Polisi Hutan di Sulut Diduga Terlibat Pembalakan Liar
Seorang polisi hutan Dinas Kehutanan Sulawesi Utara yang bertugas di Tomohon diduga terlibat pembalakan liar di hutan produksi terbatas.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA SELATAN, KOMPAS — HFP (47), seorang polisi hutan Dinas Kehutanan Sulawesi Utara yang bertugas di Tomohon, diduga terlibat pembalakan liar di hutan produksi terbatas. Namun, tersangka berupaya menyangkalnya lewat proses pra-peradilan.
Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Seksi III Manado menetapkan HFP sebagai tersangka akhir Juli lalu karena diduga menjadi otak pengangkutan 10,33 meter kubik kayu cempaka dengan truk, Mei.
Kayu cempaka yang telah diolah menjadi 253 bilahan panjang itu diduga berasal dari kawasan konservasi di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Harga jual per meter kubik diperkirakan mencapai Rp 4 juta.
”Kayu-kayu itu tidak disertai surat keterangan sahnya hasil hutan. Kami menghentikan truk itu di Jalan Raya Tumpaan, Minahasa Selatan, saat sedang menggelar operasi,” kata Rosman Mantu, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Balai Gakkum LHK Seksi III Manado, Kamis (10/9/2020), di Amurang, Minahasa Selatan.
HFP tidak ikut di dalam truk itu. Ia diduga menyuruh BJE (30) mengemudikan truk untuk membawa kayu itu ke Tomohon. Menurut pemeriksaan terhadap sembilan saksi, kata Rosman, kayu itu akan digunakan sebagai bahan bangunan di pusat industri rumah kayu knock down di daerah Woloan.
HFP sebelumnya dijadikan saksi dalam penetapan BJE sebagai tersangka pengangkutan kayu tanpa izin. PPNS menyita ke-253 bilah kayu dan truk yang digunakan. Namun, dalam pemeriksaan, para penyidik menyimpulkan HFP terlibat sebagai pemilik kayu itu.
PPNS menyita sebuah ponsel sebagai barang bukti komunikasi antara HFP dan BJE. Beberapa barang bukti lain mencakup surat-surat dan rekaman percakapan telepon keduanya.
Belakangan, dia malah mengajukan pra-peradilan di Pengadilan Negeri Amurang.
Menurut Rosman, HFP melanggar pasal berlapis di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan serta Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ia diancam hukuman minimal 5 tahun penjara.
Namun, sejak ditetapkan menjadi tersangka, HFP mangkir dari pemeriksaan. Dua kali dipanggil, ia mengajukan surat keterangan sakit sebelum menghilang. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulut bahkan mencarinya di kediamannya di Sonder, Minahasa. Namun, karena tidak ditemukan, namanya pun dimasukkan dalam daftar pencarian orang.
”Karena hukumannya lebih dari 5 tahun, kami sudah tawarkan penasihat hukum untuk dia. Namun, dia bilang akan cari pengacara sendiri. Belakangan, dia malah mengajukan pra-peradilan di Pengadilan Negeri Amurang,” kata Rosman.
Pra-peradilan telah memasuki hari ketiga. Para PPNS Balai Gakkum LHK Seksi III Manado pun berharap hakim tidak menerima permohonan pra-peradilan HFP. Sebab, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018, orang yang masuk daftar pencarian orang tidak bisa mengajukan permohonan pra-peradilan.
Di sisi lain, kuasa hukum HFP, Absalom Pondaag, menyatakan telah menyerahkan berbagai barang bukti kepada hakim ketua berupa surat-surat. Menurut dia, kliennya tidak terlibat pembalakan liar, tetapi membeli kayu-kayu itu. Hal yang sama ditegaskan orangtua HFP, Decky Palilingan (70), yang berkarier sebagai polisi hutan selama 40 tahun. ”Anak saya membeli kayu ini di Desa Padang, Bintauna, Bolaang Mongondow Utara. Ada bukti pembayarannya,” katanya.
Decky balik menuduh para PPNS memperlakukan putranya secara tidak adil. Menurut dia, para PPNS membiarkan cukong kayu ilegal besar, tetapi menangkap pedagang kayu yang lebih kecil, bahkan mencari-cari kesalahan. ”Lagi pula, kenapa truk itu boleh melewati tiga pos pemeriksaan sebelum ditangkap di Tumpaan?” katanya.
Sulut memiliki hutan seluas 764.739 hektar. Terdapat kawasan pelestarian alam seluas 244.583 hektar, hutan lindung 160.809 hektar, hutan produksi terbatas 201.529 hektar, hutan produksi 64.367 hektar, dan hutan produksi konservasi 14.696 hektar.
Kasus HFP adalah kasus pembalakan liar keempat yang ditangani di wilayah Sulawesi dan Gorontalo sepanjang 2020. Adapun dua kasus lain melibatkan perusakan alam dengan pembuangan limbah tanpa izin dan tambang emas tanpa izin di wilayah konservasi.
Menurut Rusli Markus, Komandan Brigadir Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (Sporc) di Balai Gakkum LHK Seksi III Manado, polisi hutan rawan terlibat kerja sama dengan pemodal pembalakan liar. Sistem penempatan polisi hutan di pos-pos menyebabkan lemahnya pengawasan. Mereka kerap membiarkan pengangkutan kayu tanpa izin karena menerima suap.
”Karena itu, kami memperkuat pengawasan dengan membuat jaringan dengan warga sekitar secara informal. Kami sudah mendapatkan informasi soal adanya oknum polisi hutan yang terlibat, tinggal menunggu bukti saja,” katanya.
Menurut Rusli, kerugian tidak hanya bisa dihitung dalam nilai ekonomis kayu. Sebab, pembalakan liar yang tak terkontrol bisa berujung pada hilangnya habitat bagi hewan-hewan endemik di Sulut dan Gorontalo, terutama burung-burung yang berperan penting dalam reproduksi pohon.