Berkali-kali didera gempa, tsunami, konflik sosial, dan kini Covid-19, tetapi Ambon mampu melewati masa-masa sulit itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Kota Ambon boleh jadi satu dari sebagian kecil kota di bawah kolong langit ini yang sering kali dilanda musibah. Gempa, tsunami, konflik sosial silih berganti datang dan pergi. Kota berjuluk ”manise” yang pernah diramalkan kiamat itu tak pernah menyerah, menolak tunduk pada musibah, dan terus kokoh berdiri hingga usianya yang ke 445 pada 7 September 2020.
Gerimis turun perlahan menjemput hari pertama September 2020. Kota di bibir pantai yang selalu ramai dengan alunan musik dan nyanyian warga itu berubah sendu. Ambon dan hampir semua kota di seluruh dunia terhempas virus korona baru penyebab Covid-19. Virus yang pertama kali muncul di Wuhan, China, sekitar 4.200 kilometer barat laut Ambon itu menyebar cepat.
Virus pertama masuk Ambon diketahui dibawa pekerja dari Pulau Jawa, yang diumumkan pada 22 Maret. Hingga 2 September, jumlah warga Kota Ambon yang terinfeksi sebanyak 1.483 orang dengan 26 orang di antaranya meninggal. Sebagai ibu kota provinsi, titik transit bagi 10 kabupaten lainnya di Maluku, Ambon menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak. Sekitar 78 persen dari total kasus di Maluku.
Covid-19 membuat wajah September kali ini pun muram. Bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, September menjadi momentum paling diburu turis untuk datang ke Ambon. Saat dimana tingkat kunjungan wisatawan tertinggi. Dalam kelender kegiatan bertajuk Visit Ambon 2020, terdapat puluhan kegiatan selama bulan ini, yang memuncak pada 7 September bersamaan peringatan HUT Kota Ambon.
Biasanya puluhan perahu luar negeri menyinggahi Ambon. Para turis menikmati pesona kota, mengikuti tur sejarah, menyaksikan seremoni adat di kampung-kampung, mendengar alunan musik dan suara emas orang Ambon, hingga mencecap kuliner setempat. Warga negara asing berdarah Maluku juga banyak yang pulang menengok kampung halaman leluhurnya.
Setiap tahun, perayaan HUT biasanya digelar di Lapangan Merdeka, jantung kota berpenduduk 331.000 jiwa itu. Lapangan Merdeka terbuka bagi siapa saja datang. Acara HUT dimeriahkan puluhan grup musik bahkan pernah ada atraksi terjun payung. Selain wisatawan asing, tamu yang hampir hadir setiap tahun pejabat Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya.
Kini, Covid-19 membuyarkan semua itu. Namun, Ambon enggan menyerah.
Perayaan HUT tahun ini berlangsung sederhana. Digelar di Lapangan Tahapary dengan peserta dibatasi tidak lebih dari 100 orang. Tempat itu dipilih dengan pertimbangan dikelilingi tembok sehingga setiap orang yang datang mudah diawasi sebagimana protokol Covid-19. Warga diminta menonton perayaan lewat tayangan yang dipancarkan melalui media sosial. Tak ada tamu dan warga kehormatan yang datang.
Jopie Saleky (40), warga kota, mengajak sesama warga Kota Ambon untuk bersama mematuhi protokol Covid-19. Ulang tahun Kota Ambon menjadi momentum untuk bangkit mengalahkan Covid-19. ”Kita sudah sering kali mengalami masa-masa sulit di kota ini. Kita mencintai kota ini. Kita buktikan, kita orang Ambon bisa melewati tantangan ini,” katanya.
Ambon dalam setahun terakhir terus dirundung duka. Tahun lalu, 19 hari setelah merayakan ulang tahun ke 444, gempa berkekuatan magnitudo 6,5 mengguncang Ambon. Ratusan rumah rusak, ribuan orang mengungsi, dan lebih dari 20 orang meninggal.
