Vonis 19 Tahun bagi Pelaku Pelecehan Seksual pada Anak Diapresiasi
Vonis 19 tahun bagi pelaku pelecehan seksual pada anak yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh diapresiasi. Selama ini penindakan kasus dihadapkan pada dualisme hukum, UU Perlindungan Anak dan qanun.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Para pihak mengapresiasi majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh atas putusan vonis 19 tahun penjara untuk pelaku pelecehan seksual pada anak. Ini merupakan hukuman tertinggi yang pernah dijatuhkan pengadilan dalam kasus kekerasan terhadap anak di Aceh.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani saat dihubungi, Kamis (27/8/2020), mengapresiasi para hakim karena menjatuhkan hukuman berat bagi pelaku. Nevi berharap hukuman berat memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi publik. Vonis berat wujud keberpihakan hukum pada anak yang menjadi korban.
”Itulah yang kami harapkan, vonis seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak,” kata Nevi.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan vonis 19 tahun penjara bagi SB (40), pelaku persetubuhan terhadap anak. Putusan telah dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Kamis (13/8/2020) melalui sidang daring.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman 19 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar atau diganti kurungan enam bulan. Dalam salinan putusan disebutkan terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan atau ancaman melakukan persetubuhan pada anak.
Sadri dari Humas Pengadilan Negeri Banda Aceh mengatakan, putusan majelis hakim sesuai dengan tuntutan jaksa. ”Seingat saya, ini putusan tertinggi di PN Banda Aceh dalam kasus kekerasan terhadap anak,” kata Sadri.
Ini putusan tertinggi di PN Banda Aceh dalam kasus kekerasan terhadap anak. (Sadri)
SB adalah seorang guru kontrak di sekolah dasar di Banda Aceh. Ia melakukan persetubuhan dan pencabulan terhadap enam siswi di sekolah tempat dia mengajar pada rentang September sampai November 2019.
Korban berusia 8 tahun sampai 12 tahun. Pelecehan dilakukan di ruang kelas dan di toilet sekolah. Kasus terungkap setelah orangtua salah seorang korban melaporkan kasus itu ke polisi.
Nevi Ariani menuturkan, penindakan hukum terhadap kasus pelecehan seksual pada anak di Aceh masih dihadapkan pada dualisme produk hukum, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak dan qanun/perda hukum jinayah, disebut juga syariat Islam. Aceh sebagai daerah otonomi diberikan kewenangan menerapkan hukum Islam.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, hukuman terhadap pelaku adalah kurungan atau penjara, sedangkan dalam qanun jinayah, pelaku dihukum dengan cambuk. Dalam beberapa kasus pelecehan seksual terhadap anak, pelakunya dicambuk. Seperti dalam kasus guru terdakwa pelecehan seksual terhadap santri di Aceh Utara, pelaku dicambuk sebanyak 74 kali. Setelah dicambuk, pelaku dilepaskan.
Nevi mengatakan, secara aturan tidak salah menggunakan undang-undang atau qanun, tetapi seharusnya aparat penegak hukum menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak sebab ancaman hukuman lebih berat, yakni vonis bisa mencapai 20 tahun. ”Diperlukan peningkatan kapasitas untuk membangun perspektif perlindungan anak bagi aparat penegak hukum,” kata Nevi.
Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh, Firdaus Nyak Idin, mengatakan, putusan berat merupakan bentuk keadilan bagi korban. Dia berharap, setelah pelaku dihukum, korban juga mendapatkan hak pemulihan traumatik hak tumbuh kembang dengan baik.
Akan tetapi, Firdaus merasa risau karena masih ada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang divonis ringan, bahkan bebas. ”Hukuman cambuk (qanun jinayah) jelas-jelas tidak memihak korban. Kami akan adukan hakim yang tak punya perspektif anak kepada Mahkamah Agung dan Presiden,” kata Firdaus.