16 Satwa Liar Diselamatkan dari Pemeliharaan Tanpa Izin di Sulut
Sebanyak 16 satwa liar yang dilindungi karena terancam punah diamankan dalam Operasi Penertiban Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar di Sulawesi Utara. Mereka akan direhabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 16 satwa liar yang dilindungi karena terancam punah disita dalam Operasi Penertiban Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar di Sulawesi Utara. Satwa-satwa liar itu akan dibawa ke Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki Minahasa Utara untuk direhabilitasi.
Operasi dilaksanakan sejak Sabtu hingga Selasa (5-8/9/2020). Tim gabungan pelaksana operasi terdiri dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut, dan Direktorat Tindak Pidana Terpadu (Tipidter) Polda Sulut.
Melalui siaran pers tertulis, Rabu (9/9/2020), Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Ditjen Gakkum KLHK Sustyo Iriyono mengatakan, operasi ini dilaksanakan di sejumlah wilayah dengan tingkat kejahatan alam (wildlife crime) tinggi, termasuk Sulut. Tim berhasil menyita 16 satwa dilindungi dari sembilan titik di Manado, Minahasa Utara, dan Minahasa.
Tangkapan meliputi berbagai jenis burung, yaitu tiga kakatua jambul putih (Cacatua alba), dua kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), tiga nuri bayan (Eclectus roratus), dua nuri ternate (Lorius garrulus), satu kasturi kepala hitam (Lorius lory), dua nuri kalung ungu (Eos squamata), dan seekor tiong nias (Gracula robusta). Tim bahkan juga menyelamatkan dua monyet hitam sulawesi atau yaki (Macaca nigra).
”Hasil operasi di Sulut ini menunjukkan komitmen dan konsistensi KLHK dalam menyelamatkan kekayaan hayati Indonesia. Ketiadaan satwa tertentu di alam dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan akan menimbulkan permasalahan ekologis lainnya,” kata Sustyo.
Pada hari pertama saja, Sabtu (5/9), tim gabungan sudah menyelamatkan 10 burung kakatua, nuri, kasturi, dan tiong. Tim mendatangi rumah-rumah warga yang telah diketahui memelihara hewan-hewan yang masuk dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Kebanyakan warga yang didatangi satwa liar mengaku sebagai pencinta hewan. Salah satunya adalah Aswan Idrak (55) di Wanea, Manado. Penyidik pegawai negeri sipil itu telah memelihara seekor kakatua jambul putih selama 15 tahun terakhir. Ia tidak mengantongi izin memelihara sehingga melanggar UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Aswan juga tidak tahu kalau belakangan kakatua jambul putih sudah masuk daftar hewan dilindungi sesuai Permen LHK No 106/2018. ”Delapan tahun lalu saya mau urus izin, tetapi katanya tidak perlu,” ujarnya.
Saat tim hendak menyita burung itu, ia memohon penundaan dan berjanji akan membawanya ke kantor BKSDA dua hari kemudian. Namun, permohonan itu ditolak oleh tim gabungan. Negosiasi dilaksanakan secara persuasif dengan cara memberikan penjelasan.
Di daerah Kairagi, Manado, tim gabungan yang melibatkan polisi hutan itu juga menyita seekor kakatua jambul kuning yang sudah 13 tahun dipelihara Rudy Santoso (70) dan anaknya, Edwin Santoso (39). Edwin tahu burung itu dilindungi oleh UU sehingga diperlukan izin khusus untuk memelihara atau menangkarnya.
”Saya suka sekali membuat penangkaran dan mengembangbiakkan mereka. Tapi, saya takut, kalau mengajukan izin, jangan-jangan ditolak dan burung-burung yang kami pelihara malah diambil,” kata Edwin.
Edwin juga memelihara 16 gelatik jawa (Lonchura oryzivor). Kepala Seksi Konservasi Wilayah 1 Bitung di BKSDA Sulut Yakub Ambagau, yang memimpin operasi itu, mengatakan, tim akan mengambil burung-burung itu jika Edwin tak segera mengurus izin.
Adapun Totok Subandi (70), warga Paniki Bawah, Manado, telah memelihara kasturi kepala hitam yang tak lagi bisa terbang selama 15 tahun terakhir. Ia tahu burung itu berasal dari Papua dan dilindungi. ”Kalau memang mau dibawa, bawa saja. Saya tidak keberatan,” ujarnya.
Pada hari kedua, kata Yakub, tim menyita dua yaki di dua titik. Ia mengatakan masih memverifikasi informasi adanya empat yaki lain yang dipelihara warga. ”Kalau ada kabar A1, pasti kami kabari,” kata Yakub. Namun, BKSDA Sulut tidak lagi mengundang Kompas untuk turut meliput operasi yang telah dijadwalkan berlangsung lima hari itu.
Indonesia merugi 6 miliar dollar AS akibat perdagangan satwa liar.
Satwa-satwa liar ini akan dibawa ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki untuk menjalani rehabilitasi. Rehabilitasi mencakup pemantauan kesehatan satwa serta upaya mengembalikan sifat liarnya yang telah hilang karena bertahun-tahun dipelihara dalam kandang dan interaksi dengan manusia.
Proses ini bisa berlangsung bertahun-tahun sebelum satwa liar bisa dilepasliarkan. Bulan lalu, 11 ekor yaki di PPS Tasikoki dilepasliarkan setelah direhabilitasi selama lebih dari satu dasawarsa. Adapun pelepasliaran disesuaikan dengan habitat asli satwa tersebut di seluruh Indonesia, seperti Papua, Maluku, dan kepulauan di Sulut.
Sementara itu, menurut Sustyo, tim masih akan melanjutkan operasinya. Sebab, Sulut merupakan daerah rawan perdagangan satwa liar. ”Kami tidak akan berhenti mengejar para pemburu dan pedagang ilegal satwa dilindungi. Perdagangan satwa liar dilindungi ini termasuk kejahatan transnasional yang melibatkan aktor lintas negara,” tuturnya.
Menurut Willie Smits, Ketua Yayasan Masarang yang membawahkan PPS Tasikoki, Indonesia merugi 6 miliar dollar AS akibat perdagangan satwa liar. Kerusakan alam pun juga tak dapat dicegah. Hewan-hewan yang berstatus dilindungi akan punah jika mereka tidak dapat berkembang biak karena dipindahkan dari habitat aslinya.
Kepala BKSDA Sulut Noel Layuk Allo mengatakan, pihaknya terus mengumpulkan informasi terkait jaringan perdagangan satwa antarpulau dan ke luar negeri. ”Kami akan terus bekerja sama dengan Ditjen Gakkum, aparat penegakan hukum, juga melakukan sosialisasi dan pencegahan,” kata Noel.