Wajah Harapan dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di Pulau Gangga
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Tut Wuri Handayani di Pulau Gangga, Minahasa Utara, menumbuhkan harapan warga pada kehidupan yang lebih baik. Warga memaksimalkan beragam keterampulan yang ditawarkan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Tut Wuri Handayani di Desa Gangga II, Pulau Gangga, Minahasa Utara, tak hanya menawarkan ijazah program pendidikan nonformal. Beragam pelatihan keahlian, seperti membuat abon cakalang dan mengoperasikan komputer, juga diadakan agar masyarakat turut mencecap nikmatnya peluang bisnis.
Sorot mata Syahrul Badabora (18) beradu dengan layar laptop di hadapannya. Sesekali fokus ia pindahkan ke huruf dan angka di papan ketik. Dengan hati-hati, ia menyalin rangkaian kata, kalimat, dan alinea yang tercetak pada sebuah buku pelajaran.
Tampilan teks di buku dan layar laptop pun serupa, dari awalan paragraf yang menjorok ke dalam, kata yang dicetak miring atau tebal, hingga poin-poin yang diawali huruf atau bulatan. Seorang teman perempuan di sampingnya membacakan kata demi kata agar Syahrul tak perlu memecah fokus lebih banyak antara komputer jinjing dan buku.
Selama ini, kalau mau latihan komputer, kami harus pergi agak jauh ke Desa Gangga I di rumah guru SMK. Kami menginap di sana.
Rupanya, lulusan SMK jurusan pariwisata itu makin cekatan mengoperasikan aplikasi Microsoft Word. Hal yang sama tampak ketika ia memasukkan catatan penjualan ikan di toko fiktif dalam latihan mengoperasikan aplikasi Microsoft Excel. Syahrul tak kesulitan membedakan rumus-rumus, seperti rata-rata, jumlah, atau perkalian meski kode-kodenya menggunakan bahasa Inggris.
”Saya menyelesaikan pendidikan dari SD sampai SMK di kampung (Pulau Gangga). Selama ini, kalau mau latihan komputer, kami harus pergi agak jauh ke Desa Gangga I di rumah guru SMK. Kami menginap di sana,” kata Syahrul, Minggu (30/8/2020), selepas latihan komputer di depan aula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Tut Wuri Handayani.
Dibukanya pelatihan komputer hingga tiga bulan ke depan di PKBM Desa Gangga II itu berarti Syahrul tak perlu berjalan terlalu jauh. Maklum, tak semua warga di pulau seluas 14,95 kilometer persegi di lepas pantai pucuk utara Minahasa Utara, Sulawesi Utara, itu memiliki sepeda motor untuk menempuh jarak 5 kilometer ke desa sebelah.
Syahrul pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Setiap akhir pekan, Farid Bachmid (57), pendiri PKBM Tut Wuri Handayani, datang bersama anaknya serta rombongan pengajar sukarela untuk memberikan kursus singkat komputer serta mengajar para peserta Kejar Paket A, B, dan C.
Syahrul pun punya kesempatan setidaknya dua kali untuk belajar komputer secara tatap muka. Menurut Syahrul, yang kini guru honorer di SD satu-satunya di Desa Gangga II dan sukarelawan di PKBM Tut Wuri Handayani itu, kemampuan mengoperasikan komputer akan sangat menunjang pekerjannya.
Tidak hanya anak muda seperti Syahrul yang memanfaatkan kesempatan itu. Perangkat desa seperti Charly Tompo, Kepala Dusun II di Desa Gangga II, juga turut ambil bagian meski ia menjadi peserta paling tua. Namun, bagi dia, kebutuhan pekerjaan lebih penting ketimbang gengsi.
Sayangnya, tidak ada komputer yang disediakan di PKBM dan di sekolah. Karena itu, peserta diminta mengunduh Microsoft Word ataupun Excel di ponsel mereka agar bisa latihan sendiri.
Menurut Farid Bachmid, ada tiga metode untuk menjalankan pendidikan nonformal dan informal, yaitu tatap muka, tutorial, dan mandiri. Agar menguasai materi dan menerapkannya, latihan mandiri menjadi sangat krusial, termasuk untuk mendapatkan sertifikat dari program keahlian yang diadakannya itu dengan pembiayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Menurut arahan pusat, saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, tatap muka juga harus dibatasi. Asalkan rajin latihan, sertifikat latihan komputer ini nantinya bisa mendukung saat peserta mencari kerja di mana pun,” kata Farid.
