Dari Danau Tondano, Melodi Kolintang Menggemakan Kemerdekaan
Kelompok kolintang D’Maestro merayakan HUT Kemerdekaan Ke-75 RI dengan cara berbeda, yaitu menggelar pentas terapung di atas Danau Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Ronny Lengkong (70) sudah makan segala jenis asam dan garam kehidupan dalam dunia seni musik kolintang, termasuk saat merantau ke Surabaya, Jawa Timur. Selama 22 tahun, ia sudah mengajar berbagai kalangan menabuh nada bilah-bilah kayu asal Minahasa itu, mulai dari tentara di Komando Armada Timur hingga bocah SD. Pengalaman Ronny kini makin lengkap setelah ia memainkan melodi kolintang di atas guncangan ombak Danau Tondano.
”Kami yang pertama kali melakukannya di Minahasa. Sensasinya sungguh berbeda. Tidak seperti saat main di darat, pijakan kami bergoyang-goyang karena ombak. Kaki harus kuat supaya bisa bertahan,” kata Ronny sesaat setelah kembali ke daratan, Senin (17/8/2020).
Tiga jam sebelumnya, Ronny menyeberang ke sebuah panggung kayu yang terapung di atas permukaan Danau Tondano. Jaraknya hanya 20-30 meter dari sempadan danau di Kelurahan Tounsaru, Tondano Selatan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Panggung itu terbuat dari 28 bilah kayu yang dirakit di atas lima perahu milik nelayan setempat.
Apa pun yang terjadi, acara harus tetap berjalan.
Bersama tujuh penabuh kolintang lain dalam kelompok D’Maestro, Ronny akan mengiringi lantunan lagu ”Indonesia Raya” dalam sebuah upacara kecil untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-75 Indonesia. Upacara yang dipimpin Camat Tondano Selatan Johnny Tendean itu dilanjutkan dengan sebuah pentas kecil kelompok mereka.
Di luar prediksi, cuaca sangat berangin. Permukaan Danau Tondano pun berkecamuk karena ombak. Tak ayal, panggung terapung itu terombang-ambing tak henti. Adapun delapan instrumen kolintang di atasnya, mulai dari melodi sampai bas, sudah diikat erat di atas panggung sehingga tak bergerak.
Tak ada rompi dan pelampung sebagai penunjang keselamatan jika terpelanting ke air karena memang tidak mereka siapkan. Sebagai gantinya, para penggawa D’Maestro, yang semuanya pria dan mayoritas di atas 50 tahun, menyiapkan nyali dan mental agar tetap tegak berdiri di atas panggung. Apa pun yang terjadi, acara harus tetap berjalan.
Setelah sekitar satu setengah jam geladi bersih dan mengecek suara pelantang, upacara dimulai. Ronny sebagai personel paling senior yang memegang instrumen melodi pun memimpin iringan lagu ”Indonesia Raya” ketika upacara.
Satu demi satu lagu pun dimainkan di tengah deru angin dan terpaan ombak, mulai dari lagu nasional seperti ”Hari Merdeka”, lagu populer seperti ”Juwita Malam”, hingga lagu pop daerah ”Oh Minahasa”. Semuanya elok, merdu, dan harmonis. Untuk menambah semarak pesta kemerdekaan, D’Maestro mengenakan kostum baju adat kabasaran saat pentas.
Tiga jam berlalu, penampilan selesai tanpa ada yang terjungkal ke danau. Ronny pun bangga dengan penampilan terapung D’Maestro. Ia tersenyum terus sesampainya di tepi danau.
Menurut dia, semangat grupnya sungguh terpacu setelah mendengar kelompok Fantastic Prima Vista asal Lembean, Minahasa Utara, berpentas di puncak Gunung Klabat, 1.995 meter dari permukaan laut. Kelompok itu diisi oleh para pemain kolintang yang jauh lebih muda dan antusias.
”Harus saya akui, anak-anak muda dari Minahasa Utara itu hebat-hebat. Mereka saja semangat mau daki gunung sambil bawa kolintang. Kami, yang meskipun sudah tua, juga tidak mau kalah. Kami coba main di atas air. Betul-betul, tiga jam ombak tidak tenang,” ujarnya.
