Konflik Agraria Makin Marak, Pelegalan Wilayah Adat agar Segera Dilakukan
Reforma agraria dinilai tidak berjalan efektif dan tidak solutif. Hingga kini, dari target 4,1 juta hektar lahan yang diredistribusi ke masyarakat, realisasi baru 0,6 persen. Pemerintah didesak melegalkan wilayah adat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Reforma agraria dinilai tidak berjalan efektif dan tidak solutif. Hingga kini, dari target 4,1 juta hektar lahan yang diredistribusi kepada masyarakat, realisasi baru 0,6 persen. Solusi paling mungkin dilakukan untuk menghindari konflik lahan adalah mendaftarkan tanah-tanah adat yang sudah dipetakan sebanyak 10,56 juta hektar.
Dalam beberapa hari ini, konflik lahan semakin meruncing. Di Kinipan, Kalimantan Tengah, anggota komunitas adat sempat ditangkap dengan sangkaan pencurian karena menolak perkebunan sawit. Sebelumnya, Serikat Tani Mencirim Bersatu dan Petani Simalingkar di Sumatera Utara juga berkonflik dengan perusahaan dan meminta perhatian pemerintah dengan berjalan kaki sejauh 1.800 kilometer.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Rukka Sombolinggi mengungkapkan, selama pemerintah tidak mengakui keberadaan masyarakat adat, konflik tidak akan berhenti. Setidaknya terdapat 10,56 juta hektar tanah adat yang sudah dipetakan AMAN bersama berbagai lembaga yang sudah diserahkan kepada pemerintah.
”Pemerintah sudah punya peta itu, kenapa tidak dilegalkan itu. Sudah lama itu dibuat berlarut-larut sehingga kami menilai pemerintah pro hanya kepada pemodal,” kata Rukka saat dihubungi dari Palangkaraya, Jumat (28/8/2020).
Rukka mengungkapkan, reforma agraria yang selama ini dinilai pemerintah sebagai solusi juga tidak berjalan. Praktiknya, masih banyak petani, apalagi masyarakat adat, kehilangan wilayah adatnya.
”Selalu ada jebakan dalam kebijakan yang dibuat pemerintah untuk masyarakat adat. Reforma agraria itu hanya bagi-bagi sertifikat dan kami tidak membutuhkan itu. Kami hanya butuh registrasi lahan yang sudah dipetakan itu untuk kepastian hukum,” kata Rukka.
Dengan mendaftarkan tanah adat yang sudah dipetakan, lanjut Rukka, setidaknya masyarakat adat memiliki kepastian hukum untuk mengelola wilayah adatnya. Tanpa itu, kasus seperti di Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, akan terus terjadi.
”Pemerintah selalu berpikir, jika tanah di Indonesia ini punya mereka, ini melawan konstitusi. Cara berpikirnya harus diubah. Makanya, dalam pengelolaan lahan, harus dijauhkan dari para politisi,” kata Rukka.
Melihat hal itu, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra mengungkapkan, banyak tantangan yang dihadapi pihaknya dalam menjalankan reforma agraria. Reforma agraria dibagi menjadi dua program, yakni legalisasi aset dan redistribusi lahan.
Pemerintah selalu berpikir, jika tanah di Indonesia ini punya mereka, ini melawan konstitusi. Cara berpikirnya harus diubah. Makanya, dalam pengelolaan lahan, harus dijauhkan dari para politisi. (Rukka Sombolinggi)
Dalam konteks redistribusi lahan, lanjut Surya, dari target Presiden Joko Widodo 4,1 juta hektar yang diredistribusi, baru teralisasi 0,6 persen. Hal itu terjadi karena banyak faktor, salah satunya koordinasi lintas sektor yang mentok.
”Target itu harus dicapai oleh seluruh kementerian di era Jokowi sekarang ini. Jadi bukan targetnya ATR/BPN semata. Meskipun demikian, kami terus menjalin komunikasi lintas sektor kementerian, termasuk ke daerah-daerah,” ungkap Surya.
Surya menjelaskan, minimnya target redistribusi lahan juga dipengaruhi oleh minimnya obyek atau tanah. Ketersediaan tanah minim, sedangkan subyek atau masyarakat adat, petani, atau masyarakat pada umumnya memiliki kebutuhan yang besar.
”Nah, konflik itu juga harus dilihat dari gejala kebutuhan yang tinggi. Kami selalu menerapkan prinsip jangan dulu dihakimi, tetapi mencari pendekatan yang jauh lebih solutif,” kata Surya.
Kepala daerah, lanjut Surya, dalam reforma agrarian merupakan Koordinator Gugus Tugas Reforma Agraria di daerahnya. Oleh karena itu, kepala daerah perlu memahami betul tanah-tanah di wilayahnya.
Surya mencontohkan, Jawa bagian selatan saat ini sedang disiapkan menjadi percontohan karena masih banyak isu konflik lahan yang terjadi. Pihaknya berencana menggunakan kembali riset dan kajian terkait pemetaan potensi lahan yang dulu pernah dibuat, tetapi tak dipakai.
”Kajian itu akan kami pakai lagi. Jadi, gak hanya dikasihi sertifikat, tetapi ada pemberdayaan di dalamnya sehingga bisa tahu komoditas apa yang cocok untuk ditanam di lahan tersebut,” kata Surya.
Di Kalimantan Tengah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mencatat setidaknya terdapat 345 konflik lahan terjadi sejak 2005. Sebagian besar konflik tersebut tak kunjung menemui solusi.
”Ujungnya masyarakat selalu menjadi korban, mulai dari kriminalisasi hingga kehilangan mata pencariannya,” kata Direktur Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono.