Enam bulan pandemi Covid-19 melanda Nusantara, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, masih bebas kasus. Pengendalian di pintu masuk menjadi kunci.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Enam bulan sudah pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Namun, di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, hingga kini tidak ditemukan kasus Covid-19. Kebijakan ”tutup pintu” yang diikuti dengan pengendalian pelaku perjalanan secara ketat menjadi salah satu kunci daerah itu mampu menahan masuknya virus berbahaya tersebut.
Sejak kasus Covid-19 di Maluku pertama kali diumumkan pada 22 Maret 2020, sejumlah daerah di Maluku, termasuk Kepulauan Tanimbar, menutup pintu. Kasus pertama itu terjadi di Ambon, sekitar 600 kilometer melintasi laut dari Tanimbar.
Tanimbar pun segera mengambil langkah pencegahan. Penerbangan dihentikan dan kapal pengangkut penumpang dilarang masuk. Kebijakan itu harus diambil karena pertimbangan minimnya fasilitas kesehatan di daerah itu. Jika ada warga yang tertular, pemerintah dan masyarakat bakal kewalahan.
Saking takutnya, warga mengambil alih sejumlah pelabuhan yang disinggahi kapal. Mereka khawatir pihak pelabuhan meloloskan pelaku perjalanan. ”Pernah di Saumlaki (ibu kota Kepulauan Tanimbar di Pulau Yamdena) kapal kami baru boleh sandar setelah 10 jam tertahan di tengah laut karena warga demo di pelabuhan,” tutur General Manager PT Pelni Cabang Ambon Samto.
Saat itu, warga mendapat kabar bahwa di dalam kapal ada belasan pelaku perjalanan yang diturunkan di Saumlaki. Mereka adalah petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara yang hendak memperbaiki jaringan listrik di daerah itu. Setelah dinegosiasi, petugas boleh turun dan diminta menjalani karantina selama 14 hari.
Hal serupa juga terjadi di Pulau Larat, bagian utara Kepulauan Tanimbar. Saat kapal yang membawa logistik dari Ambon tiba, awak kapal dilarang turun ke pelabuhan. ”Ketika bongkar barang, buruh naik ke kapal lewat crane. Mereka tidak mau lewat tangga kapal karena khawatir ada virus korona yang menempel,” tutur Samto.
Sebanyak 2.865 pelaku perjalanan yang masuk ke Tanimbar dan 250 orang keluar Tanimbar telah menjalani tes cepat.
Hingga Rabu (26/8/2020), kapal penumpang belum diperbolehkan masuk. Beberapa orang yang masuk menggunakan kapal diatur melalui perjalanan khusus. Penerbangan pun baru dibuka tiga pekan terakhir. Dalam satu pekan, hanya ada dua penerbangan. Setiap warga yang masuk wajib menjalani karantina di lokasi yang ditentukan pemerintah dan juga karantina mandiri yang diawasi secara berkala oleh petugas kesehatan.
Setelah tujuh hari dikarantina, mereka menjalani tes cepat Covid-19. Sejauh ini, menurut juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Andre Kurniawan, semua hasil tes nonreaktif. Sebanyak 2.865 pelaku perjalanan yang masuk ke Tanimbar dan 250 orang keluar Tanimbar telah menjalani tes cepat.
Tes cepat dengan hasil nonreaktif itu menjadi alasan pihak gugus tugas setempat tidak perlu melakukan tes swab (usap tenggorokan). ”Dan, selama ini tidak ada laporan warga yang menunjukkan gejala mirip Covid-19,” ujar Andre. Mereka pun mengambil kesimpulan bahwa daerah bebas Covid-19.
Epidemiolog yang bertugas di Maluku, Belly Talarima, mengatakan, semua wilayah berpeluang benar-benar bebas Covid-19 jika telah melakukan pengendalian secara tepat. Namun, untuk lebih dipastikan lagi, perlu juga dilakukan tes usap di Kabupaten Kepulauan Tanimbar sebagaimana standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). ”Sebab, ukurannya adalah tes swab,” ujarnya.
Terlepas dari itu, menjaga daerah tetap bebas dari Covid-19 hingga kini merupakan suatu kelangkaan di tengah pandemi yang mengganas di seluruh Nusantara. Apalagi, Kabupaten Kepulauan Tanimbar bukanlah wilayah yang terisolasi di Maluku.
Sebelum masa pandemi, dalam satu hari, ada dua kali penerbangan dari Saumlaki ke Ambon. Selain perjalanan warga biasa, daerah itu juga kian ramai setelah ditemukan cadangan gas raksasa di Blok Masela. Blok gas itu sedang dalam proses persiapan pembangunan konstruksi kilang di darat.
Kepulauan di tepian Laut Banda itu juga diimpit dua wilayah yang sudah ditemukan kasus sebelumnya, yakni Kabupaten Maluku Barat Daya dan Kepulauan Kei yang di dalamnya terdapat Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Selama masa pandemi, tidak tertutup kemungkinan adanya pelayaran kapal ikan di antara daerah itu.
Kondisi wilayah yang terbuka itu sebetulnya membuka peluang terjadi penularan kasus. Namun, hingga kini, Tanimbar bisa menjaganya tetap nihil kasus. Sekadar perbandingan, Kota Tual dan Maluku Tenggara juga sama-sama melakukan kebijakan tutup pintu. Namun, belakangan ditemukan kasus di sana. Itu berawal dari tes cepat pelaku perjalanan.
Menurut data yang dihimpun dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku, belum ada warga Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang menjalani tes usap. Tes usap lebih banyak dilakukan wilayah episentrum, yakni Kota Ambon, kemudian disusul Kabupaten Maluku Tengah, Buru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Maluku Tenggara, dan Kota Tual.
Di Maluku terdapat 11 kabupaten/kota. Hingga 23 Agustus 2020, total 11.763 tes usap telah dilakukan. Hingga Rabu (26/8/2020) malam, di Maluku terdapat 1.748 kasus dengan 1.083 orang sembuh dan 33 orang meninggal.
Meski begitu, pengendalian keluar masuknya pelaku perjalanan yang membuat daerah itu bebas dari Covid-19 harus dibayar mahal. Frekuensi pelayaran kapal pengangkut bahan pokok otomatis berkurang. Akibatnya, sering terjadi kelangkaan bahan pokok. ”Harga bawang merah yang biasanya sekitar Rp 30.000 per kilogram sempat naik hingga Rp 100.000 per kilogram,” ujar Andre.
Selain Kepulauan Tanimbar, ada daerah lain di Maluku yang juga masih berstatus zona hijau atau nol kasus, yakni Kepulauan Aru. Letak Kepulauan Aru lebih dekat lagi dengan Kepulauan Kei, sekitar lima jam pelayaran. Kepulauan Aru juga dekat dengan sejumlah wilayah di Papua yang sudah ditemukan kasus.
Seperti Tanimbar, Kepulauan Aru bukan wilayah terisolasi. Ribuan kapal ikan dari sejumlah daerah merapat di sana. Pengendalian pelaku perjalanan juga menjadi kunci Aru dapat menahan masuknya virus.
Ini membawa pesan, dukungan dan kesadaran penuh dari masyarakat dan pemerintah untuk pencegahan sangatlah efektif menjadi benteng penghalau Covid-19. Ungkapan lama ”mencegah lebih baik daripada mengobati” pun terbukti.