Penjemputan Paksa Jenazah Pasien Covid-19, Memalukan Sekaligus Mematikan
Dalam tujuh hari terjadi tiga kali penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19 di Batam. Peristiwa serupa terus berulang karena pemerintah gagal membantu warga memahami bahaya wabah yang sebenarnya.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Dalam tempo tujuh hari terjadi tiga kali penjemputan paksa jenazah pasien Covid-19 di Batam, Kepulauan Riau. Orang-orang nekat menyerbu rumah sakit tanpa sadar ada risiko maut yang mengintai. Peristiwa itu terus berulang karena pemerintah gagal membantu warga memahami bahaya Covid-19 yang sebenarnya.
Wajah-wajah lelah terlihat di sepanjang lorong laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit atau BTKLPP Kelas I Batam. Selama empat bulan terakhir, tempat itu menjadi satu-satunya lokasi pengetesan sampel usap pasien dengan menggunakan metode reaksi berantai polimerase (PCR) di Kepri.
Sepanjang Agustus, jumlah sampel pasien yang harus diperiksa terus meningkat seiring munculnya kluster penularan baru di Tanjung Pinang, Batam, dan Karimun. Dalam sehari, kadang analis di BTKLPP harus menguji lebih dari 200 sampel pasien. Padahal, hanya ada dua real time PCR Bio-Rad CFX-9 yang memiliki kapasitas uji maksimal 186 sampel per hari.
”Kalau sampelnya banyak, analis harus lembur sampai pukul 22:00. Alatnya terbatas, jadi perlu dua kali running. Laboratorium tidak pernah berhenti, kami kerja terus tujuh hari dalam seminggu,” kata Kepala BTKLPP Batam Budi Santosa, Rabu (26/8/2020).
Sebelumnya, Pemerintah Kota Batam berencana membuka tempat wisata dan sekolah pada Agustus ini. Namun, kenyataan berkata lain. Alih-alih melandai, kasus positif justru melonjak tinggi dalam waktu yang cepat. Kluster penularan bermuncul di mana-mana. Hal ini diperparah sikap warga yang semakin abai melaksanakan protokol kesehatan.
Pada 18-25 Agustus terjadi tiga kali penjemputan paksa jenazah pasien positif Covid-19. Peristiwa pertama terjadi di RS Budi Kemuliaan, sebanyak 15 orang menjemput paksa jenazah R (65). Saat ini, para pelaku tengah menjalani proses hukum di Kepolisian Resor Batam-Rempang-Galang (Barelang).
Selang sehari, pada 19 Agustus, 23 orang menjemput paksa jenazah pasien positif yang diidentifikasi sebagai YHG (47) di RS Badan Pengusahaan. Pelaku penjemputan paksa akhirnya dikarantina di RS Khusus Infeksi Covid-19 Pulau Galang dan 12 orang di antaranya dinyatakan positif tertular SARS-CoV-2.
Yang terbaru, belasan orang mendatangi RSUD Embung Fatimah untuk mengambil paksa jenazah pasien positif berinisial JZ (63). Dalam peristiwa itu, seorang dokter mengaku dipukul oleh salah satu kerabat pasien saat berupaya mencegah tindakan nekat para warga tersebut.
Associate professor dan sosiolog bencana di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir, menilai, pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 terus berulang di sejumlah daerah karena tingkat kepercayaan publik terhadap otoritas kesehatan sangat rendah.
Hal itu tecermin dalam survei oleh Social Resilience Lab NTU dan Laporcovid19.org yang dirilis pada Minggu (5/7/2020). Di antara temuan penting survei ini, 77 responden beranggapan tidak mungkin tertular Covid-19, demikian juga orang dekat ataupun yang tinggal di lingkungan sekitar (Kompas, 8/7/2020).
Pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 terus berulang di sejumlah daerah karena tingkat kepercayaan publik terhadap otoritas kesehatan sangat rendah.
