Sengketa Lahan di Nusa Tenggara Timur Idealnya Dibawa ke Pengadilan
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan masyarakat adat Pubabu-Besipae, Timor Tengah Selatan, bisa menguji kebenaran penguasaan lahan seluas 3.780 hektar ke pengadilan negeri.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
SOE, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan masyarakat adat Pubabu-Besipae, Timor Tengah Selatan, bisa menguji kebenaran penguasaan lahan seluas 3.780 hektar yang diklaim kedua pihak ke pengadilan negeri setempat. Sengketa lahan itu tidak bakal selesai jika kedua pihak bertahan pada pendapat sendiri. Selama belum ada pengujian kasus ini ke pengadilan, Pemprov NTT tidak boleh melakukan pembongkaran rumah dan intimidasi, teror, dan penangkapan terhadap warga Pubabu-Besipae.
Koordinator Kuasa Hukum Masyarakat Pubabu-Besipae, Timor Tengah Selatan (TTS), Akhmat Bumi, di Soe, Jumat (21/8/2020), mengatakan, sertifikat tanah yang dimiliki Pemprov NTT itu bermasalah. Dalam sertifikat tidak disebutkan hak tanah diperoleh dari hasil konvergensi lahan, pemberian hak, pemecahan sertifikat tanah, atau penggalan bidang tertentu.
”Kami mendorong kasus ini dibawa ke pengadilan untuk membuktikan kebenaran tentang kepemilikan sah. Ada yang aneh ketika Pemprov NTT menyebutkan sertifikat asli kepemilikan tanah hilang, seperti disebutkan dalam kutipan surat sehingga dibuatkan surat keterangan hilang dari kepolisian, 12 Desember 2012. Sertifikat ini menjadi cacat hukum karena surat asli harus ada,” kata Akhmad.
Pemprov NTT mengklaim Pubabu-Besipae dalam kawasan hutan negara (lindung). Kuasa hukum dari Firma Hukum ABP telah mengecek dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, 16 Agustus 2020, ternyata kawasan hutan itu ada di Koa, Kecamatan Molo Barat, seluas 2.599 hektar, bukan di Pubabu-Besipae.
Kami mendorong kasus ini dibawa ke pengadilan untuk membuktikan kebenaran tentang kepemilikan sah. Ada yang aneh ketika Pemprov NTT menyebutkan sertifikat asli kepemilikan tanah hilang, seperti disebutkan dalam kutipan surat sehingga dibuatkan surat keterangan hilang dari kepolisian, 12 Desember 2012.
Ia mengatakan, saat pembongkaran rumah warga, Selasa (14/8/2020), satpol PP dari Pemkab TTS menyebutkan pembangunan rumah oleh warga itu ada di dalam kawasan hutan lindung. Masyarakat dinilai melanggar kawasan hutan lindung, sementara pemprov yang menerbitkan sertifikat tanah di atas hutan lindung dianggap wajar.
Tahun 1982, kawasan ini dijadikan proyek percontohan intensifikasi peternakan di Besipae oleh Australia, Pemprov, NTT, dan Pemkab TTS. Masyarakat diminta memberikan lahan di Desa Oe Ekam, Mio, Polo, Pubabu-Besipae, dan Linamnutu.
Masyarakat adat dari lima desa itu setuju, lalu memberikan lahan seluas 6.000 hektar, dengan syarat agar rumah-rumah, tanaman perkebunan, ladang milik masyarakat tetap ditekola masyarakat. Kontrak berlangsung lima tahun, sejak 1982-1987.
Tahun 1987 diadakan pertemuan antara pemerintah dan Australia serta masyarakat adat dari lima desa itu. Mereka sepakat agar tanah seluas 6.000 ha itu dikembalikan kepada masyarakat adat. Tetapi secara sepihak Dinas Peternakan TTS memanfaatkan lahan itu seluas 21 ha untuk hutan makanan ternak (HMT). Sejak saat ini terjadi konflik pemda dengan masyarakat adat.
Tahun 2003, 2006, dan 2008 Dinas Kehutanan TTS mengembangkan proyek gerakan nasional rehabilitasi hutan (Gerhan) di wilayah Pubabu-Besipae dan desa-desa sekitarnya. Semua jenis hutan tanaman asli di wilayah itu dibabat kemudian diganti dengan tanaman gamelan, kemiri, dan jati.
Sebagian besar proyek ini gagal tumbuh dan berkembang. Ini pun ditolak warga karena sesuai perjanjian awal, pasca-kerja sama pemda dengan Australia, maka lahan itu diserahkan kepada masyarakat adat.
Tahun 2011, masyarakat adat Pubabu-Besipae dan sekitarnya yang tergabung dalam ikatan tokoh adat pencari kebenaran dan keadilan menerbitkan surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT dan instalasi peternakan Pubabu-Besipae.
Namun, tahun 2013, pemprov menerbitkan sertifikat hak pakai lahan Nomor 1 Tanggal 19 Maret 2013 seluas 37.800 ha sebagai dasar atas kepemilikan hutan adat Pubabu-Besipae oleh pemerintah. Sertifikat itu bersumber dari pemahaman pemerintah bahwa itu tanah negara, tanah pemerintah, dan tanah pengelolaan.