Bagi Ronny, kolintang memang bukan sekadar soal menabuh nada-nada yang tepat, melainkan soal gengsi. Dalam kompetisi kolintang ada beberapa hal yang dinilai, antara lain performa musik, aransemen lagu, dan kostum pemain. Semakin sulit tingkat permainan dan semakin menarik tampilan mereka, peluang menang semakin besar.
”Kelompok yang main bagus, tetapi aransemennya biasa saja, pasti kalah dengan yang aransemennya lebih rumit. Jadi, tingkat kesulitan juga dipertimbangkan oleh juri. Nah, kalau kami main di atas air, kan, jauh lebih sulit daripada kalau kami main di atas tanah seperti biasanya,” ujar Ronny.
Tetap saja ada harga yang harus dibayar untuk kepuasan para personel D’Maestro, yaitu tremor di lutut dan pergelangan kaki. Max Nelwan (52), personel lain D’Maestro, mengatakan, selama tiga jam di atas panggung, ia harus mengambil kuda-kuda yang tepat. Salah satu kaki harus diletakkan di depan demi menjaga keseimbangan.
”Kali ini, kami tidak sekadar main, tetapi juga harus bagi konsentrasi dengan menjaga keseimbangan. Memang tidak kami prediksi karena semalam (Minggu, 16/8/2020), saat kami coba panggung, danau sangat tenang,” kata Max.
Fery Koyongian, penabuh bas, mengatakan, lututnya masih gemetar hingga satu jam setelah penampilan. Lutut memang harus menekuk sepanjang berdiri di panggung. ”Fungsinya seperti shock breaker motor, ikut gerakan ombak,” kata Fery, yang juga Ketua Sanggar Seni Budaya dan Bahasa Benteng Moraya yang membawahkan D’Maestro.
Fery mengakui memang tak sempat mempersiapkan fasilitas penunjang keamanan. Awalnya, mereka berencana melengkapi panggung dengan pagar di sekelilingnya. Namun, waktu persiapan terlalu sempit. Rencana mereka bermain di panggung terapung muncul hanya sepekan sebelumnya.
Ade Mundung, personel D’Maestro lainnya, mengatakan, mereka mendapat pendanaan untuk pentas kecil ini hanya tiga hari sebelum pentas. Ada proses surat-menyurat yang cukup panjang setelah Sekretaris Jenderal Persatuan Insan Kolintang Nasional (Pinkan) Indonesia Felix Luntungan di Jakarta menyatakan akan mendukung mereka.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Minahasa Teddy Sumual bangga mendengar denting kolintang mengiringi lantunan ”Indonesia Raya” pada HUT Ke-75 RI. Kolintang untuk pertama kalinya dimainkan langsung dari atas permukaan Danau Tondano.
Terlepas dari itu, bagi D’Maestro, pentas di atas air ini bukan hanya soal gengsi. Mereka berharap menjadi contoh bagi generasi muda untuk meneruskan perjuangan merawat, melestarikan, dan mengembangkan seni musik kolintang sebagai warisan budaya Minahasa yang turut memperkaya kemajemukan budaya Indonesia.
Prosesnya juga tidak sebentar, latihan setiap hari bisa berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan.
Dalam kolintang terkandung nilai-nilai kebangsaan, seperti gotong royong, demi mengupayakan harmoni dan kekompakan. Ronny menyatakan kolintang sebagai seni dalam kebersamaan.
Jika ada 10 pemain, tetapi ada satu atau dua personel yang belum lancar dan sering membuat kesalahan, segenap anggota ensambel itu harus mendampingi mereka sampai benar-benar bisa sehingga muncul bunyi yang harmonis. ”Prosesnya juga tidak sebentar, latihan setiap hari bisa berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan,” kata Ronny.
Ekspedisi Alat Musik Nusantara Kompas pada 2018 mencatat, dalam kolintang terkandung nilai-nilai kearifan, seperti keseimbangan, demokrasi, saling menghargai, dan menghormati. D’Maestro adalah satu dari ribuan kelompok kolintang di Nusantara yang masih memperjuangkan nilai-nilai itu hingga 75 tahun usia bangsa Indonesia.