Memopulerkan Borobudur Lewat Kuliner Lokal Kekinian
Warga sekitar kawasan Candi Borobudur, Jawa Tengah, antusias mengembangkan potensi kuliner dengan bahan baku lokal. Kuliner kekinian itu diharapkan menjadi oleh-oleh khas yang dapat meningkatkan kunjungan wisatawan.
Kawasan Borobudur, selama berpuluh tahun, bisa jadi hanya sebatas dikenal dari sisi muatan budaya dan seni terkait peninggalan candi. Ekonomi rakyat yang berkembang di sekitarnya pun tak jauh dari seni kriya dan lukis. Namun, seiring waktu, kreativitas masyarakat kian berkembang. Sebagian warga mulai mencari jalan agar kawasan ini kian populer dari sisi kekayaan kuliner.
Upaya mengangkat kuliner ciri khas Borobudur salah satunya dilakukan warga Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Maidar Sutomo (61), dengan menggunakan bahan baku setempat, yaitu singkong atau ubi. Bergelut dengan dunia kuliner sejak 2011, dia sudah membuat beragam variasi makanan berbahan singkong, antara lain brownies, bolu gulung, kue semprong, dan es krim.
Maidar pun juga terus mengembangkan kreativitas. Sempat membuat makanan tradisional tiwul, Maidar, yang akrab disapa Ida, mengatakan, dia tidak berhenti pada tampilan sederhana kudapan lokal yang banyak dijual di pasar. Tiwul diolahnya menjadi keik.
Sekalipun sudah memiliki tampilan berbeda, cita rasa tiwul tetap kuat dalam setiap gigitan. Terlebih, konsumen bisa menikmati kue ini bersama kelapa parut, yang selalu disertakan dalam setiap kemasan kue.
Baca juga: Menghapus Ironi Pangan Lokal
Ida juga memberi sentuhan modern pada makanan tradisional bajingan atau yang lebih dipopulerkannya dengan nama cemplung badheg. Untuk setiap hidangan bajingan yang disajikannya kepada tamu yang datang ke Rumah Ketela ataupun tamu yang datang menginap di hotel miliknya, Hotel Rajasa, dia sering menambahkan parutan keju.
Penggunaan bahan baku singkong sebagai bahan baku makanan juga dilakukan Rini Wijayanti (38), warga Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur. Dia memilih singkong sebagai bahan baku dasar olahan menjadi berbagai ragam bahan makanan. Singkong, baik menurut Ida maupun Rini, dianggap pilihan tepat karena merupakan potensi lokal yang sangat mudah didapatkan di kawasan Borobudur.
”Tanaman singkong adalah tanaman yang demikian mudahnya ditemui karena hampir selalu ada, ditanam oleh warga di setiap rumah,” ujarnya.
Singkong dianggap pilihan tepat karena merupakan potensi lokal yang sangat mudah didapatkan di kawasan Borobudur.
Makanan tradisional berbahan singkong sebenarnya sudah demikian banyak. Namun, Rini tetap membuatnya agar benar-benar menjadi kuliner yang punya cita rasa berkelas dengan tampilan unik dan khas.
Karena pernah belajar membuat getuk dari produsen makanan tradisional lainnya, jenis kudapan itulah yang kemudian pertama kali dibuat. Agar tetap punya ciri khas berbeda dengan getuk dari daerah lain, Rini membuah olahan getuk bakar.
Proses membuat produk unik ini butuh kerja keras. Demi merumuskan resep, komposisi bahan, serta cara memasak yang tepat, dia menghabiskan waktu sekitar tiga bulan untuk melakukan uji coba.
Uji coba tersebut dilakukan dengan melakukan beragam variasi pada proses memasak. Selain melakukan eksperimen pada takaran bahan-bahan yang digunakan, dia juga mencoba membandingkan hasil yang didapat dari perbedaan durasi memasak. Dia juga mencoba melakukan produksi pada waktu berbeda-beda, yakni pagi, siang, dan malam.
Getuk bakar produksi Rini berupa potongan kotak getuk padat, yang kemudian dibakar. Agar lebih terkesan kekinian dan menarik minat pembeli di masa sekarang, dia juga menambahkan topping, seperti cokelat, kacang, serta aneka selai.
Proses uji coba terus dilakukannya untuk mengembangkan bahan baku singkong, yang kini telah berhasil diolahnya menjadi donat getuk, growol, sentiling, dan pastel. Sesuai komitmennya mengangkat potensi singkong, Rini sama sekali tidak menggunakan campuran terigu untuk pembuatan semua jenis makanan.
Dari nama getuk bakar, Rini kemudian membuat singkatan Tuk Bar dan menjadikannya sebagai merek produk. Setiap hari, dia menggunakan bahan baku 10 kilogram (kg) singkong. Permintaan terbanyak dari pembeli adalah getuk bakar dan donat. Khusus untuk getuk, Rini sengaja menyiapkan stok getuk beku, yang siap dibakar kapan saja untuk memenuhi permintaan pembeli.
Rini melakukan promosi secara intensif dengan mengunggah setiap aktivitas produksi dan hasil olahannya di media sosial. Di luar itu, untuk kegiatan promosi dan pemasaran produk, dia dibantu oleh enam reseller dari berbagai daerah di Kabupaten dan Kota Magelang.
Tidak hanya bergerak sendiri, dia juga mengajak warga lain untuk ikut membuat makanan tradisional berbahan baku lokal. Berdasarkan arahannya, setiap makanan tersebut juga diberi tambahan bahan agar lebih sesuai dengan tren kuliner kekinian.
