Nestle secara bertahap akan mengurangi penggunaan kemasan plastik, termasuk sedotan, dengan kemasan yang bisa didaur ulang, seperti kertas. Hal itu untuk menegaskan komitmen mereka dalam mengurangi sampah plastik.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Nestle secara bertahap akan mengurangi penggunaan kemasan plastik, termasuk sedotan plastik, dengan kemasan yang bisa didaur ulang, seperti kertas. Hal itu untuk menegaskan komitmen mereka dalam menghentikan timbunan sampah plastik yang terus mencemari bumi.
Hal itu terungkap dalam pertemuan daring Nestle dengan media dari berbagai penjuru dunia, Senin (7/9/2020) malam. Hadir dalam pertemuan itu Magdi Batato (Executive Vice President/Head of Operations Nestle), Véronique Crémades-Mathis (Global Head of Sustainable Packaging Nestle), dan Stefan Palzer (Chief Technology Officer Nestle).
”Upaya kami mengurangi plastik ini bukan ingin bertentangan dengan perusahaan plastik. Plastik akan tetap jadi komponen kemasan kami. Tetapi, kami mengarah ke bioplastik. Jadi, ini bukan tentang melawan perusahaan plastik. Kami mengombinasi antara kertas dan bioplastik,” kata Executive Vice President/Head of Operations Nestle Magdi Batato.
Magdi menjelaskan bahwa upaya mengganti kemasan plastik itu tetap disesuaikan dengan iklim dan kondisi geografis. Jadi, antara satu tempat dan tempat lain akan berbeda bentuk. Di Eropa, misalnya, mereka bisa mengganti semua kemasan produk dengan kertas. Namun, di wilayah dengan kondisi iklim ekstrem, seperti Indonesia, kondisi itu akan disikapi dengan, misalnya, mengganti kemasan kedua produk (kemasan dalam). ”Solusi lokal untuk konsumen lokal,” katanya.
Global Head of Sustainable Packaging Nestle Véronique Crémades-Mathis mengatakan bahwa target kemasan produk Nestle bisa 100 persen didaur ulang pada 2025. ”Kami membuat langkah besar transformatif menuju masa depan bebas limbah. Kami tahu bahwa banyak hal harus dilakukan. Sebagai perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia, kami berkomitmen untuk mengatasi masalah limbah kemasan di wilayah mana pun kami beroperasi,” katanya.
Kami membuat langkah besar transformatif menuju masa depan bebas limbah.
Tiga hal dilakukan dalam mencapai target tersebut, yaitu mengembangkan kemasan baru (mengurangi plastik), menciptakan masa depan bebas sampah, serta mendorong perubahan perilaku dan memberi pemahaman baru soal kemasan produk.
Upaya mengurangi penggunaan kemasan plastik, salah satunya, dilakukan dengan mengganti sedotan plastik menjadi sedotan kertas. ”Sejak 2019, kami mulai menggunakan sedotan kertas pada kemasan minuman siap konsumsi Nescafe. Pada akhir 2020, kami akan menggunakan 100 persen sedotan kertas di semua kemasan minuman siap konsumsi Milo dan Dancow,” kata Head of Corporate Communication Nestle Indonesia Stephan Sinisuka.
Di samping itu, menurut Sinisuka, sejak 2019, lebih dari 14 juta gelas kertas (paper cup) telah digunakan oleh Nestle untuk kegiatan promosi/sampel, yaitu menggunakan material yang 100 persen dapat didaur ulang. ”Untuk mendukung masyarakat memulai kebiasan baik membuang dan memilah sampah dengan benar, Nestle Indonesia bekerja sama dengan SIG dan Armada Kemasan dalam menyediakan drop box di jaringan minimarket di Jakarta untuk mengumpulkan sampah kemasan guna didaur ulang sehingga tidak berakhir di tempat pembuangan akhir,” tutur Sinisuka.
Pengolahan Limbah
Selain mengganti kemasan produk, hal penting lain dalam upaya Nestle mendukung pengurangan sampah plastik adalah dengan membantu mengolah limbah sejak awal. ”Di Pasuruan, Indonesia, kami membuat langkah kecil, tetapi menunjukkan peningkatan, yaitu dengan Project Stop. Kami menciptakan sistem pengelolaan limbah berkelanjutan dan membantu mengurangi pencemaran palstik di laut di Indonesia,” kata Ganesan Ampalavanar, Presiden Direktur Nestle Indonesia.
Project Stop adalah program kemitraan dengan kota atau kabupaten untuk menjalankan sistem pengelolaan sampah secara komprehensif yang diluncurkan pada 2017. Kegiatan itu diinisiasi oleh Borealis dan Systemiq. Dalam kegiatan itu, Pemerintah Kabupaten Pasuruan menyediakan lahan seluas 2 hektar sebagai lokasi pembangunan TPST3R. Kegiatan dilakukan dengan menggandeng swasta dan masyarakat.
TPST3R adalah tempat pengelolaan sampah terpadu reduce, reuse, dan recycle (TPST3R). Lokasi TPST3R berada di Desa Balung Anyar, Kecamatan Lekok, Pasuruan. Namun, area jangkauan kegiatan hingga ke daerah-daerah sekitar, termasuk Kecamatan Nguling. Pasuruan adalah kota ketiga setelah Muncar (Banyuwangi) dan Jembrana (Bali) yang didorong untuk melakukan pengolahan sampah berkelanjutan tersebut.
Berdasarkan penelitian Project Stop, warga Lekok dan Nguling menghasilkan 39,5 ton sampah per hari. Sebanyak 76,96 persen atau setara 30,4 ton merupakan sampah rumah tangga, sedangkan 23,04 persen atau sebanyak 9,1 ton berupa sampah nonrumah tangga.
Perlakuan pada sampah-sampah itu bervariasi. Sebanyak 50 persen di antaranya dibakar, sedangkan sisanya dibuang ke sungai (17 persen), dibuang ke kebun (13 persen), ditransfer ke fasilitas pengolah sampah (9 persen), dibuang di pantai (6 persen), dan dikubur (4 persen).
Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf pada petemuan sebelumnya menyatakan, pengolahan sampah sudah menjadi prioritas pembangunannya selama ini.
”Beberapa upaya menangani sampah sudah kami lakukan. Misalnya, memindahkan TPA yang sudah overload, yaitu TPA Kenep di Beji, ke tempat baru di Wonokerto, Kecamatan Sukorejo, serta adanya program SDSB (satu desa satu bank sampah). Semua kami lakukan untuk menangani persoalan sampah,” kata Irsyad. Ia berharap TPST3R tersebut nantinya akan menjadi solusi penanganan sampah di Pasuruan timur dan wilayah pantai utara Pasuruan.
Ia berharap program tersebut tidak sekadar mengenalkan teknologi dan sistem pengelolaan sampah, tetapi juga mendorong budaya dan kesadaran masyarakat dalam memilah sampah sejak dari rumah.