri.
”Maka, jika postingan ini dilihat oleh orang mempunyai kerentanan psikologis, seakan-akan memberikan opsi untuk rasa frustrasi yang sedang ia alami,” kata Ega.
Florian Arendt, asisten profesor Departemen Komunikasi University of Vienna, Austria, juga berpendapat hal yang sama. Eksposur pengguna remaja Instagram terhadap konten yang berbau self-harm dan bunuh diri memunculkan ide terkait dengan hal semacam itu. Bahkan, eksposur pertama ini akan memicu pengguna untuk mencari sumber unggahan sejenis.
”Temuan ini memberikan bukti bahwa eksposur terhadap konten semacam itu dapat ’menular’ kepada pengguna yang kondisinya rentan,” kata Florian dalam penelitiannya berjudul Effects Of Exposure To Self-Harm On Social Media tahun 2019 yang khusus melihat kecenderungan ini di antara pengguna Instagram berusia remaja.
Arendt mengapresiasi kebijakan Instagram yang berkomitmen melarang peredaran konten yang menampilkan perilaku self-harm dan bunuh diri baik yang secara eksplisit maupun implisit.
Unggahan yang menyebut ide-ide bunuh diri menunjukkan engagement yang lebih tinggi dibandingkan dengan unggahan yang lain dalam tagar #suicide atau #suicidal. (Kelly Carlyle)
Namun, ia masih menemukan bahwa konten semacam itu masih bisa beredar. Seperti apa yang terjadi pada konten bunuh diri McNutt, ini menunjukkan tugas berat dari platform untuk bisa mencegah konten berbahaya untuk beredar viral.
”Untuk bisa mencapai ini, mungkin konten self-harm dan bunuh diri harus bisa diidentifikasi oleh algoritma machine learning, yang artinya masih butuh riset yang mendalam,” kata Arendt.
Di sisi lain, Carlyle berpendapat, praktisi psikologi dan kesehatan jiwa harus mengambil peran aktif menggunakan platform media sosial untuk meningkatkan kesadaran di masyarakat mengenai bahaya konten-konten self-harm dan bunuh diri.
Ega pun setuju dengan pendapat ini. Menurut dia, masyarakat biasa yang peka dengan isu kesehatan mental dapat membantu dengan memperbanyak info dan berkampanye kesehatan mental. ”Ini adalah upaya yang sangat membantu,” kata Ega.
Ia juga berpendapat bahwa banyak hal yang harus dilakukan oleh platform media sosial pada aspek nonteknologi.
”Perlu kampanye aktif yang turut dilakukan pengelola platform untuk mencegah terjadinya pelaku self-harm dan bundir, terutama yang diakibatkan oleh konten di platform mereka,” kata Ega.
Apa yang dilakukan?
Dengan begitu beragam jenisnya unggahan yang beredar di media sosial, konten yang tampaknya tidak berbahaya (harmless) dapat memicu gangguan psikologis.
Ega mengatakan, hal ini bisa terjadi misalnya melalui konten yang mengingatkan seseorang akan pengalaman traumatis atau bahkan melihat unggahan orang yang dianggap ”mempunyai apa yang tidak mereka punyai”.
”Sangat mungkin muncul tekanan psikologis yang berujung pada perasaan frustrasi dan tidak berdaya, bahkan depresi, walaupun tidak semua orang yang self-harm atau melakukan bunuh diri mengalami kondisi depresi secara klinis,” kata Ega.
Untuk itu, ia meminta masyarakat tidak menggantikan media sosial dengan komunikasi di kehidupan nyata. ”Jadi batasi, pilih, dan share kepada orang terdekat atau profesional jika mulai merasakan masalah psikologis. Jangan memendam kesulitan untuk mengatasi masalah ini sendirian,” ujarnya.
Di sisi lain, bagi pendamping, seperti orangtua, guru, dan dosen, Ega meminta untuk lebih peka dan sensitif. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan perhatian dengan pendekatan yang setara. ”Remaja atau dewasa muda lebih mudah terbuka dengan saran ketika pihak otoritar menempatkan diri sebagai sahabat bagi mereka,” kata Ega.
Untuk urusan kesehatan mental, Kantor Staf Presiden sejak April menyediakan layanan konsultasi kesehatan jiwa melalui hotline 119 dan 117.
Selain itu, sejumlah rumah sakit jiwa menyediakan layanan konsultasi kesehatan jiwa.
1. RSJ Amino Gondohutomo Semarang (024) 6722565
2. RSJ Marzoeki Mahdi Bogor (0251) 8324024, 8324025, 8320467