Konflik Lahan Adat Belum Usai, Desa Kinipan Direndam Banjir
Belum usai konflik lahan antara Komunitas Adat Lahan Kinipan dan perusahaan perkebunan sawit, saat ini desa mereka dihajar banjir. Banjir tersebut merupakan dampak dari hilangnya hutan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Di tengah menyusutnya hutan adat akibat alih fungsi lahan, Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, direndam banjir. Semakin menurunnya daya dukung lingkungan dituding menjadi penyebabnya.
Tahun ini, sebagian kawasan Lamandau sudah dua kali direndam banjir. Banjir melanda 55 desa di tujuh kecamatan pada Juli lalu. Setidaknya, 5.926 orang terdampak dan 2.553 orang di antaranya mengungsi. Pada banjir kali ini, dari data sementara, diperkirakan ada delapan desa terendam banjir. Salah satunya adalah Desa Kinipan.
Kepala Desa Kinipan Wilem Hengki mengungkapkan, ketinggian banjir beragam. Air mulai memasuki permukiman hingga rumah warga. Bahkan, salah satu dermaga di pinggir sungai terendam hingga ke atap. ”Di salah satu jalan di desa itu, ketinggian air sampai 1 meter,” ungkap Wilem, saat dihubungi dari Palangkaraya, Senin (7/9/2020).
Wilem menjelaskan, banjir sudah melanda sebagian besar desanya sejak Minggu (6/9/2020). Menurut dia, setidaknya ada tiga desa lain yang terendam, yakni Kina, Jamuat, dan Mangkalang. Semuanya di Kecamatan Batang Kawa.
”Bertahun-tahun kami tinggal di sini, belum pernah banjir datang. Termasuk desa-desa tetangga itu, apalagi Desa Kina. Kina ada di hulu sungai, kok, bisa sampai banjir,” kata Wilem.
Wilem mengungkapkan, hujan turun deras setidaknya tiga hari terakhir. Hal itu menyebabkan Sungai Lamandau meluap. Hingga kini, lanjut Wilem, belum ada warga yang dievakuasi. ”Di Desa Kina, air sudah mencapai atap rumah,” katanya.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lamandau Edison Dewel masih mendata dampak banjir. Namun, tim BPBD sudah turun ke lokasi untuk memberikan logistik, sambil memantau dan mengevakuasi warga terdampak,” kata Edison.
Menurut Edison, pihaknya juga sudah menyiapkan posko-posko darurat di tiap kecamatan. Posko-posko itu nantinya akan dilengkapi dapur umum untuk memenuhi kebutuhan seperti air bersih hinga makanan bagi pengungsi.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Palangkaraya Lian Adriani mengungkapkan, Kalteng masih mengalami musim kemarau. Namun, hujan tetap diprediksi berlangsung dengan intensitas lebih rendah ketimbang musim hujan.
”Beberapa hari terakhir, intensitas hujan memang cukup tinggi. Salah satu penyebabnya, pelambatan kecepatan angin di beberapa daerah di Kalteng,” ungkap Lian.
Lian menjelaskan, kondisi pelambatan kecepatan angin tersebut membuat potensi pembentukan awan hujan. ”Kami sudah berikan peringatan dini mulai dari banjir hingga kebakaran hutan,” katanya.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Esau A Tambang mengungkapkan, banjir di Lamandau perlu dilihat sebagai dampak kurangnya daya dukung hutan.
”Daya dukung dan daya tampung aliran sungai di Lamandau itu sudah terlewatkan dan sudah rusak. Ini banjirnya, kan, mendadak dan tidak bisa diprediksi. Pasti sudah terlewatkan, makanya sekarang itu yang harus dipikirkan adalah pemulihannya,” kata Esau.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, kondisi hutan di hulu Sungai Lamandau sudah kritis akibat alih fungsi hutan yang masif. Dampak dari alih fungsi hutan itu menjadi bencana alam, salah satunya banjir.
”Harus ada perbaikan tata kelola sumber daya alam secepatnya karena pengelolaan yang diberikan ke investasi atau koorporasi berdampak buruk pada kondisi alam di sana,” kata Dimas.
Dimas menambahkan, pemerintah perlu melihat bencana alam di Lamandau sebagai dampak dari rusaknya hutan. Dengan begitu, pemerintah juga perlu melakukan evaluasi perizinan yang ada saat ini. ”Ini bukti dari pengelolaan sumber daya alam yang buruk dari korporasi, harus ada evaluasi perizinan,” kata Dimas.
Sebelumnya, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengungkapkan, konflik lahan dengan perusahaan di sekitar desa bermula dari hutan adat mereka yang masuk ke dalam konsesi perkebunan sawit. Dari 16.000 hektar lebih lahan hutan adat yang dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat di Desa Kinipan, terdapat 2.300 hektar yang sudah dibuka.
Effendi berharap, aktivitas pembukaan hutan menjadi perkebunan sawit bisa dihentikan hingga konflik selesai dan menemukan jalan keluar. Ia dan komunitas adatnya hanya ingin agar hutan adat yang mereka jaga dari generasi ke generasi tidak dirusak lagi.
”Kami sudah legowo hutan yang sudah dibuka, ya, sudah jangan ditambah lagi, tetapi ini masih terus bekerja. Banjir itu hanya salah satu dampak saja dari kerusakan hutan,” kata Effendi.