Tanpa Payung Hukum dan Kelembagaan, Lumbung Ikan Nasional Akan Sia-sia
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan bahwa Maluku sebagai lumbung ikan nasional. Namun, rencana itu akan sia-sia jika tidak ada payung hukum dan peta jalan yang jelas.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kendati Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo telah menyatakan Maluku sebagai lumbung ikan nasional, hal itu tidak diikuti dengan penetapan payung hukum dan pembentukan kelembagaan. Sejumlah akademisi di Maluku khawatir program tersebut tidak fokus sehingga gagal mencapai tujuan yang diharapkan. Rencana besar itu dapat berujung sia-sia.
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari, Senin (30/8/2020) malam, mengatakan, lewat payung hukum dan kelembagaan khusus terkait lumbung ikan nasional, pelaksanaan program itu akan lebih terarah. Semakin banyak energi yang digerakkan untuk menanganinya, mulai dari pusat hingga daerah.
”Lumbung ikan nasional ini jangan hanya asal bicara lewat suatu pernyataan publik. Ini harus diatur road map-nya (peta jalan) seperti apa, aturan hukumnya bagaimana, siapa yang terlibat mengoordinasikannya, dan penganggarannya dari sumber yang mana. Jika tidak, hal ini akan sulit terwujud, bahkan bisa gagal total. Artinya, sia-sia perjuangan masyarakat dan pemerintah daerah selama ini,” kata Ruslan.
Menurut Ruslan, pengelolaan perikanan di perairan Maluku dengan potensi sekitar 4 juta ton per tahun atau 30 persen potensi nasional itu perlu dilakukan secara khusus. Ia mencontohkan, pengelolaan itu seperti Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau semacam Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo. ”Kuncinya ada pada pemerintah pusat. Mau serius atau tidak,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Pattimura, Ambon, Alex Retraubun menambahkan, semangat dari perjuangan lumbung ikan nasional adalah perikanan Maluku perlu dikelola secara khusus. Senada dengan Ruslan, kekhususan dimaksud terkait dengan kelembagaan dan payung hukum. Alex sendiri terlibat dalam perjuangan lumbung ikan nasional.
”Kalau Aceh dan Papua diberi otonomi khusus, lalu mengapa Maluku dengan kekayaan laut terbanyak di negara ini tidak diberi kekhususan? Yang diminta masyarakat Maluku adalah otonomi asimetris terkait dengan pengelolaan perikanan. Dengan cara ini, masyarakat Maluku didorong untuk bangkit dari sektor perikanan,” ujarnya.
Edhy Prabowo dalam konferensi pers di Ambon, Senin (31/8) siang, tidak menjelaskan peta jalan pengelolaan lumbung ikan nasional. Ia juga tidak menjawab pertanyaan mengenai perlu tidaknya kelembagaan terkait dengan pengelolaan lumbung ikan. Terkait dengan payung hukum, ia menyatakan akan disesuaikan. Bagi dia, implementasi program lebih penting ketimbang payung hukum.
Ia kembali menegaskan komitmennya akan segera membangun sektor perikanan di Maluku dengan menggelontorkan anggaran yang signifikan. Saat ditanya mengenai target pencapaian, Edhy tidak menyebutkan kepastian waktunya. ”Secepatnya,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya menetapkan Provinsi Maluku sebagai lumbung ikan nasional. Penetapan itu menjawab perjuangan pemerintah daerah dan masyarakat Maluku selama 10 tahun terakhir. Edhy secara tegas menyatakan hal itu di hadapan para nelayan dan pejabat daerah Maluku di Ambon pada Minggu (30/8).
”Pemerintah pusat di bawah pimpinan Bapak Presiden Joko Widodo ingin menuntaskan utang-utang pemerintah pusat dengan Provinsi Maluku. Kami tidak hanya ingin lumbung ikan nasional hanya sekadar simbol, tetapi kami langsung mengimplementasikan lumbung ikan nasional ini menjadi kenyataan,” kata Edhy disambut tepuk tangan.
Adapun rencana menetapkan Maluku sebagai lumbung ikan nasional pertama kali diutarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka Sail Banda di Ambon, 10 Agustus 2010. Saat pemerintahan Presiden Joko Widodo, Pemerintah Provinsi Maluku kembali berinisiatif mengingatkan pemerintah pusat akan janji itu.