Pandemi dan Ekspor Benur Picu Anjloknya Harga Lobster di Sultra
Nelayan pembudidaya lobster di Sulawesi Tenggara merisaukan harga lobster yang semakin turun jelang akhir tahun. Selain pandemi Covid-19, ekspor benur turut berdampak pada penurunan harga jual di pasaran lokal.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Lobster jenis bambu yang dijual secara eceran di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (25/8/2020). Harga semua jenis lobster anjlok, membuat nelayan pembudidaya khawatir merugi. Selain pandemi Covid-19, anjloknya harga lobster juga disumbang ekspor benur yang dilakukan besar-besaran.
KENDARI, KOMPAS — Nelayan pembudidaya lobster di Sulawesi Tenggara merisaukan harga lobster yang semakin turun menjelang akhir tahun. Harga lobster mutiara di tingkat nelayan bahkan anjlok hingga di bawah Rp 200.000 per kilogram. Selain pandemi Covid-19, ekspor benur atau benih lobster disebut turut memengaruhi penurunan harga.
Ketua Kelompok Bintang Fajar, Bahar (47), menyampaikan, harga pasaran lobster saat ini maksimal Rp 500.000 per kilogram (kg). Harga itu rata untuk lobster tipe super ataupun biasa. Padahal, tahun sebelumnya, harga 1 kilogram lobster super mencapai Rp 700.000 untuk jenis lobster mutiara.
”Untuk saat ini, harga lobster dipukul rata Rp 500.000 per kg. Kalau begini terus, sampai akhir tahun bisa-bisa kami malah rugi,” ucap Bahar di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (27/8/2020). Kelompok Bintang Fajar beranggotakan sebelas nelayan pembudidaya di Soropia, Konawe.
Menurut Bahar, penurunan harga lobster salah satunya disebabkan pandemi Covid-19. Pasalnya, ekspor lobster ke sejumlah negara menjadi tertunda. Selain itu, pembukaan ekspor benur juga menjadi faktor penguat semakin turunnya harga lobster di dalam negeri.
Padahal, Bahar telanjur mengambil kredit di bank sebesar Rp 40 juta untuk membeli benih lobster enam bulan lalu. Benih itu dibeli seharga Rp 550.000 per kg, dengan berat rata-rata 2 ons per ekor. Benih disebar ke sembilan petak keramba budidaya miliknya.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Bahar (47), Ketua Kelompok Nelayan Bintang Fajar, menunjukkan salah satu lokasi keramba pengembangan lobster milik salah satu anggotanya di Desa Soropia, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (15/12/2019). Nelayan budidaya lobster di wilayah ini terkendala sulitnya bibit dan kurangnya perhatian pemerintah.
”Belum lagi untuk pekerja yang akan dikasih setelah lobster terjual. Kalau tahun lalu bisa untung sampai Rp 50 juta, tahun ini tidak rugi saja sudah lumayan. Kami berharap harga bisa naik di akhir tahun dan ada solusi dari pemerintah. Sudah pandemi, ada ekspor benur juga. Kami pembudidaya nanti dapat benih dari mana kalau semua dijual,” ujar ayah dua anak ini.
Rizal (32), pembudidaya lobster di Desa Bajo Mekar, Konawe, menyampaikan, harga jual lobster, terutama jenis mutiara, memang terus turun beberapa waktu terakhir. Beberapa nelayan menjual lobster secara eceran di bawah harga pasar.
”Kemarin kami jual beberapa kilogram untuk pasar lokal karena untuk diekspor sudah agak sulit. Permintaan jauh berkurang,” ucapnya.
Harga benur di pasaran, tutur Rizal, juga semakin mahal. Satu ekor benur dihargai Rp 10.000. Nilai ini jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya sekitar Rp 5.000 per ekor. Sementara itu, bibit lobster dengan berat rata-rata 2 ons per ekor dihargai Rp 550.000 per kg.
Hal ini membuat sejumlah nelayan pembudidaya tidak lagi serius melakukan budidaya lobster. Modal besar, kemungkinan penyakit tinggi, dan harga jual rendah menjadi kendala bagi nelayan kecil dengan kondisi keuangan terbatas.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Lobster jenis pasir yang dijual secara eceran di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (25/8/2020). Harga semua jenis lobster anjlok, membuat nelayan pembudidaya khawatir merugi. Selain pandemi Covid-19, anjloknya harga lobster juga disumbang ekspor benur yang dilakukan besar-besaran.
Junaidin dari Yayasan Bahari (Yari) Sulawesi Tenggara, yang membina sekitar 400 nelayan dan pembudidaya lobster di Kolaka, menjelaskan, harga lobster saat ini memang anjlok. Harga lobster bambu bahkan mencapai Rp 67.000 per kg. Sementara itu, harga paling tinggi untuk lobster mutiara hanya menyentuh Rp 200.000 per kg.
Jatuhnya harga ini sebagian besar akibat dampak pandemi Covid-19. Tidak heran sebagian nelayan beralih kerja untuk mencari penghasilan lain.
”Dulu, kan, berkisar Rp 200.000 hingga Rp 600.000 per kg. Sekarang kalau diistilahkan, harganya terjun bebas. Karena itu, kami sekarang tidak prioritaskan untuk budidaya karena harga jual di pasaran begitu rendah,” kata Junaidin, dihubungi dari Kendari.
Jatuhnya harga ini, lanjut Junaidin, sebagian besar akibat dampak pandemi Covid-19. Tidak heran sebagian nelayan beralih kerja untuk mencari penghasilan lain. Terkait ekspor benur yang sudah masif, hal tersebut belum terjadi di wilayah binaannya.
”Kami harapkan nelayan lebih memilih jadi pembudidaya karena keberlangsungan yang lebih baik. Tetapi, kalau benur diambil terus, apa yang akan dibudidaya ke depan,” tambahnya.
Potensi budidaya lobster di Sultra cukup tinggi. Dalam skala regional, jumlah produksi lobster hidup di Sultra pada 2018 mencapai 41.375 kg atau senilai Rp 30 miliar. Angka ini turun dibandingkan dengan data 2017 saat tercatat 53.604 kg lobster hidup senilai Rp 40 miliar.
Secara nasional, produksi dan nilai jual lobster terus meningkat. Pada 2018, nilainya mencapai 28 juta dollar AS, naik dari tahun sebelumnya 17 juta dollar AS.