Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bergeming di saat publik mengkritik anggota DPRD Provinsi Maluku yang tak menjalani tes Covid-19 dan anggota DPRD Kota Ambon yang berkukuh studi banding. Ada apa di balik ini?
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Perilaku segelintir elite di Maluku dalam masa pandemi Covid-19 tidak menunjukkan teladan yang baik. Anggota DPRD Provinsi Maluku tidak menjalani tes Covid-19 dan anggota DPRD Kota Ambon berkukuh studi banding ke Jawa Barat. Di lain pihak, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bergeming. Publik yang kecewa menaruh curiga kepada mereka. Kenapa Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Maluku pilih kasih?
Gedung DPRD Kota Ambon, pada Jumat (14/8/2020), sepi. Sebanyak 34 dari total 35 anggota DPRD tengah berada di Jawa Barat untuk melakukan studi banding mengenai penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang posturnya disesuaikan dengan kebutuhan pada masa pandemi Covid-19. Adapun satu anggota yang tidak ikut itu lantaran ada agenda partai yang tidak bisa ditinggalkan.
Rencana keberangkatan para anggota DPRD mendapat respons dari publik sejak satu pekan sebelumnya. Publik satu suara meminta wakil rakyat menunda rencana studi banding yang dianggap tidak terlalu mendesak itu. Begitu juga hampir semua media massa di Ambon satu nada mengkritik rencana itu.
Penyusunan APBD sebetulnya tidak perlu harus studi banding sebab para anggota sudah cukup berpengalaman dalam hal mengutak-atik anggaran. Mereka sangat mahir. Jika ditemukan kendala, mereka bisa berkomunikasi dengan narasumber secara virtual. Semua akses kini tersedia. Namun, mereka ngotot tetap berangkat dengan jumlah rombongan sekitar 40 orang, termasuk pegawai.
Spekulasi liar di ruang publik tak bisa terhindarkan. Ada yang mengganggap, motivasi studi banding itu untuk menghabiskan jatah perjalanan dinas. Uang perjalanan dinas akan masuk ke dalam kantong mereka. Selain itu, mereka juga bisa jalan-jalan setelah beberapa bulan terakhir terisolasi akibat pandemi Covid-19.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas, anggaran perjalanan dinas untuk satu orang paling sedikit Rp 15 juta. Dengan begitu, total anggaran yang digunakan 34 anggota paling sedikit Rp 510 juta. Itu paling sedikit. Belum terhitung peserta rombongan di luar anggota yang besarannya sekitar Rp 10 juta per orang.
Sesungguhnya, tujuan mereka adalah mengumpulkan pundi-pundi (uang) untuk masuk ke dalam kantong.
”Studi banding ini hanya akal-akalan anggota DPRD untuk menghabiskan uang negara. Sesungguhnya, tujuan mereka adalah mengumpulkan pundi-pundi (uang) untuk masuk ke dalam kantong,” kata pengamat sosial politik dari Universitas Pattimura, Ambon, Joseph A Ufi.
Joseph menilai, anggaran untuk studi banding sebesar itu sebaiknya dialihkan untuk membantu masyarakat yang kini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Banyak orang kehilangan pekerjaan, dirumahkan, bahkan dipecat dari tempat kerja. Kebutuhan pada masa pandemi ini tetap sama seperti biasa, bahkan meningkat.
Para orangtua, selain mencari uang untuk kebutuhan rumah tangga, juga membeli pulsa data internet untuk kebutuhan belajar anak-anak mereka. Pembelajaran jarak jauh memang tidak mudah bagi kalangan ekonomi lemah. Banyak anak tidak punya telepon genggam. Mereka yang punya pun kesulitan membeli paket data internet.
Andai saja uang perjalanan dinas sebesar Rp 510 juta itu dialihkan untuk membantu paket data internet seharga Rp 100.000, setidaknya ada 5.100 anak dari keluarga tidak mampu dapat menerima manfaatnya. Ini sekadar contoh.
Selain menghabiskan anggaran, perjalanan dinas juga berpotensi menularkan virs Covid-19 sebab mereka bepergian ke tempat yang berisiko. Jika ada yang terpapar, mereka pulang membawa ”oleh-oleh” virus. Ini juga yang dikhawatirkan publik.
Ketua DPRD Kota Ambon Ely Toisuta, yang dihubungi Kompas lewat telepon seluler, tak merespons. Sebagai pimpinan lembaga, Ely didaulat berbicara atas nama semua anggota. Oleh karena itu, anggota dewan yang lain enggan berbicara.
Di lain pihak, riak publik terkait studi banding yang dianggap tidak terlalu urgen dan bermanfaat untuk publik tidak terlalu digubris gugus tugas yang dikomandoi Pemerintah Kota Ambon. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Ambon, yang juga Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, enggan mengomentari hal itu.
”Itu urusan DPRD. Tanyakan kepada DPRD,” ujarnya. ”Saya, kan, pernah jadi anggota DPRD,” ucapnya lagi. Respons Richard ini terkesan menunjukkan sikap standar ganda. Sebab, kepada masyarakat, ia sering mengimbau agar tidak perlu melakukan perjalanan yang tidak penting. Aturan keluar masuk Ambon diperketat.
Sementara itu, hingga Minggu (16/8/2020), anggota DPRD Provonsi Maluku yang terlibat kontak erat dengan rekan mereka yang positif Covid-19 belum juga menjalani tes. Padahal, pegawai DPRD yang terlibat kontak sudah menjalani tes dan hasilnya dua orang positif Covid-19.
Kasus pertama di kluster DPRD itu diumumkan pada 3 Agustus lalu. Itu setelah rombongan DPRD pulang dari studi banding di Jakarta. Anggota DPRD yang terinfeksi itu ikut dalam studi banding. Setelah pengumuman itu, Ketua DPRD Provinsi Maluku Lucky Wattimury menyatakan, semua anggota DPRD terlibat kontak wajib menjalani tes.
Namun, belakangan, yang dites hanya pegawai. Lucky pun semakin sulit dihubungi. Ia tak lagi merespons panggilan telepon dari Kompas. Padahal, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Provinsi Maluku itu termasuk pejabat publik di Maluku yang cukup komunikatif dengan media.
Sayangnya, ihwal anggota DPRD yang tidak mengikuti tes ditanggapi dingin oleh pihak gugus tugas. ”O... begitu, ya,” ujar Kasrul Selang, Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku, yang juga Sekretaris Daerah Provinsi Maluku.
Pihak gugus tugas tampaknya memaklumi apa yang dilakukan, baik di DPRD Kota Ambon maupun di DPRD Provinsi Maluku. Suatu perlakuan berbeda. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol menilai gugus tugas diskriminatif. Ada ruang kompromi dalam penanggulangan Covid-19. Sementara kasus Covid-19 tak kenal kompromi. Hingga Sabtu (15/8/2020) malam, jumlah kasus Covid-19 di Maluku naik menjadi 1.448. Kasus terbanyak di Kota Ambon, yakni 1.064. Publik menduga ada tarik-menarik kepentingan antara legislatif dan gugus tugas yang tak lain pimpinan eksekutif. Mereka terkesan berselingkuh di belakang layar.