KLHK Tawarkan Skema Solusi Selesaikan Masalah Hutan Adat di Kinipan
Dalam menyelesaikan konflik lahan adat di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, pemerintah meminta perusahaan sawit tidak lagi membuka kawasan konsesi yang masuk di wilayah adat Kinipan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah meminta perusahaan tidak membuka lagi kawasan konsesi yang masuk wilayah adat Kinipan, Lamandau, Kalimantan Tengah. Pemerintah juga tawarkan skema hutan desa untuk kawasan adat di luar konsesi.
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong saat dihubungi Kompas dari Palangkaraya, Jumat (11/9/2020). Alue beserta rombongan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kantor Staf Presiden (KSP), dan beberapa anggota DPR Komisi IV mengunjungi Lamandau, Kamis (10/9/2020).
Alue beserta rombongan tak bisa melanjutkan perjalanan ke Desa Kinipan karena dihadang banjir. Akhirnya, pertemuan dengan masyarakat dan pihak PT Sawit Mandiri Lestari (SML) dilakukan di Nanga Bulik, ibu kota Lamandau.
Dalam pertemuan itu, ada dua rekomendasi yang disarankan Alue. Pertama, Alue meminta perusahaan berhenti membuka lahan di areal konsesi yang masuk dalam wilayah Desa Kinipan. Alue juga meminta kawasan tersebut menjadi hutan adat sekaligus kawasan dengan nilai konservasi tinggi atau high conservation value (HCV) perusahaan.
”Kawasan (adat) itu, kan, sudah dilepaskan dari kawasan hutan sehingga menjadi area penggunaan lain, maka proses penetapan hutan adatnya bisa dilakukan tanpa perlu peraturan daerah,” kata Alue.
Pada 2016, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) memetakan luas wilayah adat di Desa Kinipan sekitar 16.000 hektar. Dalam proses identifikasi masalah di Kinipan, Pemerintah Provinsi Kalteng mencatat setidaknya 2.629 hektar lahan yang diklaim masyarakat adat Kinipan masuk dalam izin konsesi PT SML.
”Kawasan itu dijadikan hutan adat sekaligus area hutan dengan nilai konservasi tinggi,” kata Alue.
Rekomendasi kedua, lanjut Alue, selain hutan adat, masyarakat juga bisa mengajukan hutan desa dalam skema perhutanan sosial untuk kawasan yang berada di luar konsesi PT SML. Alasannya, kawasan yang tidak masuk konsesi merupakan hutan negara sehingga jika ingin dibuat hutan adat membutuhkan peraturan daerah dan proses panjang lainnya.
”Kalau hutan desa, prosesnya masyarakat ajukan permohonan, lalu nanti akan ada verifikasi lapangan, baru dikeluarkan surat keputusan hutan desanya,” kata Alue.
Alue menambahkan, dalam pertemuan itu pihaknya menerima respons positif dari semua pihak terkait rekomendasi tersebut. Namun, pihaknya masih harus membentuk pertemuan teknis untuk menyepakati bersama pilihan-pilihan tersebut. ”Saya ingin agar win-win solution ini dapat diterima semua pihak dan semuanya bisa kembali berjalan normal,” kata Alue.
Kepala Hubungan Masyarakat PT SML Wendy Suwarno mengungkapkan, pihaknya tidak mempermasalahkan jika memang harus berhenti di satu titik. Namun, ia mengatakan, perlu menjadi perhatian bahwa masih ada warga Kinipan yang meminta agar program perusahaan tetap berjalan.
”Meskipun dalam dialog Kepala Desa Kinipan menolak plasma, tetapi masih ada warga desa yang ingin ini tetap berjalan. Tidak semua masyarakat Kinipan menolak plasma. Jadi, harus dikaji dahulu karena penolakan itu tidak dilakukan oleh semua warga,” kata Wendy.
Wendy menambahkan, pihaknya juga menginginkan agar hutan terjaga dengan baik. Namun, tetap harus dilihat juga alasan mengapa klaim hutan adat itu berada di dalam konsesi perusahaan.
”Area yang diklaim hutan adat itu tidak hanya yang ada di konsesi, tetapi juga berada di kawasan desa lain. Bahkan, ada beberapa warga lain yang juga keberatan diklaim sebagai hutan milik Kinipan,” ujar Wendy.
Koordinator Save Our Borneo Safrudin mengungkapkan, pemerintah tidak perlu tawar-menawar dalam penyelesaian masalah di Kinipan. Pemerintah bisa langsung melakukan upaya-upaya untuk mengakui dan melindungi masyarakat Kinipan.
”Pemerintah seharusnya berada bersama masyarakat adat Kinipan, langsung saja lakukan upaya-upayanya,” kata Safrudin.
Safrudin menilai, saat ini yang paling penting adalah meminta perusahaan untuk menghentikan aktivitas pembukaan lahan di wilayah adat Kinipan. Pemerintah juga harus mengakui keberadaan masyarakat adat Kinipan.
”Masyarakat adat tentunya sudah memiliki rencana pengelolaan wilayah adatnya itu, jadi tinggal diakui saja,” kata Safrudin.