Harapan Sejahtera saat 15 Tahun Perdamaian Aceh
Perjanjian perdamaian pada 15 Agustus 2005 memberikan harapan baru bagi warga Aceh untuk menata hidup lebih baik. Namun, faktanya setelah 15 tahun perdamaian, masih ada air mata, terutama dari kaum papa.

Anwar (43) petani garam tradisional di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (9/92020) saat sedang bekerja di dapur garam milik sendiri. Usaha garam itu menjadi penopang kehidupan keluarganya.
Perjanjian perdamaian pada 15 Agustus 2005 memberikan harapan baru bagi warga Aceh untuk menata hidup lebih baik. Namun, setelah 15 tahun perdamaian, masih ada air mata, terutama dari kaum papa. Dana besar otonomi khusus belum sepenuhnya menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh.
Asap tebal mengepul dari sebuah dapur garam di tengah tambak di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (10/9/2020) pagi. Anwar (43) tahun mendorong kayu ke bawah tungku. “Kayunya agak basah karena tadi malam hujan,” kata Anwar, petani garam tradisional sambil mengusap mata.
Setelah api menyala, Anwar menambahkan air yang sudah dijemur dan bibit garam ke dalam kuali terbuat dari besi dengan ukuran 3 meter kali 1,5 meter. Butuh waktu tujuh jam untuk memasak air asin itu menjadi garam.
Anwar memiliki dua tungku untuk memasak garam. Setiap tungku menghasilkan garam 40 kilogram. Jadi dua tungku menghasilkan 80 kilogram garam. Dalam sehari maksimal ia bisa memasak dua kali, artinya produksi garam 160 kilogram per hari.
“Kalau masak dua kali selesainya jam 10 malam. Biasanya sehari hanya sekali masak saja,” kata Anwar.
Garam itu dijual Rp 5.000 per kilogram, artinya dari setiap tungku dia memperoleh pendapatan kotor Rp 200.000. Setelah dipotong biaya kayu bakar Rp 50.000 dan upah masak untuk dua orang Rp 100.000, pendapatan bersih hanya Rp 50.000. Karena punya dua tungku. pendapatan bersih Anwar per hari Rp 100.000. Selain pemilik, Anwar menganggap dirinya sebagai pekerja dan satu pekerja lagi adalah adik sepupunya.

Jalan antarkecmatan di kawasan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara, masih tanah kuning dan belum diaspal (6/1/2020). Pada masa konflik daerah itu paling sering terjadi kontak senjata, namun pascadamai pembangunan di kawasan itu masih minim.
Pendapatan dari usaha garam itulah yang menjadi penopang kehidupan dan biaya pendidikan dua anaknya. “Penghasilan hanya cukup buat makan dan sekolah anak, tidak ada sisa untuk tabungan,” kata Anwar.
Pembuatan garam yang dilakukan Anwar masih pola tradisional. Air laut sebagai bahan baku terlebih dahulu dijemur baru kemudian dimasak. Jika musim hujan produksi garam terhambat karena air yang dijemur sebagai bahan baku bercampur air hujan sehingga berpengaruh pada batas minimal keasinan air baku.
TKI ilegal
Sebelum menjadi petani garam, Anwar lama menghabiskan waktu di perantauan. Ia bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja ilegal.
Ia berangkat pada tahun 1999, saat Aceh diamuk konflik. Usianya baru 22 tahun. Dia nekat merantau karena ekonomi Aceh kala itu terpuruk.