Pada warga yang memroduksi kemplang, misalnya, dia mengarahkan mereka untuk menambahkan campuran bahan oregano. ”Tambahan oregano membuat kemplang bearoma lebih sedap dan memberikan sensasi bagi konsumen kemplang sehingga seolah-olah menikmati pizza,” ujar Rini.
Dia berharap kreasi yang dilakukannya ini kelak menjadi produk oleh-oleh khas dari kawasan Borobudur. Selama ini, ia menilai Borobudur belum memiliki ikon produk makanan atau oleh-oleh khas.
Tidak adanya oleh-oleh khas Borobudur, juga ditangkap sebagai peluang oleh seniman lukis, Yasumi Ishii, untuk mengembangkan dan membuka usaha kuliner khas Jepang di tempat tinggalnya di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Bersama putrinya, Utami Atasia Ishii (23), dia membuat dua jenis street food, atau makanan yang banyak dijajakan di jalanan Negeri Sakura, yakni takoyaki dan kameyaki.
Takoyaki memang sudah terlebih dahulu populer di Indonesia. Jenis makanan ringan ini banyak dijual di tepi jalan hingga pusat-pusat perbelanjaan, seperti mal. Adapun kameyaki sebenarnya bukanlah nama orisinal dari makanan tersebut. Makanan ini diproduksi dan dijual di banyak tempat di Jepang. Namun, penyebutannya berbeda-beda di setiap daerah. Di Tokyo, misalnya, makanan ini dikenal dengan nama imagawayaki atau oobanyaki.
Namun, sejak awal, dia tidak ingin memakai nama asli kue tersebut karena dinilainya kurang familiar. ”Nama asli kue ini terlalu panjang sehingga mungkin akan sulit diingat,” ujar Yasumi.
Dia dan keluarga kemudian berpikir keras mencari nama yang lebih lokal. Karena di daerah asalnya, makanan ini biasa diisi oleh kacang merah, mereka pun kemudian berpikiran untuk membuat nama makanan menjadi kameyaki.
Kame adalah singkatan dari kacang merah, yang dalam bahasa Jepang sekaligus bermakna kura-kura, satwa yang menjadi simbol harapan atau doa akan umur panjang.
Baca juga: Legenda Bajingan Manis nan Empuk dari Magelang
Selain kacang merah, kameyaki produksi Yasumi juga dibuat dengan isian kacang hijau. Ke depan, dia pun akan mengembangkannya dengan isian dari bahan-bahan lokal lain yang banyak di lingkungan sekitarnya. ”Kami berharap apa pun yang kami buat nantinya bisa lebih bercita rasa lokal,” ujarnya.
Jika kameyaki bisa dibuat sesuai dengan resep aslinya, Yasumi mengaku, untuk membuat takoyaki, proses yang dilalui lebih panjang. Dia dan Utami harus mengadaptasi resep asli takoyaki dengan selera masyarakat di kawasan Borobudur.
”Kami harus bereksperimen berulang kali untuk memastikan agar cita rasa takoyaki bisa diterima warga lokal, tetapi juga tidak dianggap aneh oleh warga Jepang, yang mungkin akan datang berwisata kemari,” ujarnya.
Kami berharap apa pun yang kami buat nantinya bisa lebih bercita rasa lokal.
Dalam proses adaptasi tersebut, Utami mengatakan, dia menambahkan pilihan bakso ayam dan bakso sapi sebagai campuran bahan. Padahal, menurut resep aslinya, takoyaki biasanya hanya berisi potongan daging gurita dan sayuran.
Eksperimen membuat dua jenis produk makanan ini berlangsung lebih dari tiga bulan. Yasumi dan Utari kemudian secara resmi menjual dua jenis makanan tersebut pada Senin (17/8/2020). Permintaan dan pesanan pun terus berdatangan. Bahkan, mereka pernah diminta untuk memasok kameyaki sebagai makanan ringan di acara arisan.
Dengan respons pasar yang cukup positif itu, Yasumi pun berharap makanan yang dibuatnya kelak bisa menjadi oleh-oleh khas Borobudur.
Baca juga: Hidangan dari Singkong
Wisata
Kepala Seksi Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Magelang Zumrotun Rini mengatakan, dalam dunia pariwisata, kuliner menjadi daya tarik lebih yang memancing kedatangan wisatawan.
”Banyak wisatawan yang datang acap kali menanyakan di mana tempat yang tepat untuk menikmati hidangan khas Magelang, khususnya Borobudur, antara lain mangut beong dan kupat tahu. Mereka penasaran untuk mencicipi,” ujarnya.
Zumrotun mengatakan, pihaknya memang belum pernah secara resmi bekerja sama dengan pelaku usaha kuliner untuk memromosikan produk-produk makanan tersebut. Kendati demikian, jika pelaku usaha meminta bantuan, pihaknya siap membantu. Selain itu, menurut Zumrotun, pihaknya juga sudah pernah membuat video pendek tentang kuliner khas, sebagai bentuk promosi untuk potensi Kabupaten Magelang.
Baca juga: Sensasi Se’i, Menanti Rasa Gurih yang Terus Dicari
Kuliner, dalam dunia pariwisata, menurut dia memang menjadi sektor yang prospektif untuk diterjuni. Mulai dari keinginan untuk sekadar mencicipi kuliner, wisatawan nantinya diharapkan terdorong untuk tinggal lebih lama dan berbelanja lebih banyak di Kabupaten Magelang, khususnya Borobudur.
Para pelaku UMKM didorong untuk mengembangkan kreasi seluas-luasnya dalam bidang kuliner. Tidak melulu harus membuat menu baru, kreativitas juga bisa dilakukan dengan memodifikasi resep-resep tradisional.