Kesulitan ekonomi di tengah pandemi dialami masyarakat kecil saat ini, tidak terkecuali di Kendari, Sulawesi Tenggara. Satu keluarga banting tulang, memutar otak, agar bisa hidup dengan mencari kerang.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Kaki Riva Virzana (7) terbenam di lumpur. Wajahnya cemong. Baju dan celananya basah di kubangan air saat laut surut di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (5/9/2020). Namun, senyum dan ceria selalu hadir di wajah siswi kelas 1 SD ini.
Bersama kakaknya, Rafi Saputra (8); adik bungsunya, Rafatar (2); dan dua sepupunya, mereka sibuk berkubang lumpur. Setelah meraba, ia mengangkat ”burango”, sebutan untuk kerang laut yang dicarinya. Kerang itu dimasukkan ke ember yang telah ia siapkan. Dewi Diah (28), sang ibu, berada di sebelahnya, juga terbenam lumpur.
”Sejak pukul 07.00 Wita di sini. Ini sudah lumayan hasilnya,” kata Dewi menunjukkan kerang yang diperoleh. Satu karung beras berwarna kuning berada tidak jauh darinya. Karung tersebut telah terisi setengah. Satu ember kerang, atau sekitar 3 kilogram, ia jual seharga Rp 15.000. ”Untuk cari makan saja,” ujarnya.
Rafatar berada tidak jauh darinya. Asyik bermain air sendiri. Wajahnya juga cemong penuh lumpur. Menurut Dewi, ia memberi nama anaknya Rafatar, sesuai nama anak artis favoritnya, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Anak pertamanya juga ia beri nama Rafi.
Meski demikian, kondisi ekonomi keluarga ini tentu jauh dari keluarga selebritas terkemuka tersebut. Suami Dewi, Andreas (33), tidak lagi mempunyai pekerjaan. Sebagai buruh bangunan, tukang cat, juga sopir, pekerjaan begitu susah selama pandemi Covid-19 ini. Hampir enam bulan ia tidak mendapatkan ”orderan”. Berbagai pekerjaan juga telah ia lakoni. Namun, penghasilan sulit ia dapatkan.
”Sudah jual makanan, gorengan, juga tidak laku. Pas itu hari ke pantai, lihat air surut, jadinya cari kerang. Eh, ternyata ada yang beli. Makanya, sampai sekarang keterusan,” kata Andreas.
Sejak saat itu, tutur Andreas, mencari kerang menjadi satu-satunya penghasilan keluarganya. Hasil dari menjual kerang digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, utamanya makan bagi ia dan istri beserta lima anaknya.
Suami saya yang posting di Facebook. Dari situ sering ada pembeli. Kalau ada yang mau, nanti diantarkan kalau masih di Kendari.
Belum lagi keluarga ini harus mengeluarkan biaya Rp 300.000 per bulan untuk sewa tempat indekos. Kamar indekos ukuran 3 x 4 meter itu menjadi tempat tinggal mereka bertujuh beberapa tahun terakhir.
Untungnya, sambung Dewi, sang empunya indekos memasang jaringan internet. Mereka tidak perlu membeli paket data untuk kebutuhan di dunia maya. Apalagi, anak-anak mereka juga bersekolah yang terkadang butuh jaringan internet.
Tidak hanya itu, Dewi juga memanfaatkan dunia digital untuk menjual kerang hasil pencariannya. ”Suami saya yang posting di Facebook. Dari situ sering ada pembeli. Kalau ada yang mau, nanti diantarkan kalau masih di Kendari,” ucapnya.
Andreas menambahkan, pandemi ini membuat ia dan keluarganya harus banting tulang, putar otak, mencari penghidupan. Namun, ia yakin akan ada selalu jalan di tengah kesulitan. Meski ia tidak masuk dalam program Pra-Kerja juga berbagai program di daerah, ia berusaha untuk bisa menghidupi keluarga sendiri.
Andreas, Dewi, dan keluarganya hanyalah satu dari ribuan keluarga terdampak Covid-19 di Sultra. Hingga Juni lalu, data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sultra, sebanyak 3.000-an orang telah dirumahkan dan ribuan orang lainnya mengalami pemutusan hubungan kerja. Data ini terus bertambah, belum mencakup mereka yang bekerja di sektor informal.
Data Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja informal di Indonesia lebih banyak daripada pekerja formal. Sebanyak 131,03 juta penduduk bekerja di Indonesia per Februari 2020. Dari jumlah tersebut, sekitar 56,5 persen di antaranya pekerja informal.
Pemprov Sultra telah mengalokasikan Rp 400 miliar untuk penanganan pandemi COvid-19. Anggaran itu, di antaranya, dialokasikan untuk sektor kesehatan sebesar Rp 133 miliar, sektor pemulihan ekonomi Rp 78 miliar, dan bantuan sosial sebesar Rp 114 miliar.
Meski demikian, anggaran tersebut dinilai tidak tepat sasaran dan tidak menyentuh langsung masyarakat miskin. Anggaran banyak dicurahkan untuk proyek fisik, penyuluhan, dan perjalanan dinas pejabat. Hingga pertengahan Agustus lalu, bantuan tunai ke masyarakat bahkan belum juga tersalurkan.
Sekretaris Daerah Sultra Nur Endang Abbas beralasan, bantuan tunai sebesar Rp 83,4 miliar belum tersalurkan ke masyarakat karena belum tuntasnya regulasi khusus yang mengatur hal tersebut. Regulasi itu dinilai penting agar tidak menjadi permasalahan di kemudian hari.
”Penyaluran bantuan tunai itu, kan, sifatnya langsung ke masyarakat, langsung ke rekening orang per orang. Hal ini butuh peraturan gubernur yang menjadi acuan agar tidak menjadi masalah hukum,” kata Endang di Kendari, Selasa (18/8/2020).
Kisran Makati, Ketua Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sultra, menilai, Pemprov Sultra harus menaruh perhatian lebih kepada masyarakat dalam penanganan Covid-19. Warga yang kehilangan pendapatan terpaksa terus keluar rumah demi mencari penghasilan. Hal ini membuat risiko penularan virus semakin meluas.
”Sudah berbulan-bulan pandemi berlangsung, tetapi untuk aturan saja belum selesai. Refocusing (APBD) sudah dilakukan sejak Mei, malah pemerintah sudah bangun bangunan dan proyek lain dari anggaran Covid-19. Jadi, ini persoalan kemauan saja. Dan, patut diduga, jangan-jangan ada sesuatu yang dikondisikan,” ujar Kisran.
Bagi Dewi, ia hanya ingin agar anak-anaknya bisa makan dengan teratur setiap hari. ”Anak saya tidak suka kerang. Apalagi ini, Rafatar, yang kecil,” ucapnya. Sambil menggendong Rafatar, Dewi pun bergegas menghampiri sang suami yang telah menunggu di tepi jalan dengan motor bermuatan karung berisi kerang.
”Mudah-mudahan hari ini (kerang) laku untuk dibelikan sayur dan telur,” kata Dewi.