Tenaga kerja Indonesia asal Malaysia tiba di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, Minggu (3/5/2020) malam. Mereka ditangkap petugas TNI Angkatan Laut karena masuk dengan kapal motor nelayan dengan cara ilegal. Perairan ini menjadi pintu keluar-masuk TKI ilegal.
Saat tsunami 2004, dia pulang ke Lamnga untuk mencari keluarga yang hilang ditelan tsunami. Satu kakaknya hingga kini tak ditemukan jenazah.
Setahun kemudian, pada 15 Agustus 2005 Aceh damai. Kesepakatan atas perdamaian itu, Aceh berhak mendapatkan dana otonomi khusus sejak 2008 hingga 2027.
Setelah menikah Anwar merantau lagi ke Malaysia dan baru pulang pada 2012. Dia ingin membangun kehidupan di kampung halaman bersama keluarga. Awalnya dia optimis bisa hidup sejahtera di Aceh, namun ternyata di Aceh sukar memperoleh pekerjaan dengan gaji yang layak. Kesulitan keuangan menjadi pemicu disharmonis di keluarga. Anwar cerai dengan istri dan kini dua anak menjadi tanggungannya.

Jalan menuju ke Desa SIkundo, Kecamatan Pante Ceuremen, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh rusak parah seperti terlihat Sabtu (16/2/2019).
“Saya kerja serabutan dan jadi buruh bangunan, gaji tidak cukup untuk biaya hidup dan sekolah anak,” kata Anwar.
Baca juga : Kemiskinan Masih Menjadi Masalah Utama di Aceh
Harapan untuk bangkit muncul saat saudaranya meminjamkan lahan untuk lokasi usaha pembuatan garam. Dengan modal cekak dia memulai usaha itu. Ilmu produksi garam didapatkan dari orangtuanya sejak dia belia. Kini, usaha garam itu menjadi satu-satunya sumber pendapatan Anwar. Meski tidak membuatnya kaya, cukup untuk biaya hidup.
Ingin punya rumah
Sementara itu di tepi jalan nasional Malahayati, Desa Durung, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Nurjannah (64) duduk termangu di depan tumpukan buah jambu, timun, dan jamblang. Setengah hari dia menunggui dagangan belum ada yang beli.

Nurjannah (64) warga Desa Durung, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, menggelar dagangan di tepi jalan nasional, Minggu (9/8/2020). Dia berjualan buah sejak 2003 dengan penghasilan bersih Rp 30.000 - Rp 50.000 per hari.
Nurjannah menjual buah-buahan sejak 2003. Dia menggelar dagangan di tepi jalan nasional dan terkadang di trotoar depan kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Penghasilan kotor per hari sekitar Rp 100.000, namun keuntungan bersih Rp 30.000 – Rp 50.000. Suaminya nelayan tradisional. Mereka bekerja keras menafkahi dan membiayai pendidikan empat anaknya.
“Saya sampai harus berutang untuk biaya pendidikan anak. Sekarang satu anak saya bekerja di perusahaan perikanan di Jakarta,” kata Nurjannah bangga.
Perjuangan belum berakhir karena dua anaknya kini masih bersekolah. Namun, dia bersyukur karena memperoleh bantuan tunai Rp 180.000 per bulan dari program keluarga harapan (PKH).
Namun, ada satu harapan yang belum terwujud yakni memiliki rumah layak. Pada tahun 2005, Nurjannah mendapatkan bantuan rumah dari lembaga donor internasional, pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami. Karena tidak punya tanah, rumah dibangun di atas tanah orang, pinjam pakai. Namun tahun 2011, pemilik tanah ingin menjual tanah itu sehingga rumah harus dibongkar.

Maulidar (35 tahun), warga Desa Pukat, Kecamatan Garut, Kabupaten Pidie, berada di depan rumahnya, Februari 2020. Rumah milik mereka masih prasejahtera.
Waktu itu Nurjannah tidak punya uang untuk membayar ongkos bongkar. Akhirnya rumah itu dijual seharga Rp 11 juta. Dari hasil penjualan rumah dia beli kayu dan membangun rumah lain di atas tanah wakaf milik desa.
Punya rumah layak huni juga menjadi impian Maulidar (35 tahun), warga Desa Pukat, Kecamatan Garut, Kabupaten Pidie. Bersama suami dan empat anak mereka tinggal di rumah berdinding triplek dan berlantai tanah. Rumah itu dibangun di bantaran sungai, tanah milik pemerintah.
“Kami tidak punya tanah makanya tidak dapat bantuan rumah,” ujar Maulidar, April lalu.
Suaminya, Jailani (47) pekerja serabutan sehingga tidak punya penghasilan tetap. Sementara syarat dari pemerintah daerah untuk penerima bantuan rumah layak huni adalah wajib menyediakan sepetak tanah tempat rumah dibangun. “Untuk makan saja kami susah bagaimana beli tanah,” kata Maulidar.
Dana besar
Setelah perdamaian, Provinsi Aceh mendapatkan kucuran dana otonomi khusus (otsus) yang melimpah. Sejak 2008 hingga 2020 total dana otsus yang diterima Aceh sebesar Rp 81 triliun.

Dana itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan, penguatan perdamaian, dan keistimewaan Aceh. Akan tetapi angka kemiskinan di Aceh masih tinggi, yakni 814.900 orang atau 14,99 persen. Aceh menjadi provinsi kedua dengan penduduk miskin terbanyak di Sumatera dan nomor enam tingkat nasional.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Dahlan Jamaluddin menuturkan 15 tahun perdamaian masih banyak warga Aceh yang miskin, padahal anggaran yang dikelola oleh pemerintah cukup besar. Dahlan menilai dana otsus lebih banyak dinikmati elit birokasi dan elit aparatur negara daripada publik.
Banyak program otsus tidak sesuai dengan persoalan riil di masyarakat.
Banyak program otsus tidak sesuai dengan persoalan riil di masyarakat. Misalnya, anggaran pendidikan lebih besar digunakan untuk pembangunan fisik atau gedung, namun kualitas guru rendah dan penyebaran guru tidak merata.
“Disparitas kesejahteraan, kualitas kesehatan, dan kualitas pendidikan warga pedesaan dengan perkotaan masih besar. Seharusnya kehadiran otsus menjawab persoalan ini,” kata Dahlan.
Baca juga : Presiden Minta Tata Kelola Dana Otsus di Aceh Tepat Sasaran

Pemandangan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh setelah direnovasi. Masjid bersejarah ini menjadi salah objek wisata unggulan wisata halal di Aceh. Renovasi masjid raya itu menggunakan dana otonomi khusus.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Helvizar Ibrahim menuturkan penggunaan dana otsus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan warga dari berbagai aspek. Misalnya program jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi. "Titik beratnya pada pengurangan beban penduduk miskin," ujar Helvizar.
Selain itu pembangunan infrastruktur terutama jalan, jembatan, dan irigasi bertujuan untuk membuka isolasi daerah dan meningkatkan hasil pertanian. Menurut Helvizar pembangunan infrastruktur mendorong peningkatan produksi pertanian warga secara langsung meningkatkan kesejahteraan.
"Sebelum ada dana otsus, angka kemiskinan sebesar 26,65 persen (2007). Pada Maret 2020 angka kemiskinan Aceh turun menjadi 14,99 persen. Selama 12 tahun dana otsus di Aceh mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 11,66 persen," kata Helvizar.

Peluang korupsi
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Alfian mengatakan pembangunan infrastruktur lebih besar peluang untuk dikorupsi. Investigasi yang dilakukan MaTA Aceh menunjukkan korupsi banyak terjadi pada proyek pembangunan infrastruktur. Modusnya penggelembungan harga dan pembangunan di bawah spefisikasi yang direncanakan.
“Kenapa dana otsus paling banyak digunakan untuk kegiatan fisik, karena sangat mudah untuk dikorupsi. Buktinya kasus korupsi yang ditangani kejaksaan dominan proyek fisik,” kata Alfian.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Rustam Efendi menuturkan rencana pembangunan tidak disusun dengan baik sehingga dana besar tidak menyelesaikan masalah. Rustam berharap para kepala daerah dan elit birokrasi Aceh memiliki komitmen kuat untuk membangun Aceh.
Setelah 15 tahun perdamaian dan 12 tahun pengelolaan dana otsus, orang-orang seperti Anwar dan Nurjannah, Maulidar, ternyata belum sepenuhnya sejahtera.