Pembebasan jurnalis Diananta dari penjara yang bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan ke-75 Indonesia diharapkan jadi momentum untuk memperjuangkan kemerdekaan pers dan perlindungan terhadap kerja jurnalistik.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Jurnalis di Kalimantan Selatan, Diananta Putra Sumedi, yang dipenjara karena berita akhirnya menghirup udara bebas pada Senin (17/8/2020). Pembebasan Diananta yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke-75 Indonesia itu diharapkan jadi momentum untuk memperjuangkan kemerdekaan pers dan perlindungan terhadap kerja jurnalistik.
Diananta, mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, divonis bersalah atas pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 45A Ayat (2) karena beritanya berjudul ”Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” di Banjarhits.id pada 9 November 2019. Senin (10/8/2020), majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru memvonisnya hukuman 3 bulan 15 hari penjara.
”Saat vonis, saya memang pikir-pikir terkait kemungkinan banding. Setelah berdiskusi dengan tim hukum, saya sepertinya harus menerima realitas vonis itu. Saya sudah mengukur kemungkinan vonis bebas di tingkat banding juga sulit,” kata Diananta kepada rekan-rekan wartawan di Banjarmasin, Selasa (18/8/2020).
Karena telah menjalani masa tahanan selama tiga bulan lebih di dua tempat, yakni Rumah Tahanan (Rutan) Polda Kalsel dan Rutan Polres Kotabaru, Diananta akhirnya bebas tepat pada peringatan hari kemerdekaan.
”Pembebasan saya pada hari ulang tahun kemerdekaan ke-75 harus dijadikan momentum untuk memperbaiki dan memperkuat perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik. Wartawan harus bekerja secara bebas dan merdeka,” katanya.
Menurut Diananta, wartawan tidak boleh bekerja dalam suasana ketakutan, tekanan, dan ancaman. Kalau itu terjadi, daya kritis wartawan akan semakin tumpul. ”Jadi momentum kebebasan saya dari belenggu penjara saat hari kemerdekaan itu harus menjadi evaluasi Dewan Pers dalam memperkuat perlindungan kerja-kerja jurnalistik,” ujarnya.
Diananta beranggapan vonis bersalah pada dirinya adalah pukulan telak buat semua jurnalis yang selama ini bekerja menaati kode etik jurnalistik. Vonis itu menjadi ancaman kebebasan pers untuk menulis kritis.
”Tetapi, bagi saya pribadi, vonis ini tidak bisa membungkam saya. Saya tetap kritis. Saya tetap merdeka dalam kerja-kerja jurnalistik. Saya tetap bekerja seperti semula karena saya dipidana bukan karena kriminal murni, melainkan karena menjalankan profesi,” tuturnya.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengeluarkan Surat Pernyataan Dewan Pers Nomor 02/P-DP/VIII/2020 tentang keprihatinan terhadap pemidanaan Diananta. Surat pernyataan tersebut bercap dan bertanda tangan pada 15 Agustus 2020.
”Pemidanaan seorang wartawan atas karya jurnalistik yang dihasilkannya tentu merupakan preseden buruk bagi sistem kemerdekaan pers di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun, sangat disesalkan hal inilah yang terjadi terhadap Diananta,” tulis Nuh dalam surat pernyataan tersebut.
Pemidanaan seorang wartawan atas karya jurnalistik yang dihasilkannya tentu merupakan preseden buruk bagi sistem kemerdekaan pers di negara demokrasi seperti Indonesia.
Menurut Diananta, Dewan Pers terlambat mengeluarkan surat pernyataan keprihatinan tersebut. ”Ini sangat saya sayangkan. Saya baru melihatnya pada Senin malam setelah saya dibebaskan. Jujur saya sangat prihatin dengan sikap Dewan Pers, kenapa ketika kasus ini tengah bergulir di kepolisian dan kejaksaan, Dewan Pers terkesan diam dan tidak memiliki sikap resmi,” katanya.
Sengketa berita yang ditulis Diananta sebenarnya sudah selesai di Dewan Pers. Hal itu dibuktikan dengan keluarnya lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers yang terbit pada 5 Februari 2020. Isinya meminta pihak teradu, yakni Kumparan dan Banjarhits, memuat hak jawab atas berita yang dinilai keliru.
Diananta mengatakan, Dewan Pers seharusnya lebih proaktif dalam melindungi kerja-kerja jurnalistik sejak awal kasus bergulir, bukan ketika kasus sudah divonis dan selesai. ”Kenapa ketika si wartawan sudah babak belur, dihukum, dan berstatus narapidana, baru keluar surat pernyataan prihatin? Ini evaluasi bagi Dewan Pers juga. Ke depan jangan sampai pola-pola seperti itu terjadi lagi,” katanya.