Perkuat Koordinasi Antarlembaga untuk Mitigasi Erupsi Merapi
Rencana kontingensi untuk mitigasi bencana erupsi Merapi telah disusun, di antaranya mengacu protokol kesehatan Covid-19. Koordinasi antarlembaga perlu diperkuat agar penanganan bencana bisa dilakukan secara terukur.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Penyesuaian rencana kontingensi mitigasi bencana erupsi Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah selesai disusun mengacu protokol kesehatan Covid-19. Koordinasi antarlembaga perlu diperkuat agar penanganan bencana dilakukan secara terukur.
”Intinya, kami sudah menyusun rencana kontingensi itu. Skenarionya berdasarkan rekomendasi BPPTKG (Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi). Ada bahaya dengan tingkat IV-V yang menyangkut tujuh desa dari tiga kecamatan, yaitu di Kecamatan Turi, Pakem, dan Cangkringan,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta (BPBD DIY) Biwara Yuswantana dalam kegiatan Simulasi Penanggulangan Bencana pada Masa Covid-19 di Yogyakarta, Selasa (25/8/2020).
Biwara mengungkapkan, pandemi Covid-19 mengharuskan penanganan bencana disesuaikan. Protokol kesehatan berupa jaga jarak harus diterapkan guna mencegah penularan virus korona tipe baru. Aspek tersebut telah dimasukkan dalam rencana kontingensi.
Sejumlah prasarana juga telah disiapkan terkait penanganan bencana, yakni mulai dari barak pengungsian, sister village (desa jejaring), hingga sistem pengangkutan warga saat evakuasi.
Selanjutnya, menurut Biwara, penanganan bencana selalu dilakukan secara bersama-sama melibatkan banyak lembaga. Untuk itu, koordinasi antarlembaga menjadi hal yang penting dan perlu terus diperkuat.
”Jadi penanganan ketika terjadi kedaruratan, intinya ada di koordinasi. Misal, ada informasi terjadi erupsi. Perencanaan akan seperti apa? Dengan kegiatan ini, rencana kontingensi yang sudah disusun bisa dilatih. Skenario atau rencana kontingensi kita uji kualitasnya sekaligus kapasitas orang yang terlibat,” kata Biwara.
Penanganan bencana selalu dilakukan secara bersama-sama melibatkan banyak lembaga. Untuk itu, koordinasi antarlembaga menjadi hal yang penting dan perlu terus diperkuat.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Penanggulangan Bencana BNPB Berton Suar Panjaitan, yang juga hadir dalam kegiatan tersebut, mengatakan, simulasi kontingensi biasanya dilakukan dalam tiga cara, yakni geladi ruang, grladi posko, dan grladi lapang. Kali ini, simulasi hanya dilakukan grladi ruang saja. Hal ini salah satunya disebabkan pandemi Covid-19.
”Karena ada Covid-19, kami tidak melibatkan masyarakat dalam hal ini sehingga geladi lapang tidak dilakukan di lapangan. Yang kami lakukan adalah geladi ruang. Rencana kontingensi ini diuji dengan OPD (organisasi pemerintah daerah) dan pihak terkait lebih dulu,” kata Berton.
Adapun pihak-pihak yang dilibatkan dalam simulasi tersebut beragam, mulai dari BPBD Sleman, Palang Merah Indonesia, TNI, kepolisian, hingga Organisasi Amatir Radio Indonesia.
Sebelumnya, Kepala BPPTKG Hanik Humaida menyampaikan, aktivitas vulkanik masih terus berlangsung. Sejak 22 Juni 2020, teramati pula adanya deformasi pada permukaan Gunung Merapi. Deformasi itu dapat dilihat dari pemendekan jarak tunjam menurut pengukuran jarak elektronik dari Pos Pengamatan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Ada dua kemungkinan yang muncul dari deformasi tersebut, yakni terjadinya letusan eksplosif dan terbentuknya kubah lava baru. Sementara, tingkat eksplosivitasnya masih berskala satu. Tingkat itu merupakan letusan dengan skala terendah bagi Gunung Merapi. Maka, ancaman bahayanya juga belum berubah (Kompas, 9/7/2020).
”Berbeda dengan erupsi tahun 2010. Saat itu, skalanya mencapai IV. Sementara, untuk erupsi tahun 2006, skalanya mencapai II,” kata Hanik.
Saat ini, Gunung Merapi masih berstatus Waspada (Level II). Status itu telah bertahan sejak Mei 2018. Dengan kondisi tersebut, potensi ancaman bahaya yaitu berupa luncuran awan panas akibat runtuhnya kubah lava ataupun jatuhan material vulkanik dari letusan eksplosif. Masyarakat diminta tidak beraktivitas dalam radius 3 kilometer dari puncak gunung. Sejauh ini, sudah tidak ada warga yang tinggal ataupun beraktivitas dalam radius itu.