Hingga kini, masih banyak warga yang tinggal di tenda darurat. Kedatangan wabah Covid-19 membuat mereka seakan jatuh dan tertimpah tangga lagi.
Ambon dan sekitar 1.340 pulau lainnya di Maluku rawan gempa dan tsunami. Jejak terdahsyat pernah ditulis Georg Eberhard Rumphius dalam ”De Levensbeschrijving van Rumphius” yang dialihbahasakan oleh Frans Rijoly. Rumphius menulis, gempa besar diikuti tsunami pernah terjadi di Ambon pada 17 Februari 1674. Lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anaknya.
Tahun 1950, tsunami kembali melanda Ambon. Peristiwa itu meninggalkan trauma hingga saat ini. Banyak saksi sejarah masih hidup. Gempa dan tsunami seperti pemberian alam yang kapan saja bisa datang. Hidup dalam ancaman bencana perlahan membuat masyarakat Ambon mulai sadar bencana. Mereka terbiasa dengan prosedur penyelamatan diri pada saat gempa besar.
Filosofi beringin
Tak hanya bencana alam, Kota Ambon pernah porak-poranda dilanda konflik sosial bernuansa agama selama lebih kurang empat tahun sejak 1999. Hampir 10.000 orang meninggal dan ratusan ribu orang mengungsi. Pertumbuhan ekonomi sempat anjlok hingga minus 24 persen. ”Waktu itu banyak orang meramalkan Kota Ambon akan kiamat. Hancur lebur saat itu,” ujar Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy.
Ambon lalu perlahan bangkit dan menjadi kota di Indonesia dengan indeks toleransi tertinggi. Banyak orang dari luar daerah bahkan luar negeri datang belajar tentang toleransi di kota bekas konflik itu. Dari sisi ekonomi, Ambon menjadi kota yang tumbuh pesat ditopang perdagangan dan jasa. Sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi sempat di atas 6 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan nasional.
Kota Ambon terus tumbuh dan melebar menjadi kota kreatif. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan Ambon sebagai salah satu kota kreatif berbasis musik di dunia. Saat penetapan yang berlangsung Rabu (30/10/2019), Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, Ambon jadi satu-satunya kota di Asia Tenggara yang mendapat predikat itu.
”Orang-orang yang dulu pernah meninggalkan Ambon karena konflik, kini kaget melihat perkembangan Ambon. Kota ini maju karena didukung oleh semangat masyarakat yang tidak mau menyerah dalam keterpurukan. Juga tidak lepas dari pemimpin yang pernah memimpin kota ini dari masa ke masa. Kunci jadi pemimpin di Ambon adalah harus menunjukkan sikap melayani,” ujar Richard yang menjadi wali kota Ambon ke-16.
Kemauan keras masyarakat Ambon untuk bangkit itu, oleh pemerhati sosial dari Institut Agama Islam Negeri Ambon Abidin Wakano, dianggap sebagai bagian dari jati diri orang Maluku. Semangat pantang menyerah dibentuk oleh alam. Deburan ombak dan angin yang kencang ikut membuat jiwa-jiwa yang tumbuh di daerah memiliki ketahanan yang tinggi.
Pembentukan karakter diri itu pun semakin diteguhkan dalam berbagai falsafa hidup dan kearifan lokal. Ia mengutip semboyan Nunusaku dalam bahasa Wemale di Pulau Seram tepatnya Negeri Latu. ”Nunu pari hatu, hatu pari nunu. Artinya, bersatu atau kokohlah seperti pohon beringin yang melingkari batu karang dan batu karang yang mendekap akar pohon beringin,” ujarnya.
Spirit pantang menyerah itu harus terus digelorakan pada masa pandemi Covid-19. Masyarakat diajak bersama membawa Ambon melewati masa sulit ini. Tak perlu berat-berat. Cukup menjalani protokol Covid-19: jaga jarak, pake masker, dan rajin cuci tangan. Itu sebagai wujud rasa cintai Ambon, kota yang kini mencapai usia 445 tahun. Selamat ulang tahun kota manise.