Permainan tradisional kini punya peran lebih, yakni menggerakkan perekonomian desa lewat pariwisata. Sejumlah desa memakai permainan tradisional ini sebagai sebuah pemikat bagi wisatawan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permainan tradisional bukan sekadar permainan yang membangkitkan kenangan masa lalu. Lebih dari itu, permainan tradisional bisa menggerakkan perekonomian desa lewat pariwisata.
Pendiri Komunitas Hong Zaini Alif mengatakan, permainan tradisional sangat berpotensi apabila dikembangkan di wilayah perdesaan. Sebab, nilai-nilai kehidupan masyarakat di perdesaan sangat dekat dengan permainan tradisional tersebut.
Contohnya seperti di Kampung Bolang, Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjung Siang, Subang, Jawa Barat. Masyarakat Kampung Bolang mampu mengembangkan permainan tradisional yang khas di daerah tersebut. Alhasil, Kampung Bolang kini menjadi desa wisata.
”Kami (Komunitas Hong) memberikan pelatihan kepada ibu-ibu dan remaja yang ada di Kampung Bolang. Terbukti mereka mampu berkembang menjadi desa wisata,” katanya dalam ”Bincang Santai Temu Kenali Budaya Desaku: Permainan Tradisional Bukan Hanya Kenangan” yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa (25/8/2020).
Masyarakat di sana juga membuat Pasar Talawengkar. Pengunjung yang datang ke pasar ini hanya bisa berbelanja dengan talawengkar atau uang dari pecahan genteng yang dapat ditukarkan dengan uang rupiah di pintu masuk.
”Pengunjung bisa bermain sambil berbelanja. Transaksi per hari bisa mencapai Rp 7 juta sebelum pandemi dan semua masuk ke masyarakat,” katanya.
Saat ini, setidaknya terdapat 2.600 jenis permainan tradisional yang terdata oleh Komunitas Hong. Data berupa foto, video, dan naskah kuno tersebut disimpan dalam Museum Permainan Tradisional Indonesia di salah satu perkampungan di Bandung, Jawa Barat.
Tidak kurang dari 500 orang saban minggu datang ke museum yang memiliki luas bangunan 4 x 8 meter persegi ini sebelum pandemi. ”Jika desa-desa di seluruh Indonesia bisa menggali 2.600 jenis permainan tradisional ini, pasti akan menjadi potensi wisata yang menjanjikan,” ujar Zaini.
Setidaknya, ada tiga unsur penting dalam pengembangan permainan tradisional menjadi pariwisata. Permainan tradisional harus dilengkapi dengan narasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
”Misalnya permainan injit-injit semut melatih empati atau congklak yang melatih kerja sama sosial,” katanya.
Selain itu, harus ada pengalaman yang ditawarkan kepada pengunjung. Mereka harus melakukan interaksi langsung dengan permainan tersebut.
Terakhir, sustainability atau keberlanjutannya harus terus dijaga. Caranya adalah dengan menggali permainan yang berbeda setiap pekannya. ”Permainan tradisional itu sangat gampang dikembangkan. Misalnya permainan sarung bisa diwujudkan dengan monyetan sarung, kura-kura sarung, atau boneka sarung,” katanya.
Mengembangkan desa
Selain di Kampung Bolang, permainan tradisional juga berkembang di Desa Ledokombo, Jember, Jawa Timur. Desa yang sebelumnya banyak ditinggalkan oleh penduduknya untuk bekerja di luar kota dan luar negeri tersebut kini bahkan dikenal hingga kancah internasional.
Pada 2009, banyak anak-anak di Desa Ledokombo yang ditinggal orangtuanya bekerja ke luar daerah dan luar negeri. Selain merindukan kasih sayang orangtua, anak-anak di sana memiliki kesempatan yang terbatas untuk bermain.
”Dari situ, komunitas kami lahir untuk membantu anak-anak di Jember. Kami coba fasilitasi,” Founder Komunitas Tanoker, Farha Ciciek.
Komunitas Tanoker tersebut kemudian membantu anak-anak di Ledokombo untuk bermain permainan tradisional yang sebelumnya dilakukan oleh generasi sebelum mereka. Mereka berlatih permainan egrang.
Dalam kurun sepuluh tahun, Ledokombo sudah berkembang pesat. Setiap tahun mereka menyelenggarakan Festival Egrang. Bahkan, pada festival ke-8 ada pengegrang dari Belgia yang turut serta. Beberapa kali, anak-anak di Ledokombo juga diundang mengikuti festival egrang di luar negeri.
”Tahun ini harusnya kami menggelar festival yang ke-11, tetapi batal karena pandemi Covid-19,” ujar Ciciek.
Sementara itu, di permukiman-permukiman perkotaan, seperti DKI Jakarta, permainan tradisional cenderung sulit ditemui. Pun saat anak-anak merasa jenuh menghadapi situasi pandemi Covid-19.
Seperti yang terlihat di sepanjang Jalan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa siang. Beberapa anak terlihat asyik bermain sepatu roda dan skuter di jalanan.
Hal itu diakui Maulana Pasah, Ketua Karang Taruna RW 5 Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Menurut dia, anak-anak di kampungnya lebih suka bermain gim daring, seperti Mobile Legend atau Free Fire, ketimbang permainan tradisional.
”Kalau permainan tradisional musiman, Bang. Biasanya, kalau sudah musim, mainnya monopoli sama lampu gunung,” katanya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, permainan tradisional adalah produk dari kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun karena memiliki manfaat. Masalahnya, kita yang hidup di zaman modern sering kali tidak mengenal manfaatnya.
”Kita tidak lagi punya akses terhadap kekayaan masa lalu untuk kepentingan zaman sekarang. Itu kerugian paling besar kita,” katanya.
Oleh sebab itu, Hilmar mengajak masyarakat untuk mengenali lagi pemikiran-pemikiran di lingkungan masyarakat yang diteruskan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, permainan tradisional memiliki banyak nilai dan filosofi yang berguna untuk keperluan sekarang.