Sinabung Meletus Lima Kali, Dampak Paparan Abu Semakin Meluas
Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, meletus lima kali berturut-turut, Kamis (13/8/2020). Letusan Sinabung memuntahkan abu vulkanis dengan tinggi kolom 1.000 hingga 2.000 meter.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
KABANJAHE, KOMPAS — Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, meletus lima kali berturut-turut, Kamis (13/8/2020). Letusan Sinabung memuntahkan abu vulkanis dengan tinggi kolom 1.000 hingga 2.000 meter. Meskipun ada peningkatan aktivitas, status Sinabung masih tetap Siaga karena cakupan bahayanya masih terbatas pada rekomendasi zona merah saat ini.
”Bahaya Sinabung di luar zona merah hingga kini hanya paparan abu vulkanis. Saat ini belum ada evaluasi peningkatan status Gunung Sinabung dari Siaga,” kata pengamat di Pos Pengamatan Gunung Api Sinabung, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Armen Putra.
Bahaya Sinabung di luar zona merah hingga kini hanya paparan abu vulkanis. Saat ini belum ada evaluasi peningkatan status Gunung Sinabung dari Siaga.
Armen mengatakan, Sinabung meletus secara berturut-turut dengan tinggi kolom masing-masing 1.000 meter pada pukul 06.07 dan 08.02 serta 2.000 meter pada pukul 08.31 dan 13.08. Letusan juga terjadi pada pukul 15.41, tetapi kolom abu tidak teramati karena tertutup kabut awan.
Armen menjelaskan, abu vulkanis condong ke arah timur, tenggara, dan selatan sehingga membuat hujan abu pekat di empat kecamatan, yakni Namanteran, Merdeka, Dolat Rayat, dan Berastagi. Padahal, abu hasil letusan pada Sabtu dan Senin lalu juga masih menumpuk di jalan, rumah, atap, dan ladang warga.
Masyarakat pun diminta untuk memakai masker jika harus keluar rumah untuk mengurangi dampak abu vulkanis terhadap kesehatan. ”Kami juga meminta masyarakat mengamankan sumber air bersih dan membersihkan atap rumah dari abu vulkanis agar tidak roboh,” kata Armen.
Armen pun mengingatkan, karakter Sinabung sulit diprediksi karena sistemnya yang sudah terbuka. Gas dan magma di dalam tubuh Sinabung diperkirakan masih cukup banyak sehingga letusan dan awan panas guguran bisa terjadi kapan pun meski aktivitasnya seperti gunung normal.
Armen mengatakan, bahaya letusan Sinabung bisa dihindari dengan tidak memasuki zona merah yang mencakup radius 3 kilometer dari puncak gunung, 4 kilometer khusus sektor timur-utara, dan 5 kilometer untuk sektor selatan-timur.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo Natanael Peranginangin mengatakan, pintu masuk ke zona merah Gunung Sinabung kini diperketat. Mereka pun meminta masyarakat agar tidak berladang di zona merah karena letusan dan awan panas guguran bisa terjadi kapan pun.
Natanael mengatakan, dampak letusan Gunung Sinabung yang dirasakan masyarakat saat ini adalah hujan abu vulkanis yang sangat pekat. ”Sebagian besar masyarakat kini berada di rumah. Warga mengenakan masker, pakaian yang menutup hampir semua badan, dan juga topi jika harus keluar rumah,” katanya.
Dampak yang paling memukul masyarakat saat ini adalah kerusakan tanaman pertanian. Erupsi pada Sabtu dan Senin lalu membuat 1.483 hektar ladang warga rusak dengan kerugian sekitar Rp 41,8 miliar. Kerugian petani pun diperkirakan meluas dengan lima kali letusan pada Kamis ini.
”Kami sudah mengajukan permohonan bantuan untuk mengurangi beban petani, seperti bantuan bibit, pupuk, pestisida, dan pinjaman modal,” kata Kepala Dinas Pertanian Karo Metehsa Karo-Karo.
Yahya Ginting (56), warga Namanteran, mengatakan, mereka sangat terpuruk akibat erupsi yang kembali terjadi. Erupsi yang terjadi pada Sabtu dan Senin telah membuat tanaman sayurnya rusak. ”Setelah letusan hari ini, kebun kopi saya juga terancam gagal panen karena diterpa abu Sinabung,” katanya.
Yahya mengatakan, saat ini sedang musim panen raya kopi. Biasanya ia bisa memanen hingga 100 kilogram kopi per minggu dengan harga Rp 20.000 per kilogram. Namun, bunga-bunga kopinya sudah banyak yang gugur sehingga gagal panen.
Padahal, sebelumnya ia juga sudah mengalami kerugian karena 5 ton kembang kolnya tidak bisa dipanen. Dengan harga Rp 2.000 per kilogram, ia mengalami kerugian Rp 10 juta. Para petani pun berharap bisa mendapat bantuan dari pemerintah.