Sulfikar mengatakan, kurangnya kewaspadaan warga salah satunya disebabkan oleh bias informasi. Selama ini, warga tidak mendapatkan informasi utuh dan pemahaman solid mengenai apa yang terjadi dengan wabah Covid-19 dan apa yang harus mereka lakukan.
Pemerintah sering kali terlambat dan setengah-setengah dalam memberikan informasi. Menurut dia, hal itu terjadi karena pemerintah mungkin beranggapan, dalam situasi pandemi lebih baik tidak memberikan informasi yang akan membuat warga panik.
”Logika itu tidak sepenuhnya benar. Warga justru perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi agar mereka bisa mengambil tindakan yang lebih tepat dalam merespons situasi (pandemi) yang terjadi,” ujarnya saat dihubungi lewat telepon dari Batam, Selasa (25/8/2020).
Setelah terjadi tiga kali penjemputan paksa jenazah Covid-19 itu, akhirnya Pemerintah Kota Batam merasa perlu untuk segera membuat peraturan wali kota yang memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Ditargetkan dalam sepuluh hari ke depan perwali itu sudah dapat diterapkan.
”Kami berharap dalam dua hari ke depan (rancangannya) sudah final. Lalu butuh satu minggu untuk sosialisasi, setelah itu langsung diterapkan,” kata Wakil Wali Kota Batam Amsakar Achmad, Kamis (27/8/2020).
Menurut dia, sanksi akan diterapkan kepada perorangan dan kelompok atau badan usaha yang melanggar protokol kesehatan. Denda bagi pelanggar perorangan minimal Rp 250.000 dan bagi badan usaha minimal Rp 500.000.
Pemberian sanksi saja mustahil menekan angka penularan apabila tidak dibarengi tes PCR masif. Pada 26 Agustus, jumlah pasien positif sudah mencapai 623 orang di Batam. Menurut Budi, sekitar 80 persen pasien positif tersebut adalah orang tanpa gejala.
Karena sifat SARS-CoV-2 bisa menular dari orang yang tampak sehat, seharusnya pemerintah segera melakukan tes PCR masif jika ingin menyajikan data jumlah pasien yang akurat. Sayangnya, sampai sekarang, hal ini belum juga dilakukan.
”Tingkat tes PCR Indonesia yang sekarang paling rendah di Asia Tenggara itu tidak hanya memalukan, tetapi juga mematikan,” ucap Sulfikar.
Ia menuturkan, sangat aneh jika Indonesia yang produk domestik brutonya lebih dari 100 triliun dollar AS menempati tingkat tes PCR yang sama dengan negara-negara miskin di Afrika. Sejauh ini, Indonesia hanya bisa melakukan 2,03 juta tes PCR atau 7,3 tes per 1.000 penduduk, termasuk yang terendah di dunia.
”Itu enggak masuk akal. Ada dua kemungkinan. Pertama, karena kendala birokrasi yang menurut saya terlalu dibesar-besarkan, sedangkan yang kedua memang disengaja supaya jumlah kasusnya tidak naik terlalu tinggi,” katanya.
Di Kepri, gugus tugas tidak pernah memublikasikan data jumlah orang yang telah menjalani tes PCR. Namun, data BTKLPP menunjukkan, hingga 25 Agustus, sebanyak 17.454 spesimen telah dites. Sejumlah 1.307 spesimen positif Covid-19.
Dengan kemampuan uji 186 spesimen per hari, berarti dalam satu pekan ada sekitar 1.400 sampel yang diperiksa. Jumlah itu masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 1 orang per 1.000 penduduk per pekan. Mengacu pada standar itu, dengan jumlah penduduk Kepri 2,14 juta jiwa, seharusnya rata-rata jumlah pasien yang diperiksa menggunakan metode PCR minimal 2.140 orang per pekan.
Jika peralatan pengetesan PCR dan tenaga pengetesan di Kepri tidak bertambah, wajah-wajah lelah di sepanjang lorong laboratorium BTKLPP Kelas I Batam pun bakal terus terlihat.