Pandemi Jadi Batu Uji Kualitas Birokrasi
Di tengah pandemi Covid-19, perubahan terhadap birokrasi harus dilakukan agar birokrat tidak terbelenggu dengan kebiasaan lama dan takut menciptakan terobosan baru karena khawatir terjerat masalah hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, birokrasi masih terbelenggu kebiasaan lama dan takut menciptakan terobosan baru karena khawatir terjerat masalah hukum. Padahal, di tengah kondisi krisis ini, keputusan cepat harus diambil demi pelayanan publik dan pemulihan ekonomi yang optimal. Jika birokrasi terus lelet, bukan mustahil Indonesia akan kembali lagi ke kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country).
Pada 2 Juli 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan status negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country) versi Bank Dunia. Setelah naik kelas, menurut Presiden, tantangan ke depan akan semakin kompleks. Salah satu yang digarisbawahi adalah menciptakan sumber daya yang unggul agar produktivitas dan daya saing bisa meningkat.
Baca juga : Tidak Ada Pemecatan ASN akibat Perampingan Lembaga
Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi saat dihubungi dari Jakarta, Senin (31/8/2020), mengatakan, sumber daya yang unggul ini tentu harus diawali dari birokrasi. Untuk bisa mendukung status negara berpenghasilan menengah ke atas, setidaknya skor Indeks Efektivitas Pemerintahan (IEP) harus di atas 80. Adapun rentang skor mulai dari 0 hingga 100.
Sumber daya yang unggul ini tentu harus diawali dari birokrasi. Untuk bisa mendukung status negara berpenghasilan menengah ke atas, setidaknya skor Indeks Efektivitas Pemerintahan harus di atas 80. Adapun rentang skor mulai dari 0 hingga 100.
Meski demikian, mengacu pada IEP yang dirilis Bank Dunia pada 2019, Indonesia tertinggal dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Singapura memiliki skor indeks 100, sedangkan Indonesia baru 59,1.
”Jadi, seharusnya kinerja aparatur negara digenjot lagi agar mereka mampu mendukung upper middle income country. Kita masih harus naik (skor) 20 lagi,” ujar Sofian.
Pandemi Covid-19, menurut Sofian, tidak bisa menjadi alasan gerak lambat kinerja aparatur sipil negara (ASN). Di situasi krisis inilah kualitas birokrasi diuji. Jika birokrasi tidak bisa menghadapi arus tantangan di kelas yang baru, sangat mungkin Indonesia terpeleset ke negara berpendapatan menengah bawah.
”Jika masih terjadi persoalan penyerapan anggaran, sulit mengejar pendapatan daerah, artinya ASN belum mampu menangani kasus di kondisi luar biasa. Padahal, untuk mencapai birokrasi kelas dunia, apa pun kondisinya harus bisa diatasi,” ucap Sofian.
Sebelumnya diberitakan, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini terbilang rendah.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, hingga 27 Agustus 2020, realisasi belanja APBD baru sekitar 43,04 persen. Adapun untuk kementerian/lembaga baru sekitar 48 persen.
Padahal, anggaran 2020 bakal berakhir empat bulan lagi. Di sisi lain, anggaran belanja tersebut diharapkan lebih cepat diserap agar dapat memacu perekonomian yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Belum bergerak cepat
Ketua Tim Penjamin Kualitas Reformasi Birokrasi Nasional Adi Suryanto menyampaikan, setidaknya ada dua hal yang memengaruhi kerja birokrasi, yaitu aspek kelembagaan dan kemampuan ASN beradaptasi dengan kehidupan baru dalam situasi pandemi.
Dari sisi kelembagaan, menurut Adi, sejumlah kementerian sudah menerapkan perampingan birokrasi sehingga setiap keputusan bisa diambil dengan cepat. Namun, di pemerintah daerah, konsep perampingan birokrasi belum berjalan. Alasannya, pelayanan langsung ke masyarakat lebih banyak sehingga tidak bisa asal memangkas birokrasi. Secara kelembagaan, pemda juga besar sehingga dampak pemangkasannya juga besar.
”Namun, tidak ada alasan untuk tidak melakukan penataan birokrasi. Harus tetap dilakukan karena itu arah kebijakan politik Presiden,” kata Adi.
Dari aspek kemampuan ASN beradaptasi dengan situasi pandemi, menurut Adi, hal itu juga berbeda-beda di setiap daerah. Setiap daerah memiliki situasi wabah yang beragam. Namun, sebagai birokrasi, semestinya mereka harus lebih berani melakukan aktivitas sesuai protokol kesehatan.
”Kalau mereka berdiam diri di rumah, tentu birokrasi tak bisa bekerja dengan cepat. Kebanyakan dari mereka merasa ketakutan, tetapi, kan, sudah ada protokol Covid-19. Mereka bisa bekerja dengan protokol,” ucap Adi.
Memicu demotivasi
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Najmul Akhyar mengaku, program perampingan birokrasi belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebab, kepala daerah menilai jabatan struktural atau eselonisasi masih penting dilakukan untuk menjaga psikologis aparatur sipil negara.
Kalau mereka berdiam diri di rumah, tentu birokrasi tak bisa bekerja dengan cepat. Kebanyakan dari mereka merasa ketakutan, tetapi, kan, sudah ada protokol Covid-19. Mereka bisa bekerja dengan protokol.
Di Lombok Utara, misalnya, perampingan birokrasi seperti pemangkasan jabatan eselon belum dilakukan. Menurut Najmul yang juga Bupati Lombok Utara, pemangkasan jabatan struktural secara ekstrem dapat berpengaruh terhadap psikologis ASN. Najmul khawatir, jika kebijakan tersebut tidak dilakukan dengan kajian matang, justru dapat memicu demotivasi kinerja ASN.
Namun, dalam mengatasi pandemi ini, Lombok Utara telah melakukan penggabungan saturan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk merampingkan jumlah birokrasi. Dinas yang mengurusi rumpun masalah yang sama sebisa mungkin digabungkan.
”Reformasi birokrasi yang kami lakukan adalah bagaimana mengubah birokrasi menjadi lebih efektif dan efisien. Bagaimana kami membangun budaya birokrasi bersih dengan semangat melayani,” ucap Najmul.
Menurut Najmul, saat ini kinerja birokrasi di Lombok Utara dengan pola reformasi birokrasi yang dilakukan dinilai masih cukup efektif. Penanganan Covid-19, misalnya, tidak hanya diserahkan kepada satu dinas, tetapi dilakukan lintas instansi dengan komando penanganan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Dinas Kesehatan. Koordinasi lintas instansi itu dinilai cukup efektif dan efisien untuk menangani dampak Covid-19.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pun menyampaikan, program perampingan birokrasi dilakukan dengan penyederhanaan SKPD. Dinas-dinas yang semula jumlahnya banyak disederhanakan, terutama yang tugas pokok dan fungsinya beririsan. Contohnya penggabungan Dinas Perdagangan dan UMKM serta Dinas Perindustrian dan Ketenagakerjaan. Sebelum digabungkan, dinas tersebut masing-masing berdiri menjadi dinas terpisah.
Perampingan dinas dilakukan agar birokrasi lebih efektif dan efisien seiring dengan berkurangnya SDM dan anggaran supaya lebih efisien. Ini berjalan sejak awal tahun ini.
”Perampingan dinas ini dilakukan agar birokrasi lebih efektif dan efisien seiring dengan berkurangnya SDM dan anggaran supaya lebih efisien. Ini berjalan sejak awal tahun ini,” kata Azwar.
Menurut Azwar, dengan perampingan birokrasi tersebut, kinerja birokrasi menjadi lebih efektif dan efisien serta koordinasi bisa lebih mudah dilakukan. Hal itu juga terjadi untuk penanganan pandemi Covid-19 di mana pemda membutuhkan koordinasi cepat untuk penanganan masalah tak terduga.
Penyetaraan jabatan
Situasi ini berbeda dengan Kementerian Pertahanan yang telah menerapkan perampingan birokrasi. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kemenhan Djoko Purwanto mengakui, penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional di lingkungan Kemenhan semakin mempercepat pengambilan keputusan.
Penyederhanaan ini sudah mendapat persetujuan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) dalam surat nomor B/346/M.SM 02.00/2020 pada 18 Juni 2020.
”Efeknya memang proses pengambilan keputusan dan eksekusi kegiatan jadi lebih cepat,” ujar Djoko.
Contohnya, dalam penanganan pandemi Covid-19, ketika pemerintah menetapkan pandemi ini sebagai kejadian luar biasa, penanganannya juga harus luar biasa. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto segera mengambil keputusan cepat untuk pengadaan alat kesehatan, baik yang berasal dari bantuan maupun pembelian.
”Untuk ini, Biro Umum ditugaskan sebagai pelaksana pendistribusiannya. Makanya, Kemenhan termasuk yang awal-awal dibandingkan kementerian/lembaga terkait (pengadaan) alat kesehatan ini,” kata Djoko.
Tata kelola kelembagaan
Secara terpisah, Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kemenpan dan RB Rini Widyantini mengatakan, pemangkasan birokrasi di daerah merupakan kewenangan pemerintah daerah. Kemendagri bertindak sebagai pembinanya. Sementara untuk pemerintah pusat, proses pemangkasan birokrasi harus mengikuti kriteria yang dibuat oleh Kemenpan dan RB.
Rini menjelaskan, persoalan penataan birokrasi harus tuntas pada akhir Desember 2020. Sebab, pada 2021, fokus persoalan sudah harus mengarah pada percepatan mesin birokrasi.
”Pada 2021, kita tidak bicara penataan struktur lagi semestinya, tetapi bagaimana mesin birokrasi bekerja, bisnis prosesnya, penggunaan teknologi informasi, sudah harus mengarah ke sana. Kalau tidak, birokrasi kita bisa tertinggal dari negara lain,” kata Rini.
Pada 2021, kita tidak bicara penataan struktur lagi semestinya, tetapi bagaimana mesin birokrasi bekerja, bisnis prosesnya, penggunaan teknologi informasi, sudah harus mengarah ke sana. Kalau tidak, birokrasi kita bisa tertinggal dari negara lain.
Menurut Rini, ada sejumlah hambatan sehingga birokrasi masih bekerja lamban. Perlu ada perlindungan dan kepastian hukum pada pejabat birokrasi ketika mengambil keputusan di luar kebiasaan untuk kepentingan masyarakat.
Baca juga : 20 Pegawai Pemkot Semarang Tertular Covid-19, Protokol Kesehatan Diperketat
”Jadi, kadang-kadang, mau mengerjakan sesuatu, sebetulnya hasilnya untuk masyarakat, tetapi terbentur suatu proses yang harus dilalui. Proses yang dilalui itu sebetulnya bisa dipotong sehingga pengambilan keputusan bisa lebih cepat,” ucap Rini.
Oleh karena itu, lanjut Rini, keterlibatan aparat pengawas internal pemerintah (APIP) sangat penting untuk menjaga pejabat di birokrasi agar tidak terjerat masalah hukum. ”APIP, kan, bukan sebagai watchdog lagi, tetapi konsultan membantu agar terlepas dari masalah itu. Jadi menambah kepercayaan diri para pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan sehingga penyerapan anggaran bisa cepat selesai,” ujarnya.