Konflik Urut Sewu Masih Berlanjut, Pemda Segera Mediasi
Sengketa tanah di kawasan Urut Sewu, Kebumen, Jateng, masih berlanjut. Sebuah kendaraan TNI melindas tanaman melon warga dan videonya viral di medsos. Mediasi dan koordinasi semua pihak diperlukan segera.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
KEBUMEN, KOMPAS — Konflik antara TNI Angkatan Darat dan masyarakat di kawasan Urut Sewu, pesisir selatan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, kembali terjadi pada Rabu (26/8/2020). Sebuah video viral menunjukkan kendaraan TNI melewati kebun melon warga. Pemerintah daerah pun berjanji segera memediasi permasalahan itu.
”Kejadian sekitar pukul 11.00. Saya sedang merawat semangka dan melihat dari jauh, kok, (lahan melon) diterjang begitu saja,” kata Imam Zuhdi (48), petani dari Setrojenar, Kebumen, saat dihubungi dari Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (28/8).
Imam mengatakan, lokasi kejadian sekitar 50 meter dari bibir pantai, Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren. Sebelumnya, petani sudah diberi informasi bahwa pada hari itu akan diadakan latihan oleh TNI.
”Sebenarnya ada jalan di sebelah utara lahan melon itu yang biasa dilewati truk. Tapi, saat itu kendaraan itu tetap lewat tengah melalui kebun melon milik Mursidin dan Yono. Kerugian mungkin sekitar Rp 2 juta-Rp 3 juta, tapi itu menyakitkan warga,” ujar Imam.
Ketua Urutsewu Bersatu Paryono, dalam siaran persnya, menyampaikan, perusakan lahan melon dilakukan Satuan Armed 10 Purwakarta, yang pada saat itu sedang latihan menembak dengan senjata jenis roket. Kendaraan pengangkut roket memasuki areal tanaman melon dan melindas tanaman yang berumur kurang lebih 30 hari dan mulai berbuah. Lokasi tersebut menjadi tempat peluncuran roket, bahkan tenda peneduh juga didirikan di areal tersebut.
”Padahal, lahan pertanian tersebut merupakan milik petani yang tercatat di dalam C Desa, dan sampai saat ini belum ada penyelesaian mengenai konflik tanah Urut Sewu dengan TNI. Aktivitas latihan tersebut menimbulkan kerusakan tanaman dan robeknya mulsa plastik akibat tergilas roda dan terinjak-injak seluas kurang lebih 0,2 hektar,” kata Paryono.
Paryono menyampaikan, atas kejadian itu, warga tidak berani menegur karena takut dan terdapat intimidasi terhadap petani beberapa waktu terakhir. ”Hal ini mungkin terkait dengan telah dikeluarkannya sertifikat hak pakai untuk TNI AD di beberapa desa lain,” ujarnya.
Disebutkan Paryono, kehadiran TNI AD di Urut Sewu yang pada awalnya ”pinjam tempat ketika latihan” pada tahun 1972 disambut baik oleh masyarakat demi kepentingan negara. Bahkan, sampai saat ini TNI AD masih diperbolehkan latihan meski sebenarnya petani sangat dirugikan karena ketika latihan tidak bisa beraktivitas di lahan. Dalam perkembangannya, kata Paryono, ”pinjam tempat” tersebut berubah menjadi ”klaim”.
”Anehnya, klaim tersebut berubah-ubah, yaitu klaim \'Peta TNI 1998\' yang mengklaim radius 1998, berubah lagi pada tahun 2007, yaitu klaim radius 1.000 meter dari bibir pantai, tepat di area Jalan Lintas Selatan-selatan, tetapi kembali ke klaim 500 meter setelah ditolak masyarakat. Terakhir, klaim \'Peta Minute\' pada tahun 2020 yang membagi wilayah klaim menjadi 2 bidang memanjang, yaitu area pesisir dan areal pemakaman umum di sepanjang Urut Sewu,” papar Paryono.
Menurut Paryono, semua klaim tersebut tidak pernah dijelaskan secara gamblang dan ilmiah kepada masyarakat. ”Kami atas nama Urut Sewu Bersatu (USB) dan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) mengecam tindakan perusakan tanaman tersebut dan menyayangkan kelambanan pemerintah dalam menangani konflik di Urut Sewu,” katanya.
Dihubungi terpisah, Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro Letnan Kolonel Susanto mengatakan, pihaknya masih mencari informasi di lapangan terkait masalah itu. ”Matur nuwun (terima kasih) infonya, Mas. Kami sedang mengecek di lapangan,” tulis Susanto lewat aplikasi percakapan.
Bupati Kebumen Yazid Mahfudz menyampaikan, pemerintah daerah akan memediasi konflik tersebut. Saat ini, dirinya sedang bertugas di luar kota. ”Kami sudah berkomunikasi dengan kedua belah pihak antara TNI dan masyarakat terkait penyertifikatan biar masing-masing punya kekuatan hukum,” kata Yazid.
Proses sertifikasi tanah di kawasan Setrojenar, lanjut Yazid, memang belum selesai. Dari 15 desa, masih ada 10 desa yang belum selesai. ”Pak Menteri ATR/BPN langsung yang menyerahkan (sertifikat) ke Pak Kasad (Kepala Staf TNI AD) 220 hektar, totalnya sekitar 910 hektar atau 915 hektar. Yang sudah selesai 220 hektar. Semoga ini segera selesai supaya masing-masing punya hak, masing-masing punya sertifikat dan punya kekuatan hukum,” tutur Yazid.
Konflik terakhir dalam sengketa ini terjadi pada 11 September 2019. Seperti diberitakan Kompas (12/9/2019), insiden kala itu berawal saat warga mencoba menghentikan proses pembangunan tembok keliling area latihan tembak TNI di Desa Brecong, Buluspesantren.
Warga dihalau secara represif. Sebanyak 16 orang terluka, seorang di antaranya terkena peluru karet. Saat itu, pemagaran lapangan tembak dihentikan sementara dan kedua pihak diminta menahan diri.
Catatan Kompas, bentrok warga dan TNI AD beberapa kali terjadi sejak April 2011. Konflik berpangkal pada saling klaim tanah seluas 1.050 hektar dari Sungai Luk Ulo hingga muara Sungai Wawar sepanjang 22,5 kilometer dengan lebar 500 meter dari bibir pantai.