Bahari
Pelatihan keterampilan yang diberikan PKBM Tut Wuri Handayani tak sepenuhnya lepas dari basis bahari masyarakat Desa Gangga II. Untuk kali kedua, PKBM itu membuka program pelatihan pembuatan abon dari ikan cakalang untuk memaksimalkan kekayaan laut yang mengelilingi pulau seluas 14,95 kilometer persegi itu.
Sebelum latihan komputer itu, Farid mengumpulkan 21 wanita di rentang usia 20-50 di aula PKBM yang ia kelola itu. Sebanyak 17 di antaranya adalah peserta pendidikan kecakapan wirausaha. Mereka terbagi menjadi empat kelompok yang masing-masing didampingi seorang pembina yang telah mendapat pelatihan membuat abon cakalang lebih dulu.
Supatmi Bahar (40) termasuk dalam jajaran pembina. ”Cara bikinnya tidak sulit. Ikan cakalang lalu direbus, kemudian dicampur rempah-rempah, seperti jahe, jeruk nipis, cabai, dan ketumbar. Kemudian, ikan ditumbuk, lalu digoreng di atas belanga sampai kering. Dua jam saja sudah selesai,” katanya.
Peralatan yang digunakan, seperti sudip, panci, dan belanga, tak sulit didapat. Supatmi pun ditugasi menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pelatihan dengan pendanaan Kemendikbud yang disalurkan PKBM Tut Wuri Handayani. Ia juga mendapat upah Rp 100.000 setiap pertemuan, yaitu dua kali sepekan selama tiga bulan.
Kendati begitu, yang terpenting bagi Supatmi adalah keberdayaannya. ”Saya bangga bisa jadi pembina. Artinya, kemampuan saya diakui meskipun saya tidak sampai punya ijazah SMA. Semoga saya bisa ikut membantu memperbaiki hidup warga desa,” katanya.
Farida Balo (42) juga ditunjuk menjadi pembina ibu-ibu peserta pelatihan membuat abon. Menurut dia, kemampuan kampungnya membuat abon cakalang bisa berujung pada kesejahteraan. Jangan sampai pembukaan resor dan restoran yang mendatangkan wisatawan China di Pulau Gangga sejak tahun lalu tidak dapat dimanfaatkan warga.
Fardhyla Bachmid (29), putri Farid Bachmid, sekaligus pengajar di PKBM Tut Wuri Handayani, berharap pelatihan itu nantinya bisa mewujudkan mimpinya, yaitu Desa Gangga II menjadi desa wisata bagi para wisatawan mancanegara. Setiap lorong ia harapkan bisa membuat berbagai produk, seperti abon cakalang, garam pati, dan cendera mata dari kerang.
”Warga harus bisa memaksimalkan potensi yang ada di desa. Oleh-oleh itu pun bisa dinikmati para wisatawan, atau bahkan dijual sampai ke Manado. Warga harus bisa menjadi bos untuk diri sendiri,” kata Dhyla.
Farid pun telah menandatangani kerja sama dengan enam toko oleh-oleh di Manado. Setidaknya selama pandemi melumpuhkan pariwisata di Pulau Gangga, para ibu-ibu tetap dapat meraup pendapatan dari penjualan di Manado, di mana aktivitas ekonomi telah menggeliat sekalipun masih berstatus zona merah.
Sekretaris Desa Gangga II Bahrudin Bakari (44) mengaku senang dengan program yang diadakan PKBM Tut Wuri Handayani di desanya. Sebab, pemberdayaan ekonomi warga desa menjadi hal yang masih diperjuangkan pemerintah desa. Dari 500 warga dewasa di desa itu, hanya 30 persen yang memiliki pendidikan setara SMA dan SMK sehingga peluang mendapatkan kerja cenderung rendah.
Namun, seperti Supatmi dan Farida, Bahrudin berharap para pengajar di PKBM bisa membukakan pintu pemasaran abon cakalang itu. Ia ingin warga bisa menjualnya secara mandiri tanpa bergantung pada keluarga Farid Bachmid.
”Selama ini, saya bantu untuk pasarkan ke teman di Manado, tetapi tidak bisa berlanjut. Akan lebih baik jika bisa titip di toko, tidak perlu bergantung kepada Pak Haji (Farid),” katanya.
Bahrudin juga berharap keberadaan PKBM bisa memacu semangat warga untuk belajar dan memperkaya keahlian diri. PKBM Tut Wuri Handayani juga diharapkan tak hanya jadi pelengkap SD, SMP, SMK, dan madrasah yang sudah ada di Pulau Gangga, tetapi juga tempat tumbuhnya harapan menuju kesejahteraan warga pesisir. Semoga.