Satu Dekade Maluku Diguncang 17.400 Gempa, Mitigasi Bencana Masih Terabaikan
Dalam satu dekade terakhir, Maluku diguncang 17.400 gempa. Maluku merupakan wilayah rawan gempa dan tsunami. Kendati demikian, aspek mitigasi masih terabaikan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Selama hampir satu dekade terakhir, Maluku diguncang gempa tektonik sekitar 17.400 kali. Guncangan menimbulkan kerusakan di hampir seluruh wilayah Maluku. Kondisi ini memberi peringatan betapa posisi geografis Maluku rawan gempa dan tsunami. Sayangnya, banyak kebijakan pembangunan di Maluku mengabaikan aspek mitigasi bencana.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin, di Ambon, Selasa (8/9/2020), mengatakan, jumlah kejadian gempa itu terhitung sejak 1 Januari 2011 hingga Selasa pukul 11.00 WIT. Dari total 17.400 kali gempa itu, jumlah kejadian gempa yang dirasakan 835 kali.
Menurut Andi, tingginya kejadian gempa di Maluku disebabkan terdapat banyak patahan di daerah itu. Masyarakat diimbau selalu waspada dan menjalankan prosedur penyelamatan diri pada saat kondisi darurat. Tidak tertutup kemungkinan terjadi guncangan besar yang merusak.
”Juga yang paling penting adalah mencari informasi dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Dalam catatan kegempaan di Maluku, kejadian gempa terakhir yang merusak adalah pada 26 September 2019. Gempa dengan magnitudo 6,5 yang berpusat di antara Pulau Ambon dan Pulau Seram kala itu terasa juga di beberapa pulau lainnya, seperti Haruku, Saparua, dan Nusalaut. Sekitar 30 orang meninggal, ratusan luka, dan ribuan mengungsi.
Korban meninggal kebanyakan akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Ada bangunan beton yang hanya ditopang satu besi pada tiangnya. Bahkan, ada yang tidak menggunakan besi sama sekali. Tiap sudut rumah dieratkan dengan batako. Model bangunan ini oleh penduduk setempat disebut sistem gigi anjing.
”Sekarang ini, kami masih kumpul duit untuk bikin rumah bakancing biar tahan gempa,”ujar Musa Lessy (42), saat dihubungi Kompas. Musa merupakan korban gempa yang rumahnya ambruk. Rumah bakancing yang dimaksud adalah rumah tradisional dengan tiang kayu yang saling mengunci. Dinding rumah biasanya dengan campuran pasir dan semen tipis. Pada saat gempa, rumah-rumah itu aman.
Mitigasi bencana
Pada Selasa pagi, gempa dengan magnitudo 6,2 terjadi di Laut Banda, 38 kilometer arah selatan Kepulauan Banda. Guncangan gempa terasa hingga ke Pulau Seram dan Pulau Ambon yang terpaut lebih dari 300 kilometer dari pusat gempa. Gempa pada kedalaman 193 kilometer itu tidak berpotensi menimbulkan tsunami.
”Di Banda, ada yang rasakan guncangan, tapi ada juga yang tidak rasa,” tutur Reza Tuasikal, warga Banda.
Theria Salhuteru Sitanala dari komunitas Moluccas Coastal Care mengatakan, wilayah Maluku yang rawan gempa dan tsunami tidak terlalu diperhatikan pemerintah dari sisi mitigasi. Theria memberi contoh pemerintah mengizinkan penebangan mangrove di pesisir Teluk Ambon untuk pembangunan tempat usaha. Dalam 25 tahun terakhir, luasan hutan mangrove berkurang dari 43 hektar menjadi kurang dari 30 hektar.
”Padahal, di banyak tempat yang pernah dilanda tsunami, mangrove terbukti dapat membendung tsunami sehingga kerusakan dan korban sangat minim,” ujarnya. Dalam tiga tahun terakhir, komunitas Moluccas Coastal Care terlibat dalam penanaman dan pemeliharaan mangrove di Teluk Ambon.
Dalam catatan Kompas, bencana terdahsyat pernah ditulis Georg Eberhard Rumphius dalam ”De Levensbeschrijving van Rumphius” yang dialihbahasakan oleh Frans Rijoly. Rumphius menulis, gempa besar diikuti tsunami pernah terjadi di Ambon pada 17 Februari 1674. Lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anak Rumphius. Tahun 1950, tsunami kembali melanda Ambon.