Polresta Jayapura tidak memberikan izin bagi organisasi United Liberation Movement for West Papua untuk menggelar unjuk rasa di Kota Jayapura pada Sabtu (15/8/2020) ini.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·2 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Pihak kepolisian bersiap untuk menghentikan rencana unjuk rasa United Liberation Movement for West Papua di Kota Jayapura, Papua, Sabtu (15/8/2020). Sebanyak 250 personel gabungan Polri dan TNI disiagakan untuk membubarkan aksi tersebut.
Hal ini disampaikan Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura Ajun Komisaris Besar Gustav Urbinas, saat ditemui sesuai gelar pasukan di Taman Imbi, Jayapura, Jumat (14/8/2020).
Gustav mengatakan, pihaknya telah menerima surat pemberitahuan dari Biro Politik United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terkait rencana unjuk rasa besok itu.
Unjuk rasa itu untuk menyuarakan penolakan perjanjian New York antara Pemerintah Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini tentang pemindahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia yang difasilitasi oleh PBB.
Rencananya, unjuk rasa penolakan Perjanjian New York itu akan terpusat di dua lokasi, yakni kantor Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua. "Kami akan menempatkan anggota di setiap lokasi yang menjadi titik kumpul massa. Polresta Jayapura tidak memberikan izin untuk menggelar unjuk rasa, apalagi di tengah pandemi Covid-19," kata Gustav.
Gustav menuturkan, pihak kepolisian akan menggunakan cara persuasif hingga membubarkan secara paksa apabila massa tetap ingin berunjuk rasa di dua lokasi tersebut. Ia mengimbau kelompok masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya dapat dilakukan melalui audiensi atau dialog dengan pihak terkait. "Kami akan menangkap pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya gangguan keamanan ketika terjadi pembubaran aksi unjuk rasa," katanya.
Simion B Daby selaku penyelenggara unjuk rasa dari ULMWP menegaskan, Perjanjian New York adalah tindakan ilegal karena sama sekali tidak melibatkan perwakilan dari masyarakat Papua.
"Perjanjian ini telah menggadaikan hak politik masyarakat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Karena itu, ULMWP akan menggelar demo damai menolak perjanjian ini maupun perpanjangan otonomi khusus jilid II," tutur Simion.
Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano mengimbau agar warga tidak terpancing untuk mengikuti unjuk rasa tersebut. Sebab, banyak warga yang masih merasa trauma dan belum pulih pascakerusuhan di Jayapura pada 29 Agustus 2019 lalu.
Kerusuhan kala itu dipicu unjuk rasa penolakan tindakan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang. Saat itu, massa merusak dan membakar 31 kantor, 15 ruko, 24 kios, 33 unit sepeda motor, 36 mobil, dan tujuh pos polisi.
Total korban jiwa akibat kerusuhan di Jayapura sebanyak lima orang. Sementara itu, dua polisi terluka karena terkena lemparan batu dari pengunjuk rasa.