Pemerintah Berencana Ubah Status Bandara Internasional Tanjung Pinang
Kementerian Perhubungan tengah mengkaji opsi mengubah status delapan bandara internasional menjadi bandara domestik. Salah satunya adalah Bandara Internasional Raja Haji Fisabillilah di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kementerian Perhubungan tengah mengkaji opsi mengubah status delapan bandara internasional menjadi bandara domestik. Salah satunya adalah Bandara Internasional Raja Haji Fisabillilah di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pemerintah provinsi meminta pemerintah pusat melakukan kajian mendalam sebelum merealisasikan rencana tersebut.
Kepala Bidang Pelayaran dan Penerbangan Dinas Perhubungan Kepri Tri Musa Yudha, Selasa (8/9/2020), mengatakan belum mendapat surat resmi dari pusat yang menyatakan status Bandara Internasional Raja Haji Fisabilillah (RHF) akan diturunkan menjadi bandara domestik. Namun, ia membenarkan, memang sudah lama tidak ada penerbangan internasional yang reguler di bandara tersebut.
”Jika pun ada penerbangan internasional, itu hanya kadang-kadang. Yang terakhir, Bandara RHF didatangi pesawat carter yang mengangkut tenaga kerja asal China sekitar awal Agustus lalu,” kata Tri.
Dahulu, Bandara RHF yang terletak di Tanjung Pinang, Pulau Bintan, itu bernama Bandara Kijang. Pada 2008 pembangunan bandara tersebut dimulai dengan memperpanjang landasan pacu dari 1.856 meter menjadi 2.256 meter. Terminal penumpang juga diperluas dari 2.118 meter persegi menjadi 8.348 meter persegi supaya bisa menampung lalu lintas 600.000 orang. Lalu pada 2014 landasan pacu kembali diperpanjang menjadi 3.578 meter agar pesawat berbadan lebar dari maskapai luar negeri bisa masuk.
Namun, selama ini, penerbangan internasional yang reguler di Kepri tetap lebih banyak mengandalkan Bandara Hang Nadim di Pulau Batam. Sementara Bandara RHF hanya kadang-kadang menerima pesawat carter wisatawan mancanegara yang akan berlibur di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Lagoi di Kabupaten Bintan yang berada di satu pulau dengan Tanjung Pinang.
Secara terpisah, Kepala Bagian Kerja Sama Internasional Humas dan Umum Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Budi Prayitno mengatakan, daftar delapan bandara internasional yang dikabarkan statusnya akan diubah menjadi bandara domestik itu belum final. Masih dibutuhkan evaluasi lanjutan sebelum kebijakan itu diterapkan.
Daftar delapan bandara internasional yang dikabarkan statusnya akan diubah menjadi bandara domestik itu belum final.
”Yang beredar ke publik itu surat internal dari Direktur Jenderal Perhubungan Udara kepada Menteri Perhubungan. Di surat itu belum ada tanggalnya sehingga belum bisa dijadikan referensi. Sifatnya baru sebatas usulan, masih dalam taraf evaluasi lebih lanjut,” ujar Budi.
Delapan bandara internasional yang tercantum dalam surat yang dimaksud oleh Budi itu adalah RHF di Tanjung Pinang, Maimun Saleh di Sabang, Husein Sastranegara di Bandung, Banyuwangi di Jawa Timur, Radin Inten II di Lampung, Pattimura di Ambon, Frans Kaisiepo di Biak, dan Mopah di Merauke. Semua diusulkan untuk diubah statusnya menjadi bandara domestik.
Meskipun statusnya saat ini merupakan bandara internasional, kata Budi, delapan lokasi itu sudah sangat jarang melayani penerbangan maskapai dari atau menuju luar negeri. Ia menyebutkan, Bandara Banyuwangi hampir tidak pernah melayani penerbangan internasional sejak beroperasi pada 2017.
”Begitu juga dengan Bandara (Maimun Saleh) Sabang. Bandara itu diberikan status internasional sesaat setelah bencana tsunami untuk mengakomodasi bantuan kemanusiaan internasional. Setelah itu, tidak ada lagi penerbangan internasional di sana,” kata Budi.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pariwisata Kepri Buralimar mengatakan, pemerintah pusat perlu mengadakan kajian mendalam sebelum benar-benar mengubah sejumlah status bandara internasional menjadi bandara domestik. Menurut dia, pada masa mendatang, Bandara Internasional RHF di Tanjung Pinang akan semakin penting untuk menjaring wisatawan mancanegara.
”Pemerintah pusat harus melihat potensi jangka panjang Bandara RHF yang sangat strategis sebagai akses masuk wisatawan ke KSPN Lagoi di Bintan dan ke ibu kota provinsi di Tanjung Pinang,” ucap Buralimar.
Tri juga sepakat bahwa wisatawan akan enggan berkunjung ke Bintan bila harus mendarat di Batam karena dengan begitu perjalanan harus menempuh jalur darat dan laut. Ia meminta Kementerian Perhubungan agar mempertimbangkan topografi wilayah Kepri yang merupakan pulau-pulau kecil.
”Kami mengerti, dengan mengurangi bandara internasional, pemerintah ingin wisatawan asing menggunakan maskapai lokal atau transportasi lokal lain agar perekonomian daerah bisa berkembang. Namun, hal ini sulit diterapkan di provinsi kepulauan seperti Kepri,” kata Tri.