Dalam Konflik Kinipan, Pemprov Kalteng Jaga Iklim Investasi
Konflik di Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, sudah berlangsung lama dengan perusahaan perkebunan sawit. Penolakan mereka atas alih fungsi lahan seakan tak didengar lantaran demi menjaga iklim investasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Dalam konflik lahan di Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tegah, Pemerintah Provinsi Kalteng menganjurkan masyarakat untuk mengusulkan hutan adat berada di luar izin konsesi melalui prosedur yang sesuai. Pemerintah juga tidak bisa begitu saja sepakat dengan masyarakat dengan alasan menjaga iklim investasi.
Hal itu disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri saat ditemui Kompas di kantornya, Kamis (3/9/2020) di Palangkaraya. Fahrizal sebelumnya mengemukakan bahwa Kinipan tidak memiliki hutan adat yang terdaftar atau legal.
Fahrizal menjelaskan, PT Sawit Mandiri Lestari (SML) memiliki izin dan hak guna usaha (HGU) yang keluar pada 2017 dengan luas mencapai 19.091,59 hektar atau hampir dua kali luas Kota Bogor. Dari total luas itu, perusahaan hanya mengambil 2.629 hektar lahan dari lokasi hutan adat yang diklaim Komunitas Adat Laman Kinipan.
”Sisanya (hutan adat) itu, kan, masih banyak. Nah, silakan diajukan melalui prosedurnya. Kami juga tidak mau mengganggu iklim investasi. Itu sudah HGU, lho,” kata Fahrizal.
Fahrizal menjelaskan, mekanisme mendapatkan hutan adat memang berbelit. Komunitas adat di suatu tempat harus diakui terlebih dulu oleh pemerintah kabupaten/kota, lalu pemerintah akan membahas peraturan daerah terkait masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya.
”Setelah diajukan itu, baru nanti kami mendorong pemerintah kabupaten untuk membentuk panitia masyarakat hukum adat. Saya kira pemerintah kabupaten terbuka, tetapi, kan, selama ini belum diajukan ke sana. Jangan ajukan ke provinsi,” tutur Fahrizal.
Fahrizal membenarkan bahwa pada 2018 Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng mendaftarkan 12 peta hutan adat ke Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng melalui skema perhutanan sosial dengan luas mencapai 119.777,76 hektar. Namun, hal itu tidak bisa ditindaklanjuti lantaran di kabupaten/kota saat itu belum dibentuk panitia masyarakat hukum adat.
Fahrizal juga mengakui bahwa dirinya adalah Ketua Panitia Pembentukan Masyarakat Hukum Adat Provinsi Kalimantan Tengah. ”Kami sudah minta daerah untuk membentuk panitianya, tetapi komunitas adatnya mengajukan dulu ke pemkab, itu prosedurnya,” katanya.
Selain hutan adat, lanjut Fahrizal, pihaknya juga memberikan pilihan lain dalam skema perhutanan sosial, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan jenis lainnya. Menurut dia, dengan banyak pilihan itu, masyarakat akan bebas mengelola wilayahnya dengan tujuan kesejahteraan warga.
Hal senada juga disampaikan Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ihtisan. Menurut dia, skema lainnya jauh lebih mudah karena tidak perlu membuat peraturan daerah untuk pengakuan komunitas ataupun kelompok.
”Sebenarnya, kalau komitmen pemerintah daerah (kabupaten/kota) tinggi dan memfasilitasi pembentukan komunitas adat dengan surat keputusan bupati ataupun perda, akan jauh lebih cepat proses hutan adatnya. Akan tetapi, ini, kan, terbentur di situ,” tutur Ihtisan.
Sebelumnya, Kepala Hubungan Masyarakat PT SML Wendy Soewarno mengungkapkan, pihaknya menyerahkan kasus pidana yang dialami beberapa warga Kinipan, termasuk Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing, kepada polisi. Namun, untuk soal perizinan, ia yakin tidak ada aturan yang dilanggar.
”Kami juga sudah menjalankan kewajiban kami. Makanya, saya bingung mengapa kami yang diserang terus,” ujar Wendy.
Menanggapi hal tersebut, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, Yando Zakaria, mengungkapkan, pemerintah keliru jika berpikir hutan adat di Kinipan tidak ada. Masyarakat Kinipan sama halnya komunitas lain di seluruh Indonesia sudah hidup bergenerasi di hutan tersebut. Begitu banyak kebijakan pun memerintah pemerintah untuk memfasilitasi mereka dengan pengakuan atau legalitas.
”Jangan melihat hutan adat sekadar legalitas kertas semata. Kehidupan mereka sudah menunjukkan mereka adalah masyarakat adat. Bahkan, mungkin para pejabat itu juga masuk di dalamnya; hanya mereka lupa,” tutur Yando.
Yando menegaskan, pemerintah bertanggung jawab atas pengakuan masyarakat hukum adat beserta wilayah adatnya. Hal itu terdapat dalam berbagai kebijakan, salah satunya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Jangan melihat hutan adat sekadar legalitas kertas semata. Kehidupan mereka sudah menunjukkan mereka adalah masyarakat adat. Bahkan, mungkin para pejabat itu juga masuk di dalamnya; hanya mereka lupa.
”Jangan hanya ngomong tidak ada hutan adat, tidak ada masyarakat adat, tetapi identifikasi dulu. Bangunlah argumentasi yang terverifikasi, jangan hanya mengandalkan legalitasnya,” kata Yando.
Pengakuan masyarakat adat di Indonesia, lanjut Yando, sangat sentralistik. Ia mengungkapkan, pemerintah pusat tidak mungkin mampu melakukan verifikasi atau identifikasi hutan adat sendiri sehingga butuh pemerintah daerah. Hal itu pun diatur dalam undang-undang.
”(Identifikasi) Itu harus dilakukan dan ditugaskan kepada bupati. Itu konstitusional, itu perintah. Bupati harus jalankan itu. Pernahkah itu dilakukan, jangan hanya ngomong berdasarkan common sense, itu tidak bijak,” kata Yando.