Peringatan Sewindu Keistimewaan DIY, Sultan HB X Minta Birokrasi Tidak Antikritik
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta aparatur birokrasi bersedia menerima kritik dengan lapang dada. Aparatur birokrasi juga diminta menempatkan diri sebagai pelayan publik.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan pidato untuk sapa aruh atau menyapa warga dalam peringatan sewindu keistimewaan DIY, Senin (31/8/2020). Dalam pidatonya, Sultan mengingatkan aparatur birokrasi di DIY agar melayani masyarakat dengan baik serta bersedia menerima kritik dengan lapang dada.
”Kritik itu harus diterima oleh OPD (organisasi perangkat daerah) terkait dengan penuh kebesaran hati. Dengan berpikir jernih, kita bisa mengolah kritik untuk menemukan inti persoalan berikut aternatif solusinya,” kata Sultan saat menyampaikan pidato sapa aruh di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Pidato sapa aruh itu disampaikan dalam rangka memperingati sewindu atau delapan tahun pengesahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Melalui undang-undang itu, pemerintah pusat mengakui adanya keistimewaan DIY pada lima bidang atau urusan, yakni kebudayaan, pertanahan, tata ruang, kelembagaan, serta pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Dalam kesempatan itu, Sultan yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta hadir didampingi oleh sang istri, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, beserta anak dan menantunya. Hadir pula sejumlah pejabat, seperti Wakil Gubernur DIY Paku Alam X serta Ketua Parampara Praja atau Dewan Penasihat Gubernur DIY Mahfud MD, yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Saat menyampaikan pidatonya, Sultan menyatakan, keistimewaan DIY disangga oleh sinergi tiga pihak, yakni kaprajan, kampus, serta kampung. Kaprajan merupakan simbol dari aparatur birokrasi, kampus menjadi simbol untuk para akademisi, sementara kampung merupakan simbol masyarakat luas.
Oleh karena itu, Sultan memaparkan, aparatur birokrasi di DIY harus memiliki kelapangan dada untuk menerima kritik dari masyarakat. Sebab, masyarakat juga merupakan komponen penting dalam pelaksanaan urusan keistimewaan di DIY. ”OPD harus memiliki kelapangan dada terhadap kritik konstruktif dari masyarakat,” ujarnya.
Sultan juga mengingatkan, setiap aparatur sipil negara (ASN) di DIY seharusnya memiliki semangat untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Apalagi, dalam konsep reformasi birokrasi, pejabat publik harus menjadi pelayan publik. ”Artinya, pusat dari pelayanan publik adalah rakyat, bukan lagi pejabat,” katanya.
Namun, Sultan menyebut, budaya melayani itu belum merasuk ke seluruh aparatur birokrasi di DIY. Hal ini terlihat dari sikap yang menganggap pejabat sebagai pemegang kekuasaan sehingga kritik dari masyarakat kerap tak diterima dengan lapang dada.
”Ironisnya, budaya melayani ini belum merasuk menjadi sikap karena mindset (pola pikir) umumnya ASN masih beranggapan pejabat adalah pusat kekuasaan sehingga dalam menjawab persoalan masyarakat sering terkesan defensif,” ungkap Sultan dalam pidato yang disiarkan secara langsung melalui akun Youtube milik Pemda DIY itu.
Padahal, Sultan menyatakan, masyarakat sangat berhak menuntut tanggung jawab pemerintah dalam pelayanan publik. Bahkan, pada masa lampau, masyarakat Yogyakarta juga mengenal istilah tapapepe atau duduk berjemur di Alun-alun Utara Yogyakarta untuk menyampaikan persoalan yang mereka alami pada raja.
”Rakyat berhak menuntut pertanggungjawaban publik atas kualitas layanan pemerintah. Bukankah juga kita mengenal budaya pepe, yakni tradisi kawula berjemur diri di Alun-alun Utara, menunggu Sultan menjawab keluhannya?” kata Sultan.
Pentingnya kritik
Secara terpisah, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Bayu Dardias, mengatakan, melalui pidatonya itu, Sultan HB X ingin mendorong aparatur birokrasi di DIY agar bekerja lebih cepat dan responsif dalam melayani masyarakat. ”Birokrasi ini memang sering menjadi masalah dari dulu karena kadang mereka tidak bergerak cepat dan responsif,” ujarnya.
Di sisi lain, Bayu menilai isi pidato sapa aruh itu juga menunjukkan bahwa Sultan menyadari pentingnya kritik dari masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Bayu, melalui pidato tersebut, Sultan ingin menyampaikan kepada masyarakat DIY agar tidak perlu takut memberikan kritik kepada pemerintah.
”Dalam pidato itu, Sultan sekali lagi menegaskan bahwa dia tidak antikritik. Jadi, sepertinya Sultan ingin menyampaikan, silakan kritik kami karena kritik itu membangun,” kata Bayu.
Bayu menambahkan, pesan yang disampaikan Sultan itu bagus karena selama ini banyak elemen masyarakat di DIY yang masih sungkan menyampaikan kritik secara terbuka. Padahal, kritikan dari masyarakat sangat penting untuk mengingatkan aparatur pemerintah jika ada sesuatu yang tidak benar.
”Kalau enggak ada kritik, ya, bahaya juga, kan. Jadi, Sultan ingin menganggap kritik itu sebagai bagian dari upaya untuk ikut membangun Yogyakarta,” kata Bayu.