Pembalak Liar Masih Saja Beraksi di Hutan Kotawaringin Timur
Pembalakan liar di Kalimantan Tengah bisa memicu kerusakan alam dan berdampak pada berbagai bencana. Perlu komitmen tinggi untuk pengawasan dan penegakan hukum.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pembalakan liar masih terus terjadi di Kalimantan Tengah. Semua pihak yang terlibat harus diusut, tak sekedar mereka yang ada di sekitar lokasi pembalakan liar.
Pada Rabu (9/9/2020), Kompas bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memantau banjir dan kebakaran hutan menggunakan helikopter. Dalam perjalanan, masih terlihat sejumlah aktivitas yang diduga pembalakan liar.
Hal itu terjadi di Desa Terantang, Kecamatan Serenau, Kabupaten Kotawaringin Timur. Dari udara, terpantau kepulan asap sejauh 1 mil atau sekitar 1,6 kilometer. Pilot langsung mendekati lokasi karena kepulan asap cukup tebal.
Sebelum tiba di titik asap, terlihat kawasan hutan itu terbelah kanal-kanal yang penuh dengan balok-balok kayu. Semakin dekat ke titik asap, terlihat tenda-tenda beratap kayu dan terpal biru di dekat titik asap.
Asap itu berasal dari tumpukan bekas kayu yang dibakar tak jauh dari kumpulan tenda. Dari tenda itu, tim menelusuri ke arah mana kayu tersebut dibawa.
Setelah ditelusuri, kanal-kanal yang berisi kayu itu tersambung ke beberapa titik lain yang juga dipenuhi tenda-tenda. Kanal terakhir bermuara di Sungai Mentaya. Tak jauh dari kanal, ada rakit-rakit kayu yang ditambat di pinggir sungai.
Setelah mendokumentasikan hal itu, petugas BNPB langsung menghubungi tim Penegakan Hukum dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Komandan Brigade Satuan Polisi Operasi Reaksi Cepat Kalteng Irmansyah mengungkapkan, pihaknya langsung menurunkan tim ke lokasi.
Dari titik koordinat yang diberikan, lokasi foto pembalakan liar tersebut berada di kawasan hutan produksi berbatasan langsung dengan wilayah perusahaan penjual karbon. ”Kami sudah turunkan tim dan akan menelusurinya hingga bisa diketahui sumber masalahnya,” kata Irmansyah.
Irmansyah mengungkapkan, pembalakan liar masih ramai terjadi di Kalteng. Ia mencatat selama pandemi Covid-19, timnya telah menggagalkan pengiriman 46 meter kubik kayu ilegal tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan.
Jika rata-rata sebuah truk memuat 9,5 meter kubik kayu, setidaknya dibutuhkan empat sampai lima truk untuk mengangkut 46 meter kubik kayu ilegal itu.
Kayu-kayu itu merupakan hasil pengungkapan dua kasus pembalakan liar. Lima pelaku, mulai dari sopir hingga pemodal, telah ditangkap. Kasus itu kini tengah menuju persidangan. Sebagian besar kayu yang menjadi sasaran pembalak dan pengolah kayu ilegal adalah jenis meranti.
”Pembalakan masih ada dan marak. Ini akan memicu kerusakan alam dan bakal berdampak pada bencana juga, mulai dari kebakaran hingga banjir,” katanya.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, tutupan hutan di Kalteng turun tiap tahun. Jika tahun 1990 masih 11,05 juta hektar, pada 2014 tinggal 7,8 juta hektar.
Wilayah Kalteng secara keseluruhan mencapai 15,8 juta hektar. Sebanyak 78 persen atau 11,3 juta hektar sudah dimiliki pengusaha pemegang izin konsesi, baik yang sudah maupun yang belum beroperasi.
Direktur Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, pembalakan liar mulai terjadi di beberapa wilayah meski tak semasif periode tahun 1980-2000. Namun, pembalakan tetap akan berujung pada kerusakan lingkungan.
”Ini butuh komitmen semua pihak, tetapi perlu dilihat juga latar belakangnya, kebutuhan ekonomi bisa jadi pemicunya,” kata Dimas.
Dimas menambahkan, aparat keamanan seharusnya tidak hanya menargetkan pembalak di lokasi. Para pembalak di lokasi itu tidak menjual sendiri kayu yang ditebangnya. Menurut Dimas, selama pemodal dan pembeli tidak ditangkap, pembalakan akan terus berlangsung. Kerusakan hutan dan bencana pun akan datang.
”Yang jadi target utama itu harusnya pemodal dan mereka yang membeli kayu itu. Selama ini yang ditangkap, kan, kalau bukan yang motong, ya, sopir,” kata Dimas.