Warga di kawasan rawan bencana belajar dari bencana terdahulu untuk mengantisipasi kejadian serupa pada masa yang akan datang.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hidup di kawasan rawan bencana seperti lereng gunung berapi penuh risiko dan bahaya. Mau tidak mau, warga harus belajar cara mengantisipasi saat bencana datang, termasuk meminimalkan korban jiwa dan kerugian.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat setidaknya 4,5 juta warga hidup dan bermata pencarian di kawasan rawan bencana gunung api. Mereka mendiami kawasan dalam level 1-3. Semakin tinggi level, semakin tinggi pula risiko dan bahayanya.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi lewat diskusi daring menggali pengalaman warga di kawasan rawan bencana Gunung Kelud, Jawa Timur, Rabu (9/9/2020). Gunung ini telah beberapa kali meletus, antara lain, tahun 1919, 1966, 1990, 2007, dan 2014. Letusannya menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian.
Diono (60) sejak lahir bermukim di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Desa ini terletak pada level 3 kawasan rawan bencana. Jaraknya sekitar 8 km dari puncak Gunung Kelud.
Petani ini sudah empat kali mengalami letusan gunung, yaitu 1966, 1990, 2007, dan 2014. ”Letusan paling dahsyat tahun 1990. Rasanya seperti akan kiamat karena suara material, pohon tumbang, dan teriakan hewan menjadi satu. Warga hiruk-pikuk menyelamatkan diri. Jalan desa jadi lautan pasir,” kata Dariono.
Saat itu arus informasi lambat dan terbatas sehingga evakuasi terkendala. Hanya ada empat kendaraan untuk mengangkut warga sehingga sebagian berjalan kaki sejauh 8 kilometer ke kecamatan. Butuh waktu dua pekan membersihkan desa dari material letusan. Sementara perbaikan desa berlangsung hingga bertahun-tahun.
Dariono menuturkan, warga enggan pindah meskipun rawan bencana karena tanah kelahiran, tidak mau memulai kehidupan dari awal di tempat baru, dan ekonomi. Lahan pertanian di daerah itu tergolong subur, apalagi setelah letusan. ”Kami belajar, lebih waspada, rutin meminta dan terima informasi dari pos pengamatan,” ujarnya.
Warga juga menyesuaikan bentuk rumah dengan potensi letusan. Dahulu atap rumah lebar dan pendek dengan dinding dari bambu dan kayu. Kini atap rumah berbentuk kerucut dengan dinding batako. Hasilnya kerusakan atap dan dinding lebih sedikit saat gunung meletus tahun 2014.
Sukarelawan bencana dari Desa Sempu, Kecamatan Ngancar, Sugito, turut merasakan perubahan tanggap bencana dari waktu ke waktu. Pada letusan tahun 1990, warga panik bukan main untuk selamatkan diri. Suasana mencekam karena matahari terhalang abu selama dua hari. Banyak rumah roboh karena lumpur dan material batu sekepalan tangan. Jalan desa tertutup material pasir dan batu setebal 30-40 cm.
Perlahan warga lebih awas setelah mendapatkan penjelasan dari petugas pengamatan gunung berapi dan sukarelawan. Suatu proses yang panjang karena harus menjelaskan dengan logis saat banyak mitos.
Percaya
Warga rutin berdoa dan membawa sesajen ke puncak Gunung Kelud setiap tahun. Mereka berdoa memohon perlindungan atau terhindar dari malapetaka.
Sugito menuturkan, ada kepercayaan tentang hari dan pasaran keramat bahwa Gunung Kelud meletus setiap Wage berdasarkan kalender Jawa. Warga yang bekerja harus berhati-hati dan waspada. Kemudian gunung tidak meletus kalau ada suara belalang dan kicauan burung.
Caranya meyakinkan warga ialah rutin mengumpulkan informasi lengkap dari petugas pengamatan gunung berapi. Informasi tentang gempa, suhu udara, panas, kondisi danau kawah, dan lainnya ini menjadi pedoman warga. ”Saya berusaha jelaskan supaya warga mengerti. Lambat laun warga terima,” katanya.
Petani ini membagi informasi dan imbauan sesuai tingkat waspada, siaga, dan awas. Saat status waspada, warga wajib mengumpulkan dokumen penting di dalam satu tas supaya tidak hilang atau rusak.
Saat tingkat siaga, warga wajib mencopot genteng menuju talang supaya pasir dan bebatuan tidak membebani atap rumah. Ini meminimalkan potensi atap roboh. Sementara tingkat awas, warga wajib membawa dokumen ke tempat pengungsian. Butuh proses panjang supaya timbul kesadaran risiko dan bahaya bencana. Komunikasi dua arah sangat penting dalam proses ini.