Kondisi di Pubabu-Besipae semakin memanas antara pemprov dan masyarakat adat saat kunjungan Gubernur NTT ke Pubabu-Besipae kemudian disambut kelompok perempuan bertelanjang dada pada 22 Mei 2020. Dialog belum tuntas antara pemprov dan masyarakat adat, tetapi pemprov melakukan upaya paksa kepada masyarakat untuk menandatangani surat pengosongan lahan oleh masyarakat adat.
Pembongkaran (perusakan) rumah warga Pubabu-Besipae pada 18 Agustus 2020 yang dibangun di atas lahan tanah adat. Warga yang terdiri dari anak-anak, perempuan, lansia, dan orangtua terkena gusur ini terpaksa tinggal di bawah pohon dan mendapatkan makanan secara patungan dari warga sekitar.
Disebutkan telah terjadi intimidasi, teror, dan pemaksaan untuk mengungsi terhadap warga yang rumahnya dibongkar oleh Satpol PP TTS. Terjadi penangkapan terhadap dua warga adat Pubabu-Besipae, Jumat (14/8/2020), yakni Kornelius Numley (64) dan Antonius Tanu (18).
Keduanya ditangkap di Besipae oleh enam anggota Brimob, satu intel polisi, dan Kepala UPTD Dinas Peternakan NTT. Saat penangkapan tidak diberi surat penangkapan dengan tembusan kepada anggota keluarga. Juga tidak dijelaskan tindak pidana apa yang diduga telah dilakukan kedua warga tersebut.
Masyarakat Pubabu-Besipae, Kamlasi Niko, mengatakan, intimidasi, teror, dan pembongkaran rumah warga Pubabu-Besipae telah membuat masyarakat trauma, stres, dan tidak nyaman hidup di tengah pandemi Covid-19. Kondisi fisik masyarakat terus menurun karena tekanan dari penguasa, yang terus merongrong rasa aman masyarakat adat, yang tinggal di atas lahan warisan nenek moyang.
”Mereka gusur paksa kami yang terdiri dari 29 keluarga, tetapi yang mereka siapkan cuma lima unit rumah dengan ukuran masing-masing 3 meter x 4 meter. Lokasi itu ada di lahan suku lain dan mereka menolak itu. Pembangunan rumah oleh pemda itu tanpa ada lahan olahan, sementara kami semua petani, mau olah lahan di mana,” katanya.
Satu hari sebelum pembongkaran rumah, satpol PP dan Pemprov NTT datang ke Pubabu-Besipae menunjukkan sketsa luas lahan yang diklaim sebagai milik pemprov. Dalam sertifikat disebutkan, luas lahan yang dikuasai pemprov 3.870 ha, tetapi dalam sketsa luasnya mencapai 6.000 ha, bahkan berada di luar kawasan hutan lindung.
Sketsa itu ada di dalam permukiman warga, lahan olahan warga, dan sumber-sumber air yang selama ini dinikmati masyarakat di dataran rendah, termasuk pengairan untuk sawah Bena dan sawah Linam Nutu.
Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, memiliki 293 keluarga, misalnya, juga masuk dalam kawasan yang ada dalam sketsa sertifikat tanah yang diklaim pemprov. Itu berarti keabsahan sertifikat tanah yang dimiliki pemprov itu diragukan.
Masyarakat adat Pubabu-Besipae telah ada sebelum kemerdekaan RI, di bawah kekuasaan Nabuasa, tetua adat setempat. Ia adalah perpanjangan tangan dari Raja Nope sebagai Raja Amanuban saat itu. Nabuasa kemudian mewariskan tanah itu kepada kedua putranya, yakni Besi dan Pae, yang dikenal dengan nama Meo Besi dan Meo Pae. Meo Besi membawahi empat suku, yakni Lopo, Purai, Nau, dan Tunlilu, sedangkan Meo Pae juga memiliki empat suku, yakni Tefu, Manao, Biaf, dan Kabnani.
Ini menjadi ikatan kekerabatan dan teritorial dalam rumpun masyarakat adat setempat yang disebut Besipae, termasuk hak-hak atas tanah dan hutan adat berlangsung sampai hari ini. Kawasan hutan adat itu disebut Pubabu sehingga lebih dikenal dengan sebutan Pubabu-Besipae.
Kepala Badan Aset dan Pengelolaan Daerah NTT Zet Sony Libing membantah telah terjadi intimidasi dan teror terhadap masyarakat, terutama ibu-ibu dan anak-anak, di Pubabu-Besipae. Yang terjadi adalah kelompok remaja dan anak-anak itu tidur, duduk, dan menangis di tanah saat hendak dipindahkan ke rumah milik pemda yang sudah dilengkapi listrik oleh aparat keamanan dan satpol PP.
”Saya tegaskan lagi, tidak ada teror dan intimidasi terhadap warga Pubabu-Besipae oleh Brimob, polisi, dan satpol PP. Kami melakukan pemindahan warga secara persuasif dan koordinatif. Saat dievakuasi, warga tetap duduk di tanah kemudian menangis dan membanting badan di tanah,” kata Libing.
Pengosongan lahan itu untuk pengembangan kelor, ternak, dan pakan ternak oleh Pemprov NTT.