KIFF 2020 Jadi Jembatan Sampaikan Suara Terpinggirkan Masyarakat Adat
Kalimantan Indigenous Film Festival kembali digelar tahun ini. Festival film yang mengambil tema besar ”Tunjukkan Diri” itu menampilkan 20 film dengan cerita dari 20 komunitas adat di sejumlah daerah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kalimantan Indigenous Film Festival kembali digelar tahun ini. Tahun ini, festival film itu mengambil tema ”Tunjukkan Diri”. Ada 20 film dari 20 komunitas adat di Indonesia, Malaysia, dan India yang ambil bagian menampilkan kekhasan masing-masing.
Festival itu diselenggarakan Yayasan Ranu Welum bekerja sama dengan Saverock Media serta didukung Sanggar Marajaki, Sanggar Karungut, dan Deder Guru-guru Kalimantan Tengah Harati-Berkah. Kalimantan Indigenous Film Festival (KIFF) 2020 dilaksanakan selama dua hari secara daring, Jumat-Sabtu (21-22/8/2020).
Festival tersebut menayangkan 20 film dengan berbagai genre dan cerita dalam total waktu 15 jam pemutaran film. Film-film tersebut mengungkapkan beragam cerita komunitas adat di Kalimantan, Bangka Belitung, Tana Toraja, Bali, Jawa, Sarawak, Malaysia barat, dan Jharkhan di India.
Direktur KIFF 2020 yang juga pendiri Yayasan Ranu Welum, Emmanuela Shinta, menuturkan, kegiatan itu digelar sekaligus merayakan Hari Masyarakat Adat Internasional pada 9 Agustus lalu. Tahun ini adalah ketiga kalinya festival ini digelar.
”Bersama komunitas global, kami orang Dayak merayakan Hari Masyarakat Adat sebagai momen mengingat atau mengenang kembali identitas, juga warisan adat. Harapannya, masa depan masyarakat adat lebih cerah lagi,” kata Shinta di Palangkaraya, Sabtu.
Shinta menambahkan, KIFF digelar untuk menampilkan banyak cerita atau suara-suara komunitas adat yang selama ini jarang didengar, mulai dari kehidupan berkomunitas hingga alam di sekitar komunitas adat.
”Komunitas adat kerap dianggap kelompok marjinal yang hak-haknya kerap dirampas. Namun, terlepas dari itu, kami percaya, orang asli tidak harus malu akan identitasnya. Hal itu mendorong kami memilih tema ’Tunjukkan Diri’,” kata Shinta.
Selain pemutaran film di kanal Youtube milik Ranu Welum, KIFF kali ini juga menggelar diskusi dengan beragam tema. Beberapa di antaranya adalah ”Melestarikan Budaya melalui Musik dan Kewiraswastaan” dan pelatihan daring dengan topik ”Membuat Film tentang Masyarakat Adat”.
Di bagian akhir kegiatan juga terdapat pemberian penghargaan untuk film dokumenter terbaik, film fitur terbaik, video pendek terbaik, pembuat film Tabela, dan People’s Choice Awards yang bakal diumumkan pada 30 Agustus mendatang.
Komunitas adat kerap dianggap kelompok marjinal yang hak-haknya kerap dirampas. Namun, terlepas dari itu, kami percaya, orang asli tidak harus malu akan identitasnya. Hal itu mendorong kami memilih tema ’Tunjukkan Diri’.
Salah satu film yang berasal dari Kalimantan Tengah dibuat Gusti Roby Navela (27) dengan judul Es Batu. Film itu bercerita tentang seorang anak gadis berumur sembilan tahun bernama Danum.
Danum menganut Kaharingan, kepercayaan asli suku Dayak. Ia selalu mendapatkan nilai rendah di pelajaran agama. Hal itu terjadi karena apa yang diajarkan ayahnya berbeda dengan apa yang diajarkan di sekolah.
”Film digambarkan dari sudut pandang anak kecil karena kejujuran dan kepolosannya dapat mewakili mereka yang menganut Kaharingan. Mereka selalu punya sikap pasrah atau terima saja, tetapi di hati kecil ingin diakui,” kata Gusti.
Gusti sudah dua kali mengikuti KIFF. Ia kerap mengangkat tema-tema kebudayaan untuk menunjukkan kegelisahan masyarakat adat, khususnya suku Dayak.
”Memang Kaharingan disatukan dengan agama Hindu. Tetapi, ternyata itu tidak selalu berdampak positif, selalu ada cerita menarik, tapi miris di dalamnya,” kata Gusti.
Cerita dalam Es Batu itu sama mirisnya dengan pengakuan terhadap masyarakat adat yang hingga kini belum jelas seiring belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Konflik pun terus terjadi seiring banyaknya tanah adat yang tergerus investasi ataupun pembangunan.
Film lain berjudul Huma Amas bercerita tentang perjuangan petani di Kalimantan Timur yang mempertahankan wilayahnya. Petani itu beberapa kali ditawari barang mewah dan materi lain dari perusahaan batubara. Namun, semuanya selalu ditolak.
Jharkhand di India juga memberi kisah serupa. Film yang ditampilkan menunjukkan bagaimana komunitas adat di sana sangat menghormati dan mencintai alamnya.
”Di saat-saat yang menyedihkan, kita pasti membutuhkan dukungan dari orang yang benar-benar bisa memberikan solusi, dan orang itu adalah kita sendiri. Masyarakat adat harus bangkit, berdiri, dan berbicara tentang diri kita sendiri pada dunia,” kata Shinta.