Lumbung Pangan di Kalteng agar Tidak Berakhir Bencana seperti Proyek Pangan Lainnya
Banyak program lumbung pangan yang sudah dijalankan pemerintah sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang dinilai gagal. Kali ini prediksi yang sama muncul terhadap program itu di Kalteng.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Program lumbung pangan atau food estate di Kalimantan Tengah dikhawatirkan berakhir sama dengan program pangan lainnya yang gagal. Selain rawan menimbulkan bencana, program tersebut dinilai sebagai bentuk salah respons pemerintah terhadap krisis yang diprediksi tidak terjadi.
Kepala Desa Bentuk Jaya, Basruni, mengungkapkan, wilayah sawah yang sudah dibuka sejak 1995 pada program Pengembangan Lahan Gambut totalnya lebih kurang 1.000 hektar. Namun, karena proyek tersebut gagal, banjir dan kekeringan menyerang sehingga lahan yang diolah masyarakat hanya 200 hektar lebih.
”Setiap tahun kami mengeluh saluran irigasi itu diperbaiki, tetapi tidak direspons. Katanya tidak ada anggaran atau apa kami juga tidak tahu. Jadi, sebelum ada program food estate memang sudah kami sampaikan keluhannya,” kata Basruni saat dihubungi Kompas, Selasa (1/9/2020).
Desa Bentuk Jaya di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, merupakan desa yang dikunjungi Presiden Joko Widodo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan beberapa menteri lainnya. Di desa itu, pemerintah berencana memperbaiki saluran irigasi yang terbengkalai dan menjadi pusat bencana.
”Sampai sekarang belum ada pengerjaan apa-apa di sini. Memang sudah ada koordinasi dari pemerintah kabupaten. Katanya bulan ini mulai ada pengerjaan,” kata Basruni.
Basruni mengungkapkan, saat ini masyarakat desa mulai panen. Dari 200 hektar itu, mereka bisa menghasilkan 3 sampai 4 ton per hektar. Jumlah itu dinilai tak sebanyak tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 5-6 ton per hektar.
”Banyak warga meninggalkan tempat ini lantaran banjir dan kekeringan. Saat hujan banjir, saat musim kering kebakaran, itu karena proyek sebelumnya. Jangan sampai yang sekarang juga begitu,” kata Basruni.
Menurut rencana, Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas di Kalteng akan menjadi dua wilayah yang sudah siap untuk melaksanakan program itu. Terdapat 164.598 hektar lahan di dua kabupaten tersebut yang sudah disiapkan, dengan rincian 85.456 hektar lahan intensifikasi atau lahan yang sudah dikelola masyarakat dan 79.142 hektar merupakan lahan perluasan baru yang berupa kawasan terbengkalai yang belum dikelola masyarakat.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memberikan bantuan alat mesin pertanian ke Kalimantan Tengah dengan total anggaran Rp 379 miliar. Sarana dan prasarana itu diberikan kepada Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas untuk mendukung program lumbung pangan nasional.
Sekretaris Daerah Provinsi Kalteng Fahrizal Fitri menyampaikan, pihaknya akan segera memperbaiki saluran irigasi. Perbaikan dan perawatan itu memang bagian dari program lumbung pangan.
”Dalam waktu dekat ini kami akan mulai. Nanti semuanya dengan metode mekanik yang ramah lingkungan. Jadi, diupayakan meminimalkan kerusakan, apalagi sampai timbul kebakaran,” kata Fahrizal.
Harus diakui produksi padi tahun ini tidak begitu menggembirakan. Namun, harga gabah kering panen itu sampai sekarang selalu berada di atas harga yang ditentukan pemerintah.
Dalam seri webinar yang diselenggarakan Pantau Gambut dengan tema ”Food Estate Krisis Pangan 2020, Perlu atau Tidak?” pada Selasa siang, Guru Besar dan Kepala Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, program lumbung pangan yang merupakan respons pemerintah terhadap krisis pangan perlu dipertanyakan.
Andreas mengungkapkan, ada dua syarat terjadinya krisis pangan, yakni produksi yang turun lalu terjadi kenaikan harga yang sangat tinggi sehingga menimbulkan krisis.
”Secara global, krisis pangan tidak akan terjadi tahun ini karena produksi tahun 2019-2020 sedang mencapai puncak tertingginya. Karena pandemi, harganya memang turun drastis, tetapi saat ini sedang mengalami kenaikan,” kata Andreas.
Andreas menambahkan, untuk Indonesia, produksi padi selama empat tahun berturut-turut sempat turun. Pada Januari-Juni 2020, dari perhutungan Andreas dan lembaganya, terdapat penurunan produksi padi sebesar 1,5 juta ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019.
”Dalam indeks ketahanan pangan itu membaik, jadi jangan terlalu khawatir. Namun, tidak dijelaskan di mana pangan itu berasal,” ujar Andreas.
Menurut Andreas, pemerintah belum serius menciptakan program diversifikasi pangan agar tidak melulu mengukur pangan dari beras semata. ”Diversifikasi pangan itu bentuknya supermifikasi karena kalau tidak ada beras ya makan mi. Tidak pernah diurus serius,” katanya.
Hal serupa dikatakan peneliti dan pegiat agraria Laksmi Savitri. Ia mengungkapkan, dari pengalaman program lumbung pangan di Papua dan Ketapang, Kalimantan Barat, semua program itu berakhir dengan kegagalan. Bahkan, dampak sosial hingga konflik horizontal masih berlangsung.
”Banyak dari mereka yang tadinya diajarkan menjadi petani kemudian kembali menjadi peramu dan pemburu seperti awal, karena program itu tidak berjalan,” kata Laksmi.
Menurut Laksmi, pemerintah perlu mempertimbangkan lembaga pangan di kalangan petani seperti koperasi untuk benar-benar meningkatkan perekonomian masyarakat. ”Jadi, food estate ini jangan sampai hanya jadi komoditas ekspor yang hasilnya tidak bisa dinikmati petani,” ujarnya.