Pertama di Dunia, 11 Monyet Hitam Sulawesi Bakal Dilepasliarkan
Sebelas ekor monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau yaki, akan dilepasliarkan di Cagar Alam Gunung Ambang, Bolaang Mongondow Timur. Pelepasliaran kawanan yaki ini disebut sebagai yang pertama kali di dunia.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA UTARA, KOMPAS — Sebelas monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau yaki bakal dilepasliarkan di Cagar Alam Gunung Ambang, Bolaang Mongondow Timur, setelah direhabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Minahasa Utara. Pelepasliaran satu kelompok yaki ini disebut yang pertama kali dilakukan di dunia.
Sebelas yaki, terdiri dari 8 jantan dan 3 betina ini tergabung dalam satu kelompok yang dinamai Agustus, sesuai nama pejantan alfa pemimpin kelompok. Mereka diberangkatkan dari Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki dengan truk ke Cagar Alam (CA) Gunung Ambang, Sabtu (15/8/2020) pagi, untuk menjalani rehabilitasi tahap terakhir sebelum pelepasliaran.
Manajer PPS Tasikoki Billy Lolowang mengatakan, lima individu di antaranya telah menjalani rehabilitasi di PPS Tasikoki selama lebih dari sepuluh tahun. Mereka diselamatkan dari perdagangan dan pemeliharaan oleh warga di berbagai tempat. Selama rehabilitasi, sifat-sifat liar yang dulu hilang mulai kembali, di antaranya terlihat dari pola makan dan interaksi sosialnya.
Sementara enam individu lainnya dilahirkan selama rehabilitasi. Salah satu bayi yaki jantan yang dinamai Merdeka baru saja lahir dari betina bernama Madu, Kamis (13/8/2020). Bayi jantan lainnya, Ichul, juga baru dilahirkan oleh betina bernama Ireng, Juni lalu. ”Mereka sebenarnya bagian dari kelompok yang lebih besar, tetapi kami pecah menjadi kelompok yang lebih kecil, salah satunya Agustus,” kata Billy.
Dokter hewan PPS Tasikoki, Annisa Devi Rachmawati, mengatakan, mereka akan dirawat lagi dalam sebuah kandang habituasi besar selama dua pekan. Menurut rencana, 11 individu ini akan dilepasliarkan pada Senin (31/8) mendatang.
Yaki harus dilepasliarkan dalam satu kelompok, berbeda dari orangutan yang bisa dilepaskan sebagai individu tunggal. ”Kalau dilepasliarkan sendiri, mereka bisa babak belur dihajar kelompok lainnya. Tapi, tidak menutup kemungkinan pejantan alfa membentuk kelompok baru dengan individu lain,” kata Annisa.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut Noel Layuk Allo mengatakan, pelepasan kelompok Agustus adalah tahap pertama dari rencana pelepasliaran 23 yaki. Individu lainnya akan dilepasliarkan di CA Gunung Ambang dan Suaka Margasatwa Manembo-Nembo, Bitung, Sulut.
Yaki harus dilepasliarkan dalam satu kelompok, berbeda dari orangutan yang bisa dilepaskan sebagai individu tunggal.
Menurut Noel, populasi yaki sebenarnya sudah banyak di area Cagar Alam Tangkoko-Batu Angus, Bitung. Adapun pemilihan CA Gunung Ambang sebagai lokasi pelepasliaran kelompok Agustus dipilih demi menghindari risiko konflik antarkelompok yaki.
”Berdasarkan survei, populasi yaki di Gunung Ambang masih sangat sedikit sehingga lebih cocok membantu kelompok ini beradaptasi,” jelasnya.
Noel menambahkan, BKSDA Sulut telah menjajaki keadaan masyarakat di sekitar CA Gunung Ambang. Menurut dia, penerimaan masyarakat desa bagus. Adapun personel polisi hutan pun telah siap mengamankan wilayah itu sebagai habitat yaki dengan bantuan masyarakat mitra polisi hutan.
Yaki atau Macaca nigra adalah salah satu hewan endemik asal Sulut. Penelitian Dwi Yandhi Febriyanti dan kolega, dalam Jurnal Agri-Sosio Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Volume 15 Nomor 1, Januari 2019 menyebutkan, populasi yaki hanya sekitar sembilan ekor per kilometer persegi di hutan-hutan Sulut. Kelompok Agustus pun disebut akan menjadi kawanan yaki pertama di dunia yang dilepasliarkan setelah proses rehabilitasi.
Beberapa tahun lalu, pelepasliaran yaki pernah direncanakan di Gunung Masarang, Tomohon, oleh Yayasan Masarang, lembaga swadaya masyarakat di bidang konservasi. Namun, rencana tersebut tertunda karena ada konflik antara warga dengan salah satu karyawan yayasan.
Kelompok Agustus pun disebut akan menjadi kawanan yaki pertama di dunia yang dilepasliarkan setelah proses rehabilitasi.
Ketua Yayasan Masarang Willie Smits mengatakan, konflik itu berujung pada meninggalnya karyawan itu serta baku tembak antara warga dan polisi selama tiga bulan di hutan. Akibatnya, yaki-yaki yang sudah siap dilepasliarkan dari kandang habituasi di Tomohon harus dikembalikan ke PPS Tasikoki.
Oleh karena itu, Willie menilai pelepasliaran kelompok Agustus dalam waktu dekat ini adalah capaian yang membahagiakan. Namun, di sisi lain, ini juga membuktikan bahwa Indonesia belum bisa mengatasi perdagangan ilegal dan penyelundupan satwa liar.
”Perdagangan satwa liar telah menjadi bisnis miliaran dolar. Di Indonesia, ada tiga pintu gerbang, salah satunya Bitung karena terhubung langsung oleh pelayaran ke General Santos, Filipina. Setiap tahun, kerugian negara kita mencapai 6 miliar dolar AS akibat perdagangan satwa liar,” kata Willie.
Ia menambahkan, lingkungan hidup adalah bagian besar dari masa depan Indonesia. Jika perburuan berlanjut, bukan hanya kerusakan ekosistem, manusia juga akan terpapar berbagai jenis penyakit zoonosis. Ini sudah dibuktikan oleh ebola, sindrom pernapasan atas akut (SARS), serta Covid-19 yang diduga berasal dari kelelawar sebelum menular ke monyet, trenggiling, kijang, dan hewan lain.
”Oleh karena itu, kita bisa berbangga kalau PPS Tasikoki ditutup karena artinya hukum bisa ditegakkan dan perburuan satwa liar bisa dihentikan. Bukan karena satwa liar kita sudah habis,” kata Willie.
Noel menambahkan, kini telah ada 13 lembaga konservasi kelurahan dan kecamatan serta dua di tingkat desa yang dibentuk BKSDA Sulut. Lembaga itu memberdayakan masyarakat untuk beternak unggas, membudidaya lebah, serta membuat kerajinan tangan agar risiko perusakan ekosistem kawasan konservasi bisa ditekan, salah satunya karena perburuan yaki.