Berisiko Tinggi, Dokter dan Perawat Berharap dapat Fasilitas Tes Usap
Sejumlah dokter dan perawat di Banyuwangi kesulitan mendapatkan fasilitas untuk tes usap. Karena pekerjaan, mereka berisiko tinggi tertular Covid-19. Sudah ada 4 dokter dan 5 perawat yang terinfeksi Covid-19.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·5 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Sejumlah dokter dan perawat di Banyuwangi, Jawa Timur, kesulitan mendapatkan fasilitas untuk tes usap. Padahal mereka masuk dalam kategori berisiko tinggi tertular Covid-19 karena pekerjaan.
Selama ini para dokter dan perawat hanya berlindung di balik alat pelindung diri (APD), tanpa pernah mengetahui apakah diri mereka sudah terpapar Covid-19. Mereka baru menjalani tes usap apabila menunjukkan gejala. Padahal jika mereka masuk dalam kategori orang tanpa gejala, justru keluarga atau bahkan pasien yang mereka temui bisa terinfeksi.
Ditemui di Banyuwangi, Senin (7/9/2020), salah seorang dokter UGD di sebuah rumah sakit di Banyuwangi yang enggan identitasnya dipublikasikan mengaku belum pernah sekali pun mendapat fasilitas tes usap. Padahal tempat kerjanya di UGD mengharuskan ia bertemu dengan pasien tanpa pernah difilter kondisi kesehatannya.
”Pasien yang kami tangani memang harus di-rapid (tes cepat) terlebih dahulu. Tetapi sejauh mana hasilnya akurat. Saya pernah menangani pasien dengan gejala mengarah ke Covid-19, tapi hasil rapid-nya negatif. Ada pula pasien yang datang dengan keluhan sakit perut, tapi tahu-tahu ia dirawat di ruang isolasi khusus Covid-19. UGD saat ini seperti hutan belantara,” ungkapnya.
Dokter tersebut mengaku, selama ini hanya berlindung dan berpatokan pada APD dan SOP pelayanan. Sementara APD yang ia gunakan juga yang dipakai berulang-ulang. Hanya masker medis yang ia gunakan sekali pakai. Sisanya, apabila tidak rusak, APD tersebut digunakan lagi.
Dalam kondisi tersebut, ia tetap melayani tanpa pernah mengetahui apakah dirinya terinfeksi atau tidak. Selama ia tidak bergejala, ia tetap masuk kerja dan melayani pasien.
Selama ini, ia mengaku hanya dua kali mengikuti tes cepat, itu pun dilakukan pada Maret saat awal pandemi dan setelah kepala ruangan tempatnya bekerja mengajukan permohonan. Sementara untuk tes usap, permohonan yang pernah ia ajukan tak pernah terealisasi.
Dokter tersebut mengaku pernah mengajukan tes usap, tetapi permohonan tersebut tidak langsung ditindaklanjuti. Ia justru diminta untuk mencari pengantar rujukan dari puskesmas.
”Di puskesmas, hasil rapidtest saya nonreaktif sehingga saya tidak bisa di-swab. Saya ini khawatir apabila saya OTG. Saya punya anak dan saya tetap menangani pasien. Kalau saya menularkan bagaimana?” ujarnya gelisah.
Hal senada disampaikan salah satu perawat gigi di salah satu puskesmas di Banyuwangi yang juga enggan disebut namanya. Ia mengaku membutuhkan fasilitas tes usap, tetapi tak kunjung mendapatkan.
”Pekerjaan saya menuntut berdekatan dengan droplet yang menjadi sarana penularan Covid-19. Saya merasa tidak tertular karena menggunakan APD dan menjalankan SOP. Tetapi kalau ditanya apakah saya yakin tidak tertular, ya wallahualam,” tuturnya.
Perawat tersebut mengaku hanya dua kali menjalani test cepat. Pertama saat Maret ketika difasilitasi Dinas Kesehatan dan yang kedua atas biaya sendiri untuk keperluan perjalanan.
Tidak adanya fasilitas tes usap juga diserukan oleh Ikatan Dokter Indonesia Banyuwangi. Ketua IDI Banyuwangi dr Yos Hermawan mengatakan, saat ini tes usap dikategorikan sebagai upaya diagnosis, sedangkan upaya proteksi masih bersandar pada sikap, perilaku, dan alat pelindung diri yang dikenakan para dokter.
Yos mengatakan, para dokter yang bertugas di rumah sakit pasti dijamin APD yang lengkap dan mumpuni. Ia justru mengkhawatirkan para dokter yang praktik mandiri.
Yos mengatakan, saat ini sudah ada empat dokter yang sempat terinfeksi Covid-19. Sebagian besar dokter terinfeksi ketika berada di sarana pelayanan kesehatan.
”Saat ada kontak erat dengan pasien positif yang berisiko, patut kiranya institusi tempat dokter tersebut bekerja melakukan deteksi. Tenaga medis seperti dokter jaga di UGD memang seharunya mendapat fasilitas tes usap,” tuturnya.
Yos mengakui, saat ini fasilitas untuk tes usap bagi para dokter sangat minim. Ia menjadikan hal ini pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan untuk melindungi tenaga kesehatan dan juga pasien.
Tenaga medis seperti dokter jaga di UGD memang seharusnya mendapat fasilitas tes usap.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (DPD-PPNI) Banyuwangi Sugiyanto mengungkapkan dari sekitar 1.900 perawat di Banyuwangi, lima orang di antaranya terinfeksi Covid-19. Seorang perawat terinfeksi saat mengikuti pelatihan Petugas Haji di Surabaya, sedangkan empat lainnya terinfeksi ketika menjalankan tugasnya sebagai perawat.
”Saat ini tersisa dua perawat yang masih dalam masa isolasi. Keduanya terkonfirmasi positif setelah melakukan kontak erat dengan pasien,” tuturnya.
Sugiyanto juga menyebut, fasilitas tes usap sebagai salah satu kebutuhan yang mendesak bagi para perawat. Pasalnya, para perawat melakukan aneka tugas yang sangat berisiko. Tidak sedikit dari para perawat melakukan kontak erat dengan pasien yang tidak terfilter ketika menjalankan tugas sebagai surveilans dan tim rujuk.
”PPNI Banyuwangi mendesak agar pemerintah menyediakan fasilitas rapid test berkala dan tes usap bagi para tenaga kesehatan. Hal ini penting untuk mendeteksi penyebaran secara cepat. Jangan sampai muncul kluster fasilitas kesehatan, baru kita kelabakan,” ujarnya.
Saat ini di Banyuwangi memang sudah ada fasilitas untuk tes usap mandiri dengan harga bervariasi. Salah satu rumah sakit swasta di Banyuwangi menyediakan layanan tersebut dengan harga Rp 1,7 juta. Harga tersebut setara dengan gaji dan tunjungan bulanan para perawat tenaga harian lepas di Banyuwangi.
Sugiyanto mengatakan, selama ini baru ada 1 kali tes cepat bagi para perawat. Perawat yang hasil tes cepatnya reaktif memang kemudian mengikuti tes usap. Upaya tersebut dinilai PPNI masih kurang. Mereka berharap minimal ada tes cepat berkala 1 bulan sekali, terutama bagi para perawat yang bertugas di rumah sakit.
Tes usap bagi para perawat, menurut rencana, hanya akan dilakukan bagi para perawat yang menangani kluster pondok pesantren. Ada sekitar 30 perawat yang akan melakukan tes usap setelah bertugas lebih kurang 